Mendengar Suara-suara Komunitas ‘Terpinggirkan’ Jelang Pemilu 2014
“Mereka (Jemaat Ahmadiyah) sangat potensial menjadi Golput saat Pemilu nanti menyusul tidak ada satu pun dokumen kependudukan yang dimiliki. Kalau sudah begini, sangat terlihat sekali bila negara tidak melakukan apapun untuk warga Ahmadiyah. Padahal mereka juga warga Negara
(Agnes Dwi Rusdiati, Aktivis Perempuan dari Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika).
“Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) menekankan pentingnya perhatian kepada kelompok khusus atau rentan agar hak konstituisionalnya bisa terpenuhi. Adapun yang masuk ke dalam kategori ini adalah mereka yang terpenjara atau kebebasannya dibatasi, orang miskin, buruh migran, perempuan dan usia lanjut, orang sakit dan yang sedang dirawat di rumah sakit, orang dengan masalah kejiwaan, kelompok adat tertinggal (KAT), kaum minoritas agama, seks (LGBT) atau etnis tertentu dan kelompok penyandang kusta.”
(Natalius Pigai, Anggota Komnas HAM)
“Jawa Barat menduduki juara Pertama atas pelanggaran beragama dan berkeyakinan di Indonesia.”
(Laporan Hasil Pemantauan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, oleh The Wahid Institute dan Yayasan Fahmina)
Masih ingat dengan laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Barat? Akhir tahun lalu, tepatnya pada 20 Desember 2012, peluncuran laporan tersebut digelar Pemuda Lintas Iman (Pelita), The Wahid Institute, dan Yayasan Fahmina di Ruang Anggrek Hotel Tryas. Juga fakta bahwa tidak ada satu pun yang membantah hasil pemantauan tersebut. Bahkan, dari 100-an audien yang hadir, beberapa di antaranya menegaskan bahwa negara memang tengah lupa berkepanjangan terhadap apa yang sudah diamanatkan oleh konstitutsi, terutama tentang kebebasan memeluk dan beribadah sesuai menurut agama dan keyakinannnya masing-masing.
Selain WI dan Fahmina, juga ada Setara Institute yang melakukan pemantauan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dari kedua pemantauan tersebut, sama-sama menghasilkan temuan bahwa Jawa Barat sebagai pelanggar terbanyak.
Menurut Marzuki Wahid, Ketua Majelis Pengurus Yayasan Fahmina, mengatakan bahwa salah satu penyebab dari tinggi pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat adalah tidak adanya komitmen kebangsaan dari pemimpin, seperti anti-diskriminasi, anti-korupsi, dan anti kekerasan. Dosen Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) yang juga Pengurus PCNU Kabupaten Cirebon, ini mengajak semua peserta yang hadir untuk jeli dalam memilih pemimpin, yang tidak pernah dan tidak mau melakukan pelanggaran hak asasi warganya. Karena kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights).
Mereka Berpotensi Golput
Hasil pemantauan tersebut, seakan memperjelas meningkatnya kasus intoleransi di negeri yang juga bangga dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya. Kini di tengah hiruk pikuk jelang pemilihan umum (Pemilu) 2014 mendatang, momen yang seharusnya bebas dan adil, namun tidak bagi sejumlah komunitas di negeri ini. Mendekati pesta demokrasi, diskriminasi dan kekerasan terus menimpa komunitas minoritas di negeri ini.
Suara-suara penuh kekecewaan kini kian beragam, terutama oleh komunitas yang selama ini diperlakukan tidak. Menjadi apatis terhadap Pemilu, memilih Golput (Golongan Putih), serta bersuara lantang menggugat sistem Pemilu, bisa menjadi puncak rasa kekecewaan mereka terhadap pemerintah di negeri ini.
Mereka adalah yang disebut oleh Komnas HAM sebagai kelompok yang rentan. Rentan didiskriminasi dan terpinggirkan. Komnas menggolongkan sejumlah kelompok minoritas yang umumnya mengalami diskriminasi oleh negara maupun masyarakat ke dalam kelompok rentan, termasuk minoritas agama, minoritas seksual (lesbian, gay, biseksual dan transgender) serta kelompok etnis tertentu.
