“Dialog atau duduk bersama dengan melihat perbedaan ritus secara langsung
setidaknya akan mengurangi rasa curiga yang selama ini didapat
dari beberapa sumber yang kurang akurat”
Apa yang tersemat dalam pikiran kita saat mendengar kata “Radikalisme?” kata ini seolah menjadi angker, penuh dengan luka, ngeri, darah, bahkan tak patut di perbincangkan. Setidaknya Radikalisme secara umum dapat diartikan sebagai tindakan yang secara sadar dilakukan, baik berupa aksi, reaksi, maupun tanggapan, yang dilandasi oleh seperangkat sistem keyakinan (ideologi). Gerakan radikalisme biasanya tidak dilakukan secara individu tetapi kolektif dan terorganisir.
Radikalisme sebagai gerakan akan membutuhkan ruang bergenerasi, sehigga ia melaju dalam setiap lini kehidupan terutama ia akan banyak merasuk dan menampilkan wajah penuh heroik dalam ruang-ruang bawah sadar pemuda. Mengapa ia mendapat tempat tersendiri di hati anak muda?. Dunia fantasi mereaksikan sebuah keinginan dasar untuk bertindak dan melakukan pembelaan terhadap apa yang diyakininya. Setidaknya itu yang mendasari dari setiap gerak dan prilaku kaum muda. Hal ini menurut psikolog Syamsu Yusuf, perkembangan dari usia 12-21 tahun yang sangat signifikan bukan fisik belaka, perkembangan pemikiran dan sikap terhadap persoalan nampak berkembang.
Jika laju reaksi terlalu cepat dan pembelaan yang berlebih dalam diri anak muda, akan menciptakan karakter baru “tempramental”. Karakter ini yang sangat dibutuhkan dalam aksi-aksi radikalisme. Bahan dasar ini memberi kesempatan para operator dan genolog radikal untuk mengiring berupa mempengaruhi, mendidik, memberi ruang dan kesempatan kamu muda untuk menunjukan aksinya. Terlintas ini fiktif, konyol, dan tidak rasional. Dari catatan aksi-aksi eksekutor kekerasan banyak dimainkan oleh kaum muda. Seperti pelaku bom bunuh diri di Masjid Ad-Dzikra Mapolresta Cirebon, Jumat 15 April 2011 pukul 12.15. Wib, M. Syarif, pelaku berusia muda 32 Tahun. Begitu juga pelaku bom Marathon Boston, 25 April 2013 Amerika, Dzhokhar Tsarnaey (21) menewaskan tiga orang dan melukai 264 orang.
Relasi Radikalisme dan kaum Muda
Kaum muda perkotaan yang urban ditengarai kecendrungan sikap acuh dengan keadaan sosial disekitar. Namun apakah persepsi tersebut bisa dipertahankan dengan maraknya perkumpulan yang didasari dari hobi yang sama, kemudian di implementasikan dengan aksi sosial seperti mereka merespon bencana alam, kepedulian lingkungan, menyambut tradisi mudik.
Namun, mereka gamang akan isu yang berbau agama. Mereka lebih reaktif dengan bekal pengetahuan agama yang minin. Menjadi semacam arah kepedulian dan keperihatinan kaum muda terhadap kondisi keagamaan yang patut dibela. Diberbagai peristiwa sar’a, mereka tampil didepan dan mau menjadi tameng. Fakta tersebut menegaskan kekerasan dekat sekali dengan kaum muda.
Maarif Institute memperjelas rentannya kaum muda terhadap kekerasan, bahwa anak muda atau pelajar saat ini memiliki kecenderungan untuk menginternalisasikan pandangan-pandangan radikalis yang dipenetrasikan oleh lingkungungan terdekatmya. Internalisasi itu diawali dengan kecendrungan kesadaran keagamaan lebih tinggi daripada kesadaran kebangsaan.
Menangkar Radikalisme
Tidaklah mudah memotong akar radikalisme, sikap keagamaan yang berlebih ini memunculkan empat kecendrungan baru, Pertama sikap tidak toleran berujung pada pandangan perbedaan menjadi ancaman , Kedua sikap fanatik selalu benar sendiri mengangap orang lain salah, Ketiga sikap eksklusif mengkelaim cara pandang ia paling benar yang lain salah ujungnya ia memisahahkan diri dari akar sosial, Keempat sikap revolusioner cenderung mengunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.
Saat benih-benih radikalisme sudah merasuk dan memuncak cara-cara menangulangi dengan kekarasan (memburu, memenjarakan, eksekusi mati) tidaklah efektif. Justru sebaliknya, akan mendatangkan luka baru, menumbuhkan kobaran semangat perlawanan dan permusuhan tak berkesudahan, apalagi jika pelaku radikalisme tersebut adalah kaum muda bisa mendatangkan aksi solidaritas untuk melakukan hal yang serupa ditempat yang berbeda.
Dialog atau duduk bersama dangan melihat ritus perbedaan secara langsung setidaknya akan mengurangi rasa curiga yang selama ini didapat dari bebarapa sumber yang kurang akurat. Mengembangkan wawasan kebhinekaan dengan pola anak muda dengan kemasan semisal kemah keberagaman dengan menghadirkan peserta dari berbeda ras, suku, agama, akan membekas dan menambah wawasan baru “bahwa perbedaan adalah niscaya”. Semoga…!
* Oleh : DEVIDA
Penulis adalah Ketua Umum Pelita Perdamaian Cirebon
Tulisan ini pernah dimuat Balaksuta Volume 37, Rubrik Opini