Sabtu, 23 November 2024

Ulama Pelopor Kebangkitan Ummat

Baca Juga

Warkah al-Basyar Vol. VIII Edisi 24 (10 Juli 2009 M./17 Rajab 1430 H)

Di dunia ini tidak ada yang memiliki derajat yang lebih mulia selain para ulama (di banyak tempat ada yang menyebut kiai, Tuan Guru, Tengku, Syaikh, buya, ustadz, dll). Karena para ulama itulah pewaris para nabi (al-ulama waratsatul ambiya). Di tangan para ulama ini ajaran-ajaran para nabi dititipkan untuk diteruskan kepada ummat. Setiap berkurangnya (kematian) ulama maka ilmu ajaran kenabian juga surut dengan sendirinya, karena begitulah cara Allah mencabut ilmu kepada manusia. Namun demikian Al-Ghazali, telah mengingatkan bahwa ulama itu ada yang buruk (ulama syu’) dan ada ulama yang baik (ulama khair). Maka meskipun sama-sama pewaris, ada yang “menjual warisannya” (ulama syu’) ada juga yang menjaga warisannya (ulama khair). Sebagai pemegang warisan tahta kenabian, maka sudah semestinya para ulama ini menjadi pelopor dari segala macam krisis yang melanda umat manusia. Setiap ada krisis baik ekonomi, politik, sosial, budaya, adalah tugas ulama untuk tampil sebagai garda depan perubahan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan berkecukupan.

Meneladani Para Nabi

Sebagaimana yang teracik dengan sangat jelas dalam Al-Qur’an dan hadits, bahwa tugas utama para nabi dan rasul adalah mewujudkan masyarakat yang bebas dari segala macam penindasan dan keangkaramurkaan. Gambaran tugas kenabian ini dapat di lihat dalam kisah (untuk menyebut beberapa contoh) perjuangan nabi Nuh, Hud, Shaleh, Yusuf, Syuaib, Musa, Ibrahim, Isa, dan dipungkasi dengan nabi Muhammad.

Nuh, utusan Allah yang berada di Mesopotamia adalah tokoh pergerakan kaum proletariat (kaum lemah nan tertindas). Kaum buruh, pekerja kasar, budak, anak yatim, dan kaum perempuan adalah pengikut setia Nuh. Golongan ploretariat ini melakukan aksi demonstrasi atas perlakuan kaum kaya yang menindas dan menganggap mereka sebagai sampah. Meskipun Nuh dan kawan-kawan mendapatkan teror terus menerus, diancam pembunuhan, perjuangannya tidak pernah henti. Bagi kaum ploretar tidak ada kompromi pada orang kaya yang mengekploitasi, menindas, dan melanggengkan tatanan sosial yang tidak adil.

Karena kesombongan yang tak terhenti ini, maka Allah mewahyukan kepada Nuh untuk membuat bahtera (kapal). Begitu kapal jadi, Allah menurunkan bencana banjir bandang. Mereka yang mendustakan Nuh habis, termasuk istri dan anaknya. Sebaliknya, seluruh umatnya kaum ploretar selamat dengan menaiki perahu yang mereka buat. Kepongahan kaum borjuasi (penguasa) penindas Mesopotamia berakhir bersamaan dengan banjir bandang ini.

Kaum ‘Ad pada masa nabi Hud juga cermin masyarakat yang keras dan kejam. Letak geografis yang sangat subur di selatan Arabia Kuno menyebabkan masyarakatnya makmur. Namun kemakmuran ini ternyata menjadi awal perpecahan dan kesenjangan, yang kaya semakin kaya yang miskin tambah miskin. Mereka yang kaya mulai menindas yang miskin. Sistem ekonomi hanya berputar pada para pejabat dan pengusaha kaya saja.

Hud telah memperingatkan mereka yang kaya dan dhalim agar kembali kepada sistem kehidupan sosial yang berkeadilan, terbebas dari penindasan terhadap masyarakat yang lain. Namun peringatan tersebut malah dijadikan bahan olok-olokan. Lalu, Allah berfirman “…. dan tuhanku akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tidak dapat mendatangkan mudlarat kepada-Nya sedikitpun….” (QS. Hud, 11: 57). Kaum Ad hancur akibat krisis ekologi, ekonomi, dan sosial politik. Percekcokan, kelaparan, pertikaian di antara mereka, di tambah dengan bencana yang silih berganti, membuat kaum ‘Ad hancur dan habis ditelan kearogansiannya sendiri.

Generasi setelah kaum ‘Ad adalah kaum Tsamud yang menempati daerah Arabia Petraea. Tidak beda dengan kaum Ad, kaum Tsamud dengan kenikmatan alamnya yang sangat subur dengan hasil yang melimpah, membuat sebagian masyarakatnya mulai melakukan eksploitasi, terutama dilakukan oleh sembilan keluarga pengusaha dan penguasa di negeri Tsamud. Sembilan keluarga ini menguasai semua alat-alat produksi, air, tanah, sehingga kaum miskin papa tidak dapat menggunakan tanah, air, dan alat produksi lain untuk kehidupannya.

“Tanah, padang rumput, air adalah milik bersama, dan tidak boleh dikuasai segelintir orang dengan cara-cara yang keji” teriak Shaleh dalam satu unjuk rasa bersama kaumnya. Tatanan yang tidak seimbang ini pada akhirnya goncang, percekcokan dan perpecahan internal para penguasa, gerakan revolusi kaum miskin yang tak pernah mati, membuat kaum Tsamud hancur (Ziaul  Haque, Wahyu dan Revolusi,  LKiS, 2000).

Sejarah kehancuran akibat ketidakadilan sistem ekonomi juga dialami oleh kaum Madyan, umat nabi Syuaib. Nabi Musa dengan tongkat saktinya juga telah mengentaskan sistem perbudakan di Mesir di bawah kendali Fir’aun. Dan nabi Muhammad, kita semua telah paham, melakukan perlawanan yang maha dahsyat atas kaum kafir Quraisy yang telah melakukan perlakuan yang tidak manusiawi terhadap sesama dan kesewenang-wenangan atas hak-hak kaum miskin.

Demikian, sejarah telah mengajarkan bahwa nafsu serakah telah menyebabkan jomplangnya keseimbangan hidup. Masyarakat yang sebelumnya damai, rukun, menjadi terbelah dalam “dua kasta” yang menindas dan ditindas. Dalam kondisi seperti ini para nabi dan rasul selalu menjadi pelopor pergerakan untuk mengembalikan kehidupan yang berkeadilan pada kehidupan sesama.

Tugas Para Ulama

Ulama sebagai pewaris para nabi sudah sewajarnya untuk senantiasa meneladani pada sejarah ini. Tidak ada seorang nabi pun yang “tidur di rumah” ketika masyarakat hidup dalam ketimpangan dan kedhaliman. Seorang ulama harus tampil paling depan untuk menyuarakan firman-firman Allah, warisan para nabi.

Bercermin pada zaman para nabi, setiap krisis selalu dimulai dari benih-benih keserakahan seperti kaum terdahulu. Sampai tahap tertentu efek keserakahan masih dapat di tahan. Tetapi pada tahap tertentu pula efek keserakahan, ibarat bendungan akan meluber bila tidak kuat menahan deras laju air. Krisis yang terus menerus juga menunjukkan bahwa praktek dan efek keserakahan sedemikan mengerikan sehingga tidak mudah untuk diatasi dan diselesaikan.

Kini saatnya, para ulama, para pewaris para nabi, tampil menuntaskan kebejatan moral warga bangsa. Para ulama harus berani seberani para nabi, memimpin pergerakan rakyat, turun gelanggang melawan segala kemungkaran. Tentu saja, harapan ini bisa terwujud manakala di negeri ini masih ada ulama khair, seperti kata Al-Ghazali. Ulama syu jelas bukan menjadi harapan, karena ulama model ini telah “menjual warisan” para nabi tersebut, bukan mempertahankannya seperti yang dilakukan ulama khair. Wallahu a’lam bi shawab.[]


*Penulis adalah manager PUSDAIM (Pusat Data, Informasi, dan Media) Fahmina institute dan Pemimpin Redaksi Warkah al-Basyar.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya