Hari Senin, 1 September 2008, umat Islam kembali menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Tetapi, puasa akan hampa ketika hanya dijalankan sebatas ritual semata. Karena itu, puasa akan jauh bermakna ketika memberi manfaat kepada orang lain. Inilah puasa yang bisa disebut puasa transformatif.
Mengapa transformatif?
Menjadi pertanyaan, mengapa puasa harus transformatif? Ada beberapa pertimbangan. Pertama, saat ini Indonesia, sedang menderita ”lapar” keteladanan dari para pemimpin umat karena sebagian dari mereka sibuk mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif atau gubernur dan wakil gubernur. Memang, mencalonkan diri sebagai caleg, gubernur atau wakil gubernur tidak haram bagi mereka yang berpuasa. Tetapi menjadi masalah saat momentum puasa dijadikan ajang kampanye oleh para kandidat, justru ketika umat khusyuk beribadah.
Kedua, sebagai mayoritas, umat Islam Indonesia sedang dalam kondisi pertarungan yang amat kompetitif dalam internal Islam. Umat Islam sedang disibukkan pekerjaan mengusung partai politik berasas Islam dengan upaya merebut suara Muslim dalam Pemilu 2009. Keadaan ini lebih berbahaya lagi sebab saat ini partai politik sedang terpuruk sehingga banyak politikus memanfaatkan agama sebagai ”jualan” kepada masyarakat. Dan, seperti biasa, setelah dibeli, pedagang melupakan pembelinya.
Ketiga, kini kondisi bangsa sedang dilanda berbagai musibah berupa bencana kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), kekeringan, gagal panen, dan naiknya harga bahan makanan pokok karena gas naik lagi. Jeritan rakyat kian keras saat kesulitan mendapatkan barang-barang yang oleh pemerintah diinstruksikan agar dibeli, tetapi langka di pasaran, seperti elpiji.
Ketiga hal itu menyebabkan kita sebagai umat mayoritas tidak boleh berpangku tangan, tidak bertindak saat melihat saudara-saudara yang lain kelaparan, kesulitan mendapat air bersih, mengalami kesusahan bahan bakar untuk masak, kebingungan karena ulamanya sibuk menjadi juru kampanye partai, menjadi caleg, dan seterusnya. Umat Islam tidak boleh melepaskan penderitaan saudaranya dengan hanya berdoa dan berharap semoga terbebas dari kelaparan, kesulitan, kebingungan, dan kesusahan.
Kesalehan
Puasa merupakan ibadat yang menjadi simbol kesalehan seseorang. Puasa bernilai spiritual sekaligus fisikal. Puasa hanya akan dinilai langsung oleh Tuhan sebab hanya yang menjalankan dan Tuhan yang mengetahui. Karena itu, nilai puasa sebenarnya adalah ajaran tentang kejujuran dalam hidup, kejujuran dalam bertindak dan berperilaku.
Puasa sebagai manifestasi kesalehan akan bernilai ganda saat orang yang berpuasa mampu menjaga hal-hal yang dilarang dan mampu menjalankan hal-hal yang dianjurkan. Semua ini adalah bentuk kesalehan individual.
Sahwat Rahwana
Namun, puasa akan amat bermakna tatkala dapat menjadi bagian dari bentuk-bentuk kesalehan sosial (social piety) yang berdampak kepada orang lain. Kesalehan sosial ini yang oleh Tuhan akan dinilai sebagai bentuk lain dari buah iman seseorang. Iman seseorang hanya layak di sisi Tuhan saat berdampak positif pada orang lain. Dalam bahasa lain, Tuhan hanya akan bersemayam pada jiwa ”yang miskin sahwat Rahwana”.
Sebagai manifestasi kesalehan individual dan sosial, puasa menjadi amat bermakna dalam hidup seseorang saat mampu menciptakan kondisi kondusif untuk terjadinya perubahan pada masyarakat yang susah. Puasa yang dijalankan setiap tahun oleh umat Islam hanya bersifat ritual jika tidak mampu menjadi pendorong tumbuhnya masyarakat yang beradab.
Masyarakat beradab adalah masyarakat yang bersedia berkorban bagi orang lain tanpa melihat agama, etnis, dan keturunan saat akan berbuat baik (berbuat amal saleh). Puasa orang yang beradab adalah bukan sekadar puasa menahan lapar, menahan dahaga, tetapi sekaligus puasa dari segala bentuk sahwat Rahwana.
Sebagai pijakan untuk membangun masyarakat beradab, puasa harus mampu menciptakan perubahan di tengah masyarakat saat banyak elite agama, politik, dan birokrat mabuk glamoritas duniawi.
Menuju puasa seperti itu memang tidak mudah sebab merupakan puasa yang mendekati ideal, puasanya kaum khas (khusus). Padahal, sebagian dari umat Islam masih dalam taraf puasa awam. Tetapi, puasa awam tidak berarti tidak dapat berdampak pada perubahan peradaban masyarakat yang sedang dilanda krisis keteladanan dari pemimpin negeri ini.
Semoga pada puasa kali ini umat Islam sebagai mayoritas, bersama umat lain bersama-sama dapat menghadirkan peradaban di bumi Nusantara. Bumi Nusantara diselamatkan dari politisi busuk, birokrat kotor, dan perilaku tidak beradab lainnya.
Karena itu, puasa transformatif merupakan puasa yang akan berdampak pada perubahan peradaban manusia dari keterpurukan menuju kecemerlangan karena orang-orang bukan hanya puasa lapar, tetapi sekaligus puasa dari kerakusan duniawi. Pertobatan melalui puasa harus benar-benar berdampak pada perubahan peradaban bangsa ini.
Zuly Qodir Pengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: Kompas, 30 Agust 2008