Oleh : Zaenal Abidin*
Media menjadi instrumen yang sangat penting di era global saat ini, salah satu fungsinya adalah memberikan layanan informasi. Media itu dapat berupa cetak, radio, TV, maupun internet dan media sosial. Tentunya informasi yang disediakan dapat memberikan wawasan luas dan memberikan kemudahan akan informasi yang mau kita dapat. Disamping itu, arus informasi ini tak selamanya memberikan informasi yang positif. Saat ini tidak sedikit konten-konten yang disajikan menjurus pada hal-hal yang negatif hingga konten yang bernada ancaman, radikalisme dan terorisme.
Perbincangan terkait media tidak bisa dipisah dari kepantingan orang yang ada dibalik media tersebut, terutama kepentingan terhadap pesan yang akan disampaikan. Menurut Yasraf Amir Pilliang ada tiga kepentingan utama media yang membentuk isi media, informasi yang disajikan dan makna yang ditawarkan, yaitu kepentingan ekonomi (economic interest), kepentingan kekuasaan (power interest), serta kepentingan publik (public interest).
Untuk menguasai opini publik yakni dengan cara menguasai media. Salah satunya kepentingan kekuasaan yang berdasar pada wacana keagamaan. Wacana ini sangat berkaitan dengan siapa sumber dan apa kepentingan dibaliknya. Kita tidak menampik adanya perkembangan yang begitu pesat, namun dengan perkembangannnya muncul juga ideologisasi keislaman yang cenderung radikal, tidak menghargai perbedaan dan penghormatan terhadap keberagaman bahkan mengancam kemanusiaan (terorisme).
Kehadiran fenomena radikalisme di media daring (dalam jaringan), seakan membangunkan kesadaran kita bahwa ada celah bahkan lubang besar yang tak terpikirkan dan itu sangat efektif digunakan oleh kelompok teroris. Mereka tidak lagi seperti kelompok terdahulunya yang menggunakan jaringan pengajian, pertemanan, kekerabatan, untuk menyebarkan paham radikal. Justru saat ini mereka memanfaatkan internet dan media sosial. Mereka dengan mudah menebarkan ideologi radikalnya, merekrut anggota barunya, berkomunikasi dengan anggota dan simpatisan kelompok lain. Sampai pada usaha mereka untuk mempublikasikan aksi terornya. Sangat mengerikan!
Kita tahu pengguna akun internet dan media sosial terbanyak adalah usia remaja dan pemuda. Dalam media sosial itu banyak akun yang berafiliasi pada kelompok teroris Islamic State of Iran and Suriah (ISIS). Muhammad Jafar dalam tulisannya Antara Demokrasi dan Terorisme, mengutip penelitian JM Berger dan Jonathon Morgan yang menunjukkan lonjakan grafik pengguna media sosial twitter di kuartal akhir tahun 2014, sebanyak 46.000 akun twitter yang beroprasi atas nama ISIS. Setiap akunnya rata-rata memiliki 1000 pengikut, secara berkala ISIS diperkirakan menyebarkan isunya lebih dari 100.000 pesan setiap bulan melalui media sosial facebook dan twitter.
Mau tidak mau, kita sebagai pembaca dituntut cerdas dalam memilih konten-konten yang ada di laman jendela dunia (internet) itu. Tujuannya tidak lain adalah supaya kita menjadi pembaca yang mahir dalam memahami inti dari sebuah tulisan dengan cara yang efektif dan efisien. Serta tak gampang terpengaruh dalam jurang informasi yang mengarah tindakan negatif utamanya ideologi radikalisme.
Lalu bagaimana cara menjadi pembaca yang cerdas itu. Kita mengenal istilah “kroscek data” alias melihat kembali apakah informasi itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Hal ini penting dilakukan karena berita atau artikel saat ini rawan terjadi manipulasi data atau tidak jelas sumbernya. Kemudian selektif memilih kontetn yang diberitakan. Yakni berusaha menghindari bacaan yang terkesan radikalis, utamanya dalam isu keagamaan.
Tentunya hal tersebut harus dibentengi dengan pengetahuan keagamaan yang kuat utamanya pemahaman keagamaan yang rahmatan lil alamin. Menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan; Pancasila, UUD 45 dan Bhineka Tunggal Ika. Menghargai perbedaan, menolak dengan tegas ideologi radikal, tidak mudah tergiring oleh pemberitaan yang dapat menimbulkan konflik bernada SARA, serta membuka diri untuk berdialog untuk menajamkan daya kritis kita akan suatu pemberitaan. Tidak membagikan atau mentautkan berita-berita atau opini di media sosial. Sebaliknya kita sebarkan konten-konten positif yang bermanfaat bagi kehidupan yang ramah keberagaman. Segera close konten-konten negatif itu di laman internetmu.
Untuk memberikan efek jera terhadap pelaku, pemerintah juga harus berperan aktif dalam membendung ancaman radikalisme ini. Termasuk kepada pelaku individu maupun kelompok yang mendukung ataupun bergabung dengan kelompok radikal, serta ancaman teror melalui media sosial.
Penulis adalah Pimpinan Redaksi Buletin Blakasuta
Tulisan ini dimuat dalam rubric Gerbang buletin Blakasuta Vol 38