Statement Masyarakat Sipil Indonesia
Menyikapi Intimidasi Terhadap DR Rosnida Sari, staf pengajar UIN Ar Raniry Banda Aceh
Kami bagian dari masyarakat sipil yang peduli terhadap masa depan Indonesia sangat menyesalkan adanya kasus ancaman kekerasan terhadap Sdri. DR. Rosnida Sari, staf pengajar UIN Ar Raniry Banda Aceh Nangroe Aceh Darussalam. Ia mendapatkan ancaman dan intimidasi karena mengajak mahasiswanya berdiskusi didalam gereja sebagai bagian dari upayanya membangun perdamaian di Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh Sdri. Dr. Rosnida Sari ini jelas sangat relevan dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat plural terutama dalam hal suku dan agama. Oleh karena itu adalah keniscayaan bagi negara untuk hadir dan melindungi warga negaranya yang ingin membangun solidaritas dalam keberagaman.
“Selain untuk tahu tentang relasi laki-laki dan perempuan di agama mereka (Kristen), saya juga ingin agar tidak ada ketidaknyamanan mahasiswa pada mereka yang beragama berbeda. Tujuannya tentu saja agar terjadi kesalingpahaman diantara mereka, menghilangkan prasangka yang sudah dibentuk oleh media (Koran dan TV) atau saat mendengar perbincangan orang lain”. Ini adalah petikan tulisan DR Rosnida Sari dalam artikelnya yang menggambarkan bagaimana ia menciptakan metode-metode pengajaran kreatif yang sekaligus bisa menjadi media dalam membangun solidaritas antar agama di Indonesia. Tulisannya ini dimuat dalam situs Australia Plus yang merupakan konsorsium layanan berita yang berfokus pada berita-berita tentang hubungan Australia dengan negara-negara lain termasuk Indonesia.
Artikel bertajuk Belajar di Australia, Dosen IAIN Ajak Mahasiswa ke Gereja di Banda Aceh (bisa diakses di http://www.australiaplus.com/indonesian/2015-01-05/belajar-di-australia-dosen-iain-ajak-mahasiswa-ke-gereja-di-banda-aceh/1401611) ini ternyata berdampak serius. Sehari setelah berita itu dimuat, DR Rosnida Sari dibully melalui media sosialnya (via facebook) hingga akun facebooknya ditutup. Selain itu ancaman pembunuhan juga menjadi teror yang harus dihadapi oleh DR. Rosnida Sari dan keluarganya. DI tempat mengajarnya, alih-alih memperoleh pembelaan dari kreatifitas pengajarannya, DR Rosnida Sari ternyata malah mendapat ancaman sanksi skorsing.
Kasus ini adalah puncak gunung es dari semakin menipisnya toleransi ditingkat masyarakat bahkan sudah menjadi ancaman bagi kebebasan akademis di satu pihak dan tidak hadirnya negara untuk melindungi mereka yang menjadi korban intoleransi di pihak lain. Sampai saat ini beberapa kasus intoleransi yang belum terselesaikan antara lain adalah penyegelan gereja GKI Yasmin di Bogor, diskriminasi terhadap pengungsi Ahmadiyah di NTB dan Pengungsi Syiah dari Sampang serta tak terlayaninya hak-hak warga negara penganut kepercayaan asli.
Berulangnya peristiwa intoleransi bahkan hingga masuk dan menjadi ancaman pada dunia pendidikan dan kebebasan akademik. Tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan pada gilirannya akan menghambat usaha-usaha membangun perdamaian dan memupuk kembali nilai-nilai toleransi yang sedang diupayakan oleh pemerintahan Jokowi saat ini. Dalam visi-misi yang diajukan Presiden Jokowi pada saat pencalonan hingga kemudian menjadi landasan pemerintahan selama lima tahun kedepan, prinsip “negara hadir” dikedepankan karena adanya kesadaran negara harus terus menerus diingatkan untuk hadir ketika terjadi kekerasan dan diskriminasi berbasis intoleransi.
Oleh karena itu Program Prioritas Nawa Cita pemerintahan Jokowi secara jelas mengatakan: “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara” dan “Kami akan memperteguh Ke-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antar warga. Sehingga bisa mengembalikan ruh kerukunan antar warga sesuai dengan jiwa konstitusional dan semangat Pancasila 1 Juni 1945”.
Berdasarkan hal itulah, maka kami yang merupakan bagian dari masyarakat sipil di Indonesia menuntut agar negara hadir dan bertindak untuk melindungi rakyatnya dari ancaman kekerasan baik itu diwilayah akademis maupun di wilayah publik lainnya.
Adapun tuntutan kami yaitu:
- Kepada Presiden RI, Joko Widodo untuk hadir dan memberikan perlindungan secara nyata kepada salah satu warganya (DR. Rosnida Sari) yang saat ini dalam ancaman baik dirinya maupun keluarganya.
- Kepada Kapolri untuk memerintahkan jajarannya dibawahnya khususnya Kapolda Aceh agar memberikan perlindungan kepada DR. Rosnida Sari dan keluarganya dari ancaman kekerasan
- Kepada Menteri Agama mengingat UIN Ar Raniry Banda Aceh Nangroe Aceh Darussalam adalah institusi pendidikan dibawah Kementerian Agama untuk menyatakan pendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Rosnida tidak melanggar dan memberikan dukungan aktif. Kami juga mendesak agar Kementerian Agama tidak menghapus program Studi Gender di UIN Ar Raniry yang saat ini masih diperlukan.
- Kepada Menteri Pendidikan Tinggi dan Riset Teknologi untuk memberikan jaminan kebebasan akademis yang tidak bisa diganggu atau diintimidasi oleh pihak manapun apalagi yang bertendensi intoleransi.
- Kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak agar bertindak dan memberikan perlindungan kepada DR. Rosnida Sari beserta keluarganya dengan menyediakan jaminan perlindungan dengan penyediaan rumah aman.