Bagi Masyarakat Babakan Mulya upacara adat, mungkin menjadi satu-satunya ekspresi akal budi yang tersisa sebagai pemersatu masyarakat, lingkungan dan alam semesta. Alam, hutan, air dan semesta seperti halnya manusia, merupakan manifestasi wujud tuhan di dunia ini. Tuhan sejatinya akan dilihat oleh orang yang melihat kebenaran-Nya. Dalam kitab “al Hikam” Ibnu Athoillah menulis “ man ‘arafal haq ‘arafahû fi kulli syai”(Barang siapa melihat Al Haq [Allah] maka ia akan melihat-Nya di segala sesuatu). Keindahan Taman Balong Dalem, keindahan gunung Ceremai, keindahan Hutan Pinus, Hijaunya ladang tomat dan sawah pertanian merupakan bentuk ‘tanda-tanda” bagi kebesaran Allah. Ibnul Arabi menyebutkan pula bahwa alam semesta adalah wujud imanensi [tajali] Allah di alam semesta ini. Manusia yang mau berfikir akan dapat melihat tanda-tanda ini. Inna fi Khalqi as Samâwâti wal ardh wakhtilâfil laîli wan Nahâri la’ayâti li ulil albâb (Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, perputaran siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang memiliki pengetahuan).
Masyarakat pegunungan yang berbasis pertanian sangat terkait dengan kepercayaan ini. Kesadaran hadirnya Tuhan dalam semesta misalnya nampak dalam upacara adat Kawin Cai Tirta Yatra Balong. Tradisi ini, dipertahankan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat sebagai bentuk komunikasi dengan pencipta-Nya. Sebagaimana juga dzikir, pembacaan kalam atau syiir-syiir dan amalan ibadah lainnya.
Kepercayaan lokal dan indegeneous tradisi semakin kasat mata. Ini tak lepas pula dari paradigma baru yang diusung oleh Leif Manger misalnya yang melihat agama bukan persoalan hitam putih, bukan persoalan tunggal, milik Timur Tengah, tetapi Islam dimungkinkan melakukan dialektika yang dinamis. Antara Islam dalam kategori universal dengan lokalitas dimana ia hidup. Hal ini dikarenakan sekalipun Islam memiliki karakter universal, ia juga merupakan produk dari pergulatan dengan konteks lokal. Tentu pandangan ini sepertinya memberi spirit baru bagi tumbuh kembangnya tradisi. Tak berlebihan jika abad ini disebut sebagai abad reaktualisasi progresif atas tradisi.
Berlawanan dari kondisi ini, pada masa-masa modernisme merupakan masa yang paling tidak nyaman bagi keberadaan tradisi. Selain dipersoalkan keontetikan di sisi agamanya, ia juga di cap sebagai sinkretis yang bertentangan dengan kemurnian Islam. Upacara adat, tradisi, selalu di caci maki sebagai biang dari kerusakan aqidah, kerusakan agama dan akar dari keterbelakangan kebudayaan Islam.
Munculnya pandangan ini ditengarai sebagai kegagalan dalam melihat keragaman Islam. Usaha memurnikan Islam selalu berujung pada pendefinisian Islam sebagai sesuatu yang tunggal. Islam dipandang sesuatu yang telah jadi. Islam yang ada dipersepsi dan diyakini sebagai tunggal dengan menafikan adanya keragaman. Akibatnya, gagal dalam mengidentifikasi kekuatan Islam untuk berdialog secara kreatif dengan kearifan lokal. Ini tak lepas dari pondasi dosa yang telah dibuat oleh Cliffordz Geertz yang terlalu terpaku pada sumber Islam modern atau puritan, dimana Islam di Jawa yang dekat dengan tradisi lokal dan dipengaruhi tradisi Hindu Budha sebagai Islam garis bawah kalau tak dikatakan semi Islam, atau bahkan bukan Islam sama sekali. Menurutnya karena warna Arab pudar dan dikalahkan oleh simbol Jawa. Islam Jawa bukanlah seorang muslim yang sesungguhnya karena ia tetap melaksanakan tradisi Jawanya. Selagi ia tetap melaksanakan tradisinya, maka ia akan tetap sinkretik, paganistik, dan hiterodok Islam di Jawa pada masa ini sangat tak diuntungkan, khususnya munculnya pemikir semacam Ricklefs dan Deliar Noer yang kehilangan apresiasi terhadap harmoni Islam pada lokalitas.
Namun dalam perkembangannya, cara pandang seperti ini menuai banyak kritik. Marshal Hodson, ahli peradaban Islam yang sangat terkemuka di Universitas Chicago, Amerika Serikat mengkritik Geertz dan yang lainnya sebagai seorang yang”termakan” oleh bias penjajah dan tak mengetahui Islam kecuali dari sudut pandang kaum modernis muslim. Bagi orang-orang yang mengetahui Islam, fenomena Islam di Indonesia menunjukan betapa sangat kecil sisa masa lalu Hindu, bahkan di Jawa pedalaman.
Robert Hefner dari Universitas Boston mendukung kritik Hudson di atas dengan temuannya yang menunjukan bahwa bahkan di kalangan penduduk Hindu di Tengger, pegunungan Jawa Timur, ciri-ciri keislaman sangat jelas tampak dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula dengan penelitian lapangan Mark Wood Ward dari Universitas Arizona ia menemukan bahwa dalam seluruh orientasi kulturalnya, keraton Jawa di Yogyakarta lebih terasa warna Islamnya daripada warna Hindunya. Semua ini mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa Islam benar-benar berpengaruh pada lapisan paling dasar kebudayaan Indonesia. Hal ini juga sangat terasa dan upacara adat kawin cai di Balong Dalem, yang dari awal dasar pembentukan, proses, dan muatan nilai, serta tokoh-tokoh yang memiliki kaitan erat dengan tradisi Islam. Ini nampak jelas dalam perkembangan terbentuknya tradisi kawin cai di salah satu cagar budaya Taman Nasional Gunung Ciremai Kuningan.
Sebagai daerah yang menjadi penopang sumber pengairan di desa-desa bahkan daerah sekitar Kuningan dari awalnya sudah dikelola melalui mandor yang secara langsung ditunjuk oleh Kesultanan Cirebon. Ini bisa dilihat misalnya dari pengelola utama, mandor gunung dari waktu ke waktu menjadi penanggung jawab bagi pengelolaan dan menjaga keasrian Balong Dalem. Sebut saja misalnya, Buyut Bayu, Buyut Bewok, Buyut Boong (Pangeran Antakusuma), Buyut Sindu Pertala, Buyut Tua Ananta dan lain-lain. Air, merupakan potensi strategis, dan ini juga yang disadari oleh Kesultanan Cirebon. Selain memberikan perhatian secara politis melalui pembentukan dan penunjukan mandor, juga membangun pandangan dunia yang bermanfaat bagi upaya pelestarian alam.
Penulis adalah anggota BPD Babakan Mulya dan aktifis ISNU Kuningan yang sekarang aktif sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi Islam di Bandung.