Istilah minoritas di sini mengacu pada sekelompok orang yang dianggap ‘kecil’ oleh sebuah proses historis, politis, dan sosiologis, selain juga proses intelektual. Oleh karena itu, pengertian ‘kecil’ tidak selalu berarti angka atau jumlah, tetapi juga berarti posisi atau peran.
Masih banyak partai-partai tertentu, termasuk partai Islam yang tidak pernah menjadikan isu pembelaan terhadap kaum minoritas sebagai isu utama politiknya. Bahkan, tidak jarang, partai-partai Islam ikut menyudutkan kelompok minirotas untuk menarik simpati dari kelompok mayoritas.
Nasib kelompok minoritas kian mengenaskan dan di saat yang sama hukum impoten karena selalu ada kepentingan-kepentingan politik di baliknya. Dari waktu ke waktu, nasib kaum minoritas di Indonesia sangat memperihatinkan, dan bahkan mengenaskan. Dan ironisnya, hukum tidak bisa membela nasib kaum minoritas itu.
Lebih mengenaskan lagi dalam penyerangan terhadap muslim Syiah di Madura. Selain menjadi korban tindakan anarkisme sekelompok orang, malah tokoh Syiah di Madura yang diserang itu yang dihukum empat tahun penjara, sementara si penyerang bebas melenggang tanpa ada jeratan hukum sama sekali.
Fenomena seperti itu semakin mengkhawatirkan ketika kesadaran untuk menjadi Golput menghinggapi para pemilih pemula yang notabene generasi muda, generasi pelaku demokrasi Indonesia ke depan.
Sementara kepada KPU, Komnas HAM merekomendasikan agar komisi tersebut dapat memastikan seluruh warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat bisa menunaikan hak pilih mereka dalam pemilu legislatif dan Pilres 2014.
Jemaat Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya. Kondisi mereka membuat mereka terancam Golput (Golongan Putih) karena tidak memiliki KTP. Dilansir dari sejumlah media online, sebanyak 156 jiwa warga Ahmadiyah yang mengungsi di Asrama Transito Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) terancam tidak mempunyai hak pilih dalam Pemilihan Legislatif (pileg) dan Pemilihan Presiden (pilpres) 2014 mendatang.
Pasalnya, memasuki tahun ke delapan, menurut Agnes Dwi Rusdiati, aktivis perempuan dari aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, tidak ada satupun para pengungsi Ahmadiyah yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sehingga bila kondisi tersebut dibiarkan sangat berbahaya sekali. Sebab tidak menutup kemungkinan para pengungsi Ahmadiyah di transito memilih menjadi golput.
Mereka sangat potensial menjadi Golput saat pemilu nanti menyusul tidak ada satu pun dokumen kependudukan yang dimiliki. Kalau sudah begini, sangat terlihat sekali bila negara tidak melakukan apapun untuk warga Ahmadiyah. Padahal mereka juga warga Negara.
Menurutnya, persoalan dokumen kependudukan tidak hanya dialami oleh orang dewasa, tetapi 30 anak warga Ahmadiyah di transito juga tidak memiliki akte kelahiran serta pendidikan yang layak. Bagaimana mereka mau mengurus dokumen kelengkapan mereka sebagai warga negara yang sah. KTP saja mereka tidak punya. Mereka terusir dari tempat asalnya, dan otomatis mereka tidak punya identitas apapun, berkaitan dengan Administrasi kependudukan tidak punya.
Padahal dokumen tersebut sangat dibutuhkan bagi mereka, baik untuk pendaftaran sekolah, layanan kesehatan dan lain nya. Meski Pemprov NTB menjamin akan hak yang didapatkan warga Ahmadiyah, termasuk hak yang didapat anak-anak, namun hal tersebut bukan jaminan.
Ditambahkan Agnes, kondisi berbeda dirasakaan warga Ahmadiyah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sana keberadaan warga Ahmadiyah dijamin sepenuhnya oleh Pemrov DