Senin, 7 Oktober 2024

Jalan Terjal  Memperjuangkan Toleransi

Baca Juga

 

Oleh: Noor Kholis Majid

 

Dewasa ini, sering kali notif intoleransi dari berbagai feed di setiap media sosial itu bermunculan. Berbagai konflik yang terjadi disebabkan karena sebuah perbedaan, akhir-akhir ini menjadi problem yang sangat kompleks di dunia maya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Menurut databoks.katadata.co.id. bahwa pengguna media social itu didominasi oleh kalangan 18-34 tahun yakni dengan persentase 54,1% dari keseluruhan penduduk Indonesia. Yang mana 73% dari kalangan tersebut memanfaatkan media sosial sebagai pencarian informasi/berita.

Oleh karena sebab itu, kita sebagai pengguna yang telah mengetahui persentase tersebut, harus lebih bijak menggunakan media sosial terutama dalam pencarian informasi/berita. Karena sebab itulah berbagai konflik intoleransi itu berkembang semakin pesat, ditambah kaum-kaum liberal yang akhir-akhir ini mulai menguasai media sosial. Memberikan doktrin-doktrin yang menyebabkan sebuah perpecahan.

Berbagai cara telah dilakukan untuk meredam konflik intoleransi tersebut. Salah satunya yaitu melalui sinematografi atau yang lebih akrab kita kenal sebagai film.

Salah satu film yang memberikan sebuah doktrinisasi suatu sikap toleran yang akhir-akhir ini sedang krisis adalah Where Do We Go Now.

Kelvin Mahesa Saputra yang kini terpilih menjadi ketua Karang Taruna Kecamatan Lemahabang, mengadakan sebuah acara edukasi. Tepatnya pada hari sabtu tanggal 13 september 2024 pukul 13:00 di Aula Pendopo Kecamatan Lemahabang.

Setelah diberi izin oleh Ibu Yuyun selaku Ibu Camat di Kecamatan Lemahabang tersebut, beliau dan tim suksesnya mengadakan sebuah acara edukasi berupa bedah film Where Do We Go Now dan tentunya mendiskusikan bersama daripada poin-poin penting yang terdapat pada film tersebut yang dijadikan sebagai pondasi dasar dalam memahami arti indahnya toleransi.

Film yang release pada tahun 2011 itu dijadikan Kelvin Mahesa Saputra dan tim suksesnya sebagai gambaran daripada makna toleransi yang semestinya kita bangun. Film yang disutradarai oleh Nadine Labaki ini mendapat banyak appreciation dari publik atas pencapaiannya dalam menyalurkan sebuah keluh kesah kesengsaraan Negara Lebanon, karena maraknya peperangan yang terjadi pada saat itu.

Film tersebut menceritakan sebuah perjuangan perempuan untuk meredam amarah para kaum lelaki, baik dari anak maupun suami mereka. Karena sedikit saja ada permasalahan muncul, maka para perempuan di sana akan ditinggalkan oleh anak laki-laki atau suami mereka untuk selama-lamanya.

Sejak tahun 1975, Lebanon memang sangat sensitif akan peperangan. Yang penyebabnya bukanlah suatu permasalahan yang besar, melainkan hanya permasalahan kecil yang itu pun sering kali terjadi dikarenakan adanya kesalahpahaman di antara mereka.

Digambarkan dalam film tersebut bahwa pertikaian yang terjadi itu di antaranya adalah salib yang patah dikarenakan ketidak sengajaan seseorang yang menjadikan salib tersebut sebagai bahan tumpu ketika dirinya akan terjatuh, pintu masjid yang terbuka sehingga hewan-hewan yang ada di kampung tersebut masuk ke dalam masjid dan hilangnya sandal-sandal para kaum lelaki muslim setelah melaksanakan sholat jum’at. Percikan pertikaian tersebut  bermula ketika diadakannya nonton bersama yang mana para perempuan sudah mempunyai firasat buruk akan hal itu. Karena sebuah berita peperangan yang sedang viral di Negara mereka. Ditakutinya, ketika para lelaki menonton saluran televisi yang di dalamnya terdapat berita bahwa negara mereka sedang mengalami krisis toleransi yang disebabkan karena permasalahan yang sepele, itu akan menyebabkan sebuah permasalahan yang amat sangat besar di kampungnya. Karena dari tontonan menjadi tuntunan itulah mereka merasa adanya sebuah ketidak adilan yang terjadi selama ini di kampung mereka. Dan akhirnya, sikap temperamental yang selama ini telah terkubur dalam-dalam, itu muncul kembali dan menjadi bumbu penyedap dari terjadinya sebuah peperangan.

Perempuan yang hidup di tengah-tengah kondisi seperti itu merasa sangat sedih setiap seseorang yang menjadi bagian daripada keluarganya itu meninggal. Sampai-sampai mereka sering menggunakan gamis hitam karena banyaknya yang meninggal dari insiden peperangan tersebut.

Dari kesedihan tersebut muncullah inisiatif hebat. Yakni mereka bersatu dan mengepalkan tangan untuk meredam amarah dari sikap tempramental laki-laki mereka, yang menjadi pemicu kesedihan  yang terjadi pada mereka selama ini.

Segala cara yang mempunyai kemungkinan untuk mengakhiri sebuah peperangan, dipaksakan untuk bisa dilakukan oleh mereka. Di antaranya yakni mengundang lima penari seksi asal ukraina untuk membantu mereka. Di mulai dari mereka merekam obrolan para lelaki yang tujuannya untuk bisa mengetahui tempat penyimpanan senjata-senjata mereka. Dilanjut dengan merancang strategi berikutnya yakni mengadakan pesta yang dihadiri oleh lima penari seksi tadi untuk menghibur para lelaki mereka.

Bukan hanya para perempuan saja yang berperan dalam insiden tersebut, melainkan para tokoh agama pun ikut membantu dalam rangka mengakhiri berbagai pertikaian, dengan mengumumkan bahwa seluruh umat islam dan kristian wajib hukumnya untuk menghadiri pesta yang akan diadakan.

Setelah para lelaki itu hadir pada pesta tersebut, para perempuan pun memberikan jamuan kue yang sengaja mereka campur dengan ganja agar para lelaki tidak sadarkan diri dalam jangka waktu yang cukup untuk melaksanakan strategi berikutnya, ditambah penari-penari seksi yang membuat mereka bertambah mabuk di pesta tersebut.

Disitulah mereka para perempuan mencari senjata-senjata yang selama ini digunakan untuk berperang, menggunakan info yang didapatkan dari rekaman yang sempat direkam pada saat para lelaki sedang mengobrol. untuk kemudian menguburkan senjata-senjata tersebut.

Sampai pada puncaknya para perempuan berinisiatif untuk menggunakan pakaian agama tetangganya, islam menggunakan pakaian kristian dan kristian menggunakan pakaian islam. Dengan tujuan agar laki-laki yang ingin melakukan peperangan itu berpikir kembali karena yang akan diperangi adalah seseorang yang menjadi bagian daripada keluarganya sendiri.

Pada film ini membuktikan bahwa seorang perempuan yang selalu dianggap lemah atau sebagai manusia yang hanya bisa bekerja dalam ruang lingkup dapur, sumur, dan kasur, itu mereka mampu berperan dalam ruang lingkup yang sangat penting sebagai elemen primer peredam terjadinya peperangan yang telah lama terjadi.

Seperti Halnya yang telah digambarkan oleh film Where do we go now tadi, bahwa senjata yang digunakan Perempuan itu bukanlah Ak47 ataupun pistol dan semacamnya, melainkan kelembutanlah yang menjadi senjata terkuat mereka untuk menyelesaikan konflik tersebut.

Di samping itu semua film Where Do We Go Now pun mengingatkan kita, bahwa betapa pedihnya kehidupan yang terjalin hanya karena sebuah perbedaan tapi menjadi pemicu terjadinya pertikaian. Ingat! Gus Dur pernah berkata, “Agama itu melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan”. []

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Kampung Sawah: Potret Keberagaman Terbalut Hangat dengan Nilai Persaudaraan

Oleh: Devi Farida Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang...

Populer

Artikel Lainnya