Diperas di Negeri Sendiri, TKI Menanti Niat Baik Pemerintah

0
1501

Cerita kepedihan dari tenaga kerja Indonesia (TKI), selama ini pastinya tidak sekadar kita lihat dan baca dari media massa. Karena tentunya kita juga sering mendengarnya dari keluarga, saudara, teman maupun tetangga kita. Ada yang begitu polosnya bercerita tanpa menyadari bahwa yang menimpanya adalah su­atu bentuk pemerasan.

Ada juga yang dengan sangat sadar menyadari dirinya diperas, meski de­ngan jumlah yang tidak besar. Namun, lagi-lagi mereka atau kita memang tidak bisa berbuat apa-apa.

Seperti yang dialami Eli Anita, man­tan TKW, menceritakan pengalamannya seperti diberitakan TEMPO interaktif pada Kamis (28/01/10). Eli bercerita soal pemerasan yang dialaminya. Pada 2005, sewaktu baru kembali bekerja dari Bahrain dan ingin pulang ke Surabaya dirinya dioper ke Terminal Tiga oleh petugas bandara.

Untuk menuju Terminal Tiga, Eli mengaku harus naik bus. Di bus itulah awal pemerasan terjadi. Petugas bus meminta sejumlah uang kepada TKI. Mereka bilang seikhlasnya namun pada prakteknya, ketika dikasih sepuluh ribu atau sepuluh ringgit, uangnya malah dilempar. Menurut Eli, petugas tersebut inginnya diberi lebih, minimal 20 ringgit. Turun dari bus pemerasan kembali terjadi. Di pintu pertama Eli dan rekan-rekannya dimintai uang Rp 12 ribu. Lewat dari pintu pertama, selang beberapa meter kembali ada petugas yang meminta sejumlah uang. Kali ini Eli harus merogoh koceknya sampai Rp 25 ribu.

Pemerasan tidak hanya secara langsung. Secara tidak langsung pe­merasan dialami Eli dalam bentuk kenaikan harga tiket pesawat. Ia mengaku kaget ketika mengetahui harga tiket ke Surabaya sudah dinaikkan petugas. Padahal Garuda kalau di terminal lain cuma Rp. 1,5 juta, namun di sana malah dijual Rp. 1,7 juta.

Akhirnya Eli memutuskan meng­gunakan travel yang sudah disediakan pihak Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Namun ternyata pemerasan belum usai. Harga travel yang seharusnya hanya Rp 250 ribu malah dijual Rp 450 ribu. Sepanjang perjalan­an pulang, Eli dan rekan-rekannya di­peras oleh sang sopir dan rekannya. Dengan dalih uang lelah dan uang makan, sang sopir meminta sejumlah uang. Untuk makan saja sang sopir mampir ke restoran yang mahal. Si sopir meminta satu orang Rp. 300 ribu. Begitulah seterusnya, pemerasan terus berlangsung sebelum Eli tiba tepat di depan pintu rumahnya.

Amanah Menghargai TKI

Eli adalah salah satu dari ratusan ri­bu TKI yang bisa kita ketahui pengalaman­nya. Selain Eli, bisa jadi mengalami nasib yang lebih buruk. Mereka tidak mampu berbuat apapun, selain menanti kapan pemerintah mengambil kebijakan yang dapat mengubah nasib mereka lebih baik dan terlindungi. Kejadian yang dialami Eli adalah buah dari tidak adanya jaminan keamanan dan pelayanan pemulangan TKI yang maksimal.

Berbagai cara dilakukan orang-orang yang tak bermartabat dan tak berhati nurani, untuk merebut uang penghasilan yang diperoleh dengan jerih payah berkeringat para TKI. Sungguh jauh berbeda dengan realitas tenaga kerja Filipina yang disambut langsung oleh Presiden atau paling tidak Menteri. Karena sekali lagi, mereka dianggap sebagai “pahlawan” negaranya, pahla­wan yang men­datangkan devisa bagi negara ber­sangkutan.
Sementara di negeri ini, ucapan “Selamat Datang Pahlawan Devisa” seakan menjelma rayuan gombal. Karena setelahnya, selain pembedaan dalam melewati jalan pulang, mereka pun akan diperas secara perlahan. Tidak heran jika rencana pemulangan TKI ke jalur umum baru akan terealisasi tahun ini. Karena kurang lebih lima belas tahun   lalu, Kementerian Tenaga Kerja juga merencanakan dan meminta terminal khusus TKI di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Sayangnya, lagi-lagi rencana hanya tinggal rencana. Hingga akhirnya di bulan Juni 2010 mendatang, pemerintah kembali berjanji untuk merealisasikan rencana memberlakukan open management dalam hal perlindungan dan penanganan TKI.

Kita tetap berharap agar pemerintah benar-benar menjalankan amanahnya. Salah satunya amanah dalam mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat (Tasharruful Imam ‘ala ar-ro’iyyah manuthun bi al-mashlahah). Dalam Islam, amanah adalah setiap apa yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya. Pada sisi lain, ulama mendefinisikan amanah dengan sifat akhlak yang tetap pada jiwa manusia untuk menjaga dari apa yang bukan menjadi haknya.

Pernah salah seorang sahabat yang meminta jabatan kepada Rasulullah SAW, dengan rasa kasih sayang dan tegas, Rasulullah SAW menyampaikan kepada sahabat tersebut bahwa ia lemah dan amanah itu sangat berat, kalau ia tidak mampu, amanah itu akan menghinakan dia dan akan meminta pertanggungjawaban di akhirat dan dia akan menyesal.

Allah SWT juga telah berfirman dalam Qur’an Surat (QS) al-Anfal ayat 27 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”(QS: Al-Anfal 27). []

Fauzan adalah Alumni Pondok Pesantren (Ponpes) Riyadlhul Ushuliyah,
Rajapolah, Tasik Malaya.