Ketua Umum PBNU asal Cirebon, KH Said Aqiel Sirodj, menuntut Pemerintah menghentikan pengiriman TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke Saudi Arabia (Kompas, 27/11/2010). Tuntutan ini didasarkan pada fakta-fakta kekerasan, terutama nyawa, yang menimpa para TKI di Saudi Arabia. Kekerasan ini terjadi terutama karena kedua pemerintah, baik RI maupun Saudi, tidak memiliki (bahkan tidak mau memiliki) kesepakatan bilateral untuk melindungi TKI.
Dalam pandangan Kang Said, demikian beliau biasa disapa, fakta di atas menegaskan Saudi jauh dari nilai-nilai Islam yang disuarakan al-Qur’an dan Hadits Nabi. Sementara bagi Pemerintah RI, sebagai upaya awal memberikan perlindungan yang komprehensip terhadap TKI, harus menghentikan pengiriman mereka ke Saudi. Dalam Islam, kata Kang Said, “Pemerintah harus mendahulukan keselamatan satu nyawa, bahkan jika harus dibandingkan dengan satu triliun rupiah suntikan devisa”.
Karena pernyataan ini disampaikan seorang ulama yang otoritatif dari sisi keilmuan, kultural, maupun sosial, ia bisa dikategorikan sebagai fatwa agama atau tepatnya adalah hukum (fiqh) Islam. Tulisan ini akan memperjelas dan mempertegas fatwa tersebut, dengan memberikan uraian singkat mengenai status hukum, argumentasi, subyek dan dampak hukum dalam kajian fiqh Islam.
Status dan Argumentasi Hukum
Yang dibahas adalah pengiriman TKI yang dilakukan suatu institusi atau individu dengan tujuan mempekerjakan mereka di Saudi Arabia. Status hukumnya adalah haram secara fiqh. Sesuatu yang haram, jika dilakukan akan berbuntut dosa dan pelakunya diancam siksaan neraka.
Karena haram, harus ada upaya segera yang dilakukan para pihak terkait, untuk menghentikan pengiriman tersebut dan memulangkan mereka yang berada di Saudi sampai perlindungan mereka bisa dijaminkan kedua negara.
Alasan utama (‘illat al-ahkâm) pengharaman ini adalah tidak ada komitmen kedua negara, terutama negara tujuan tempat dimana TKI bekerja, untuk memberikan perlindungan dari segala kekerasan terhadap martabat kemanusiaan (HAM). Beberapa sumber hukum (dalil) dan argumentasi fiqh yang bisa diketengahkan di sini, adalah sebagai berikut:
- Menyelamatkan nyawa adalah wajib dan mengabaikannya adalah haram hukumnya. Bahkan dalam bahasa al-Qur’an (al-Maidah, 5: 32), menjamin kehidupan satu nyawa sama dengan menjamin seluruh manusia dan mengabaikan satu nyawa sama dengan membunuh seluruh manusia. Kasus Kikim Komalasri, Nurhatin, Ceriyati, Sumiati, dan kasus-kasus yang lain adalah nyata terjadi di Saudi Arabia.
- Sebagaimana disebutkan hadits Nabi Saw: “La dharar wa lâ dhirar”: segala bentuk kekerasan, baik terhadap diri maupun orang lain, adalah haram hukumnya (HR Bukhari Muslim). Dalam data Migrant Care tahun 2010 saja, ada 5.635 kasus kekerasan dialami Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Saudi Arabia; ter(di)-bunuh, disiksa, mengalami kekerasan seksual, tidak digaji, over time, dan dipaksa kerja-kerja yang sama sekali tidak layak.
- Dalam kaidah fiqh, negara wajib memberikan kemaslahatan pada rakyat (tasharruf al-imâm manuthun bi mashâlih ar-ra’iyyah). Karena itu, perlindungan rakyat menjadi wajib dan pengabaian mereka sehingga rentan terhadap kekerasan adalah haram.
Masih banyak lagi basis-basis fiqh yang bisa menjadi pondasi pemikiran hukum haram pengiriman TKI ke Saudi. Seperti prinsip keadilan, keharusan berbuat baik terhadap sesama, pengharaman kezaliman, terutama pringisp penghormatan nyawa, harta dan juga hak-hak pekerja.
Subyek Hukum
Yang terkena hukum haram dalam fatwa ini adalah individu dan institusi yang mengirim dan menerima, bukan TKI yang berangkat. Yaitu mereka yang mendorong, mengajak, dan memberangkatkan para TKI dan mereka yang menerima di Saudi. Terutama institusi yang memfasilitasi keberangkatan dan penerimaan TKI, dan institusi-institusi resmi yang memiliki wewenang untuk mengontrol migrasi mereka. Yaitu Negara RI dan Kerajaan Saudi, baik lembaga eksekutif maupun legislatif di kedua negara.
Untuk konteks Indonesia, Presiden SBY dan Menteri terkait Muhaimin Iskandar telah berbuat haram karena membiarkan pengiriman TKI tanpa ada kebijakan perlindungan. Terlepas bahwa Presiden dan Menteri telah berbuat banyak hal untuk perbaikan kondisi TKI. Di atas mereka, adalah juga para anggota DPR RI, telah berbuat haram, karena sampai sekarang belum membahas dan mengesahkan RUU perlindungan TKI yang menjadi basis hukum dan kebijakan negara.
Para TKI dan keluarga mereka yang terpaksa hidup dalam kemiskinan, yang tidak memiliki pilihan lain untuk bekerja, tidak menjadi subyek fatwa haram ini. Secara moral, memang mereka juga diperintahkan untuk berhati-hati dan cermat dalam memilih pekerjaan. Mereka juga juga dituntut secara moral fiqh untuk memperkuat diri dengan pengetahuan, ketrampilan, dan jaringan bagi perlindungan mereka selama berada di Saudi Arabia.
Dampak Hukum
Fatwa haram ini harus disebarkan untuk mendorong Pemerintah segera melakukan tindakan nyata. Institusi agama, terutama MUI yang dibiayai dari uang negara dari tingkat Pusat sampai Daerah, adalah yang paling bertanggungjawab untuk mendorong fatwa ini sebagai dasar perbaikan kebijakan perlindungan buruh migran.
Berbagai pihak sebenarnya telah menyadari persoalan yang dialami TKI. Baik individu, lembaga-lembaga masyarakat, lembaga agama, maupun pemerintah juga telah mengupayakan berbagai hal untuk perbaikan mereka. Sayangnya, Pemerintah yang seharusnya mengeluarkan kebijakakan yang strategis, terjebak pada hal-hal taktis dan reaksioner; seperti pemberian handphone dan pembentukan tim penyelamat Sumiati.
Pemerintah juga lebih banyak terjebak menggembor-gemborkan hal-hal yang pragmatis dan emosional, untuk pencitraan semata. Seperti ikut prihatin, simpati, ikut merasa sakit hati, dan mengirimkan belasungkawa kepada keluarga korban. Semua hal ini, sekalipun baik dan patut dilakukan, tidak akan bermanfaat secara nyata, jika tidak diikuti kebijakan strategis untuk perlindungan buruh migran.
Negara dalam hal ini adalah pihak yang paling bertanggung jawab, karena ia yang diberi wewenang konstitusi dengan segala sumber daya yang ada di tangannya. Pada konteks fatwa haram pengiriman TKI ke Saudi, negara wajib mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis terkait perlindungan mereka; baik di dalam maupun ke luar negeri.
Kebijakan strategis keluar yang paling mendesak adalah ‘diplomasi keras’ memaksa Saudi dan negara-negara tujuan untuk memberikan komitmen perlindungan hukum terhadap buruh migran. Sementara di dalam negeri adalah moratorium atau penghentian pengiriman TKI, evaluasi total untuk perubahan dan perbaikan sistem perlindungan buruh migran, dan mendorong DPR untuk segera mengesahkan RUU perlindungan buruh migran.
Jika kebijakan strategis ini tidak dilakukan, maka Pemerintah SBY telah membiarkan terus menerus berbuat haram secara agama. Begitupun, para anggota DPR yang sekarang duduk menjabat, dari partai manapun yang Islami maupun yang nasionalis, adalah berbuat haram yang nyata karena tidak mengesahkan UU perlindungan buruh migran. Jika terus demikian, pemerintah dan semua partai pendukungnya secara politik telah mencederai rakyat,dan tidak seharusnya dipilih kembali pada periode mendatang. Wallahu a’lam.
*) Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati dan ISIF Cirebon.