Sepekan lalu, secara tidak sengaja di tempat yang berbeda, ada tiga ibu rumah tangga mengeluhkan nasib anak perempuannya, yang tengah bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) atau buruh migran di negeri tetangga. Dua di antaranya bekerja di Arab Saudi, dan satu di antaranya di Malaysia. Keluhan mereka sama, yakni tentang nasib puterinya yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Ibu pertama mengeluhkan nasib anak perempuannya yang sudah 18 bulan di Malaysia tanpa kabar berita. Ibu kedua menceritakan nasib anak perempuannya yang tengah sakit akibat dijatuhkan oleh anak majikannya di Arab Saudi dari lantai bertingkat. Ibu ketiga mengungkapkan bahwa kini anaknya tengah berada di kantor Polisi di Arab Saudi, namun tidak jelas apa masalah yang menyebabkannya berada di sana. “Anak saya sepertinya disukai oleh anak lelaki majikan. Karena anak saya tidak suka, maka dia dijebloskan ke penjara,” demikian Ibu ketiga berkeyakinan tentang anaknya. Namun, dia masih sekadar menebak-nebak.
Kegagalan Pemerintah
Curahan hati (Curhat) ketiga perempuan paruh baya asal Kabupaten Cirebon tersebut bukan rekayasa. Sungguh benar-benar nyata. Derita para TKI sampai sekarang tak kunjung tuntas. Ya, setidaknya berkurang. Dari sekian derita TKI dan keluarganya, lalu di mana pemerintah kita? Dimana para pengerah tenaga kerja ketika pekerja mereka tertimpa masalah di negaranya? Bukankah mereka begitu antusias ketika berebut rezeki dari potongan-potongan gaji TKI? Termasuk pihak swasta yang terdiri dari pengerah tenaga kerja, perusahaan asuransi, perusahaan angkutan, dan perbankan, di mana tanggungjawab mereka?
Kabar terbaru, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) RI dan Menteri Perburuhan Malaysia pada tanggal 18 Mei 2010 telah menandatangani Letter of Intent (LoI) mengenai penempatan dan perlindungan pekerja rumah tangga migran Indonesia yang bekerja di Malaysia. Padahal, dokumen tersebut belum memiliki ikatan hukum yang tegas dan rinci, terutama dalam mengatur masalah penempatan dan perlindungan PRT migran, yang hingga saat ini berada dalam situasi kerentanan tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Sehingga, urgensi agar Indonesia dan Malaysia memiliki MoU yang komprehensif untuk perlindungan PRT migran didasarkan pada cita-cita untuk mengakhiri situasi nirproteksi yang berlangsung hingga saat ini. MoU yang ditandatangani kedua negara tahun 2006 bukan menjadi payung perlindungan bagi PRT migran, melainkan malah menjadi perangkap dan potensi bagi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap buruh migran.
Negara, Agama dan Pemerintah Harus Optimal
Tentu saja, fakta tersebut menunjukkan bahwa belum ada niat baik dari pemerintah. Karena dengan pengalaman Indonesia yang bertahun-tahun menyalurkan buruh migran, Indonesia tidak juga menunjukkan perkembangan yang semakin baik. Dalam hal ini, negara, agama dan pemerintah adalah institusi yang kuat dalam menjabarkan kesejahteraan sosial, institusi yang paling optimal dalam membawa arah perubahan terhadap umat, masyarakat dan warga negara. Ketiganya harus berjalan seiring dalam menciptakan keadilan di masyarakat, terutama dalam hal ini memperjuangkan keadilan buruh migran.
Peranan institusi agama adalah mempertegas teologis, dengan menyatakan secara tegas pentingnya moralitas dalam kehidupan. Ketika peranan agama tidak ambil andil dalam percaturan sosial, sisi moralitas jauh dari peradaban manusia, maka mungkin ketidakadilan itu akan terjadi dalam lapisan-lapisan mana saja. Begitu juga dengan peranan negara, negara sebagai wadah tempat bagi masyarakat untuk melangsungkan kehidupannya jelas akan memberikan aturan-aturan main yang tegas untuk menjaga supaya keteraturan dalamnya terwujud. Sedangkan pemerintah harus menjadi pihak yang kuat untuk mewujudkan teologi keadilan itu. Ia membuat sistem dan hukum yang dilandasi pada semangat kemanusiaan dan keadilan.
Firman Setiana adalah mahasiswa Fakultas Syari’ah Institute Studi Islam Fahmina (ISIF), sekarang masih nyantri di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin Cirebon.