Minggu, 24 November 2024

Dimensi Sosial Ibadah Puasa

Baca Juga

Puasa mendidik seseorang untuk menghayati dan melakukan solidaritas sosial kepada sesama manusia, khususnya kepada kelompok manusia yang miskin, lapar, sengsara, dan tertindas. Puasa mengajak seseorang untuk berempati terhadap problema yang dihadapi orang lain, terutama manusia yang tidak berdaya dan dilanda kesusahan berkepanjangan.

Sejatinya, puasa memiliki makna cukup luas dan mendalam, baik ke “dalam” yang berkaitan dengan watak, psikis, dan moral, maupun ke “luar” yang berkaitan dengan persoalan sosial. Makna ke “dalam” artinya hanya orang yang berpuasalah yang tahu bahwa dia benar-benar melaksanakan puasa secara konsisten (istiqamah) dan tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Dalam konteks ini, puasa memosisikan seseorang untuk bersikap jujur. Siapa pun tidak ada yang mampu membohongi diri sendiri, bukan? Di sinilah puasa sangat relevan dengan kondisi Indonesia, di mana kebohongan, kemunafikan, dan korupsi telah merajalela dan berurat-berakar di segala lini kehidupan. Jika nilai-nilai kejujuran dipeluk secara konsisten, sudah barang tentu korupsi tidak akan terjadi.

Puasa adalah upaya untuk menahan diri dan mengendalikan nafsu, baik nafsu makan, minum, seks, dan nafsu-nafsu lainnya yang lebih luas. Hakikat puasa yang utama justru terletak pada upaya mengendalikan, meminimalisir, bahkan menghilangkan berbagai nafsu yang buruk, jahat, dan destruktif seperti tamak, iri-dengki, amarah, kekerasan, gila harta, nafsu berkuasa, dan sebagainya.

Puasa merupakan salah satu upaya seseorang agar mampu “berkuasa” atas diri sendiri yang kadang (atau bahkan sering) melakukan hal-hal yang buruk dan jahat. Dengan berpuasa seseorang berlatih untuk mengontrol diri sendiri yang tak pernah puas dan selalu haus akan “kenikmatan” duniawi dan “gebyar” duniawi yang menyilaukan. Manusia pada hakikatnya selalu rakus dan tamak dengan gemebyar duniawi, terutama dalam bentuk harta dan kuasa (jabatan), bukan?

Puasa juga merupakan “laku” untuk mengendalikan nafsu berkuasa atas sesama. Jika tak mampu mengendalikan nafsu berkuasa, maka manusia akan cenderung berwatak kejam dan buas. Ia mengeksploitasi alam, menjarah kekayaan negara, dan “membunuh” makhluk dan sesama manusia. Ia bisa memakai segala cara untuk mencapai “ambisi”-nya tentang berbagai hal.

Puasa mengajak seseorang untuk mengendalikan nafsu dan egonya. Ego adalah perasaan kedirian berlebihan yang terekspresi dalam kesombongan, merasa diri paling benar, mau menang sendiri, paling berkuasa, tidak toleran, dan sebagainya. Egolah yang menyebabkan seseorang menjadi susah, nyinyir, dan tidak bahagia dalam kehidupan ini. Ego (dan juga nafsu destruktiflah)-lah yang menjadi salah satu sumber masalah yang dihadapi seseorang.

Puasa adalah salah satu jalan (thariqah) seseorang untuk mengendalikan ego dan nafsunya. Puasa menjadi salah satu jalan untuk melembutkan hati dan watak seseorang, serta menjernihkan akal budi. Puasa menjadi sarana untuk melakukan internalisasi diri sehingga seseorang mampu memaksimalkan potensi baik dalam diri serta menghilangkan atau setidaknya meminimalisir potensi buruk yang ada dalam diri. Potensi baik dan potensi buruk selalu ada dalam setiap individu manusia, bukan?

Mengapa puasa sedemikian penting untuk melembutkan hati dan watak seseorang, serta menjernihkan akal budi? Karena sudah sering terjadi dalam kehidupan di mana  seseorang menyakiti dan melakukan kekerasan terhadap yang lainnya. Bahkan, kita sering menyimak peristiwa kriminal dimana pelakunya adalah seseorang yang selama ini punya citra baik, alim, religius, dan sebagainya. Dalam kasus ini, bahkan potensi buruk dan destruktif bisa tiba-tiba muncul dari seseorang yang tampak berwatak baik dan taat beribadah di mata orang lain. Inilah diri yang tereksternalisasi yang kehilangan kontrol sehingga bisa melakukan tindakan-tindakan emosional, merusak, dan membabi buta.

Itulah mengapa puasa seyogyanya menjadi salah satu sarana untuk melakukan upaya “internalisasi” diri, yakni usaha untuk terus-menerus memunculkan dan memupuk potensi yang sehat, baik, dan cerah dalam diri sehingga menjadi bagian dari watak kita yang sebisa mungkin tidak hilang, tidak tergoyahkan lagi, dan menetap.

Dimensi Sosial Puasa

Selain berdimensi ke “dalam” sebagaimana diuraikan di depan, puasa juga punya makna sosial yang penting. Puasa mendidik seseorang untuk menghayati dan melakukan solidaritas sosial kepada sesama manusia, khususnya kepada kelompok manusia yang miskin, lapar, sengsara, dan tertindas. Puasa mengajak seseorang untuk berempati terhadap problema yang dihadapi orang lain, terutama manusia yang tidak berdaya dan dilanda kesusahan berkepanjangan.

Betapa relevannya makna puasa untuk merespons problem sosial ketika penggusuran dan kemiskinan yang menimpa rakyat kebanyakan (khususnya kaum lapis bawah) semakin meluas di berbagai wilayah negeri ini, sementara pada sisi lain para penguasa dan pengusaha berpesta-pora dengan harta yang melimpah. Puasa sangat relevan untuk merespons ketimpangan sosial-politik yang banyak terjadi di negeri ini.

Seiring dengan gerak kemodernan dan laju kapitalisme global, sudah menjadi fenomena yang telanjang bahwa rezim developmentalisme yang tampak lewat persekongkolan elit politik dan elit ekonominya terus menegakkan sarana-sarana kapital(istik) termasuk dengan cara menggusur hak hidup rakyat kebanyakan dan kantung-kantung budaya dan pendidikan yang adiluhung. Hal seperti ini semakin marak terjadi di berbagai wilayah tanah air.

Dalam kondisi seperti itu, nilai-nilai solidaritas sosial dalam puasa sudah barang tentu mengajak seseorang untuk menegakkan keadilan dan melawan segala bentuk kezaliman. Atau dalam konteks yang lebih luas, punya makna mengajak seseorang untuk secara aktif merespons dan mengatasi problem sosial-kemasyarakatan dan problem kemanusiaan yang nyata, mendasar, dan mendesak. Inilah spirit dan makna puasa yang utama.

Puasa, dengan demikian, sudah seyogyanya menjadi salah satu jalan bagi manusia untuk mewujudkan kehidupan yang semakin baik, adil, indah, dan bermakna, baik pada level keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan dunia.

Jelaslah bahwa puasa bukan sekadar ritual kosong atau sekadar upaya menahan lapar dan haus semata, melainkan menebarkan spirit dan makna yang mendalam bagi manusia untuk merenda kehidupan yang semakin baik, indah, dan bermakna. Puasa adalah anugrah dari Allah swt agar kita menjadi lebih baik. Allah swt berfirman: “Berpuasalah karena akan jauh lebih baik bagimu jika kamu sekalian mengetahui.” (QS Al-Baqarah (2): 184)[ ]


*) Penulis adalah penulis lepas yang sekarang berhidmah sebagai tenaga pendidik di SMA Islam Al-Mizan, Jatiwangi, Majalengka.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya