Nasib Umi Saodah (33) Tenaga Kerja Wanita (TKW) RT 6 RW 5 Dusun Tlawongan Desa Karangtengah Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang yang terjebak dalam konflik perang di Palestina, hingga kini keberadaannya masih belum jelas. Keluarga kesulitan untuk menelusuri keberadaannya, karena majikan sebelumnya Dr Suhaib Kamal, telah menyatakan Umi Saodah tidak lagi bekerja di tempat itu.
Sebelumnya, di beritakan Suara Merdeka, Sabtu (10/1), keluarga khawatir terhadap Umi Saodah yang bekerja di Palestina sebagai TKW setelah terjadi konflik Israel dan Palestina. Tidak ada kejelasan bagaimana mencari dan menghubungi TKW yang sejak tahun 2000 lalu bekerja di daerah yang kerap dilanda konflik ini.
Menurut Halimah, sepupu Umi Saodah, mereka bersama-sama berangkat ke Jakarta tahun 2000 mencoba peruntungan menjadi TKW di Timur Tengah. Saat itu berangkat pula 2 orang tetangga mereka Ani (25) dan Dariah (35) menuju ke sebuah tempat penampungan tenaga kerja di Cipinang Muara 3. ”Saya hanya ingat waktu itu berada di Cipinang Muara 3 Jakarta. Sempat beberapa waktu mengurus rencana keberangkatan, tetapi masih belum jelas,” kata Halimah.
Di lokasi tersebut hanya perumahan biasa yang sempit. Mereka hanya menunggu saja dan dijanjikan diurus semua administrasi keberangkatan, berupa paspor dan visa. Sekitar 2 minggu kemudian, pengelola yang diperkirakan merupakan makelar pengerah tenaga kerja, meminta kami bersiap karena segera diberangkatkan.
”Namun karena tidak yakin, Halimah memilih melarikan diri, karena sebelum diberangkatkan harus menginap di sebuah hotel. Masa harus menginap di hotel? karena curiga saya langsung kabur, sementara 3 orang termasuk Umi tetap bertahan,” jelasnya.
Namun, kecurigaan Halimah tidak terbukti, sebab dia mendapat kabar bila Saodah dan 2 orang tetangganya tersebut telah bekerja di Palestina. Mereka pun sempat berhubungan, terutama ketika setahun kemudian Halimah juga telah bekerja di Dubai.Halimah pun akhirnya memutuskan berhenti 2005 karena berkeluarga. Ani dan Dariah juga telah pulang, tetapi selama di Palestina tidak pernah berhubungan. Sekitar setahun lalu Umi Saodah mengirimkan surat beralamat Suhaib Kamal di Gaza-Palestina PO Box 1439.
Terakhir Halimah berhubungan via telepon dengan Saodah sebelum lebaran lalu. Beberapa pekan kemudian dia tidak dapat dihubungi lagi. Halimah juga telah menghubungi majikan Umi, Suhaib Kamal, tetapi dijawab bila Saodah sudah berhenti bekerja. Keluarga cemas ketika terjadi perang di kawasan tersebut, sementara Saodah tidak dapat dihubungi kembali begitu juga keluarga Suhaib Kamal. Hal itu membuat Moh Yusmin (58) dan istrinya Katinem (55), orang tua Umi Saodah semakin bersedih. Mereka hanya berharap anaknya bisa dipulangkan ke Tanah Air. (Sumber: Cybernews edisi 11/01/2009).
Pemerintah Harus Lebih Serius Lindungi TKI
Hampir kita semua mengetahui, bahwa menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, selain dapat menghasilkan uang lebih banyak, juga mendatangkan berbagai resiko, khususnya yang berlokasi di daerah konflik, seperti Palestina.
Disamping rentan dengan berbagai resiko, fakta lapangan membuktikan bahwa TKI kurang mendapatkan perlindungan dan pembelaan yang tegas dari pemerintah. Padahal, sesungguhnya para TKI di luar negeri adalah pahlawan devisa yang mampu mengalirkan uang triliyunan rupiah ke negeri ini. Tetapi pemerintah justru terkesan berpangku tangan, ketika mereka terancam dengan berbagai kejahatan, dari mulai kejahatan trafiking sampai ancaman peperangan. Sebagaimana yang dialami Umi Saodah di Palestina.
Upaya-upaya perlindungan TKI di luar negeri nampaknya masih sebatas wacana. Karena upaya ini nyatanya masih sebatas langkah awal rintisan. Ini dilakukan antara lain melalui pembuatan nota kesepahaman dengan negara-negara penerima TKI. Mestinya upaya perlindungan tersebut tidak hanya sebatas wacana, tetapi berupa langkah-langkah kongkrit untuk menghadirkan sistem perlindungan yang baik. Karena penempatan TKI di luar negeri, tanpa dilengkapi dengan sistem perlindungan yang baik, identik bahkan sama dengan kejahatan perbudakan. Dimana keselamatan, keamanan, kenyamanan dan kesejahtreraan perempuan buruh migran sepenuhnya tergantung pada lingkup privat keluarga tempatnya bekerja.
Akar persoalan TKI di luar negeri -bila dilihat dari sisi hukum legal- sangat terkait dengan UU No. 39 th. 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Undang-Undang ini menempatkan pemerintah sebagai regulator, pembina, pengawas dan sekaligus pelaksana. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pemerintah bisa menjadi pembina dan pengawas yang obyektif, jika pada saat yang sama juga memiliki kepentingan sebagai pelaksana penempatan tenaga kerja? Inilah salah satu akar persoalan lemahnya pengawasan dan perlindungan terhadap buruh migran.
Parahnya, perlindungan terhadap TKI di luar negeri dengan dasar UU di atas dijalankan sebagai program atau proyek belaka, dan bukan sebagai tanggung jawab negara kepada warganya, sesuai dengan amanat UUD 1945. Dalam UU No. 39 th. 2004, perlindungan hanya diberikan ketika TKI menghadapi persoalan. Itu pun hanya berlaku di negara penerima yang telah memiliki kesepakatan dengan negara kita, seperti Korea Selatan da Kuwait. Padahal, dalam konteks TKI di luar negeri, perlindungan harus diberikan sejak rekruitmen, hingga tahap pascapemulangan.
*) Penulis adalah alumnus pesantren putri Ma’had al-Ilmi Babakan Ciwaringin Cirebon,
sekarang berhidmah di SMP Plus pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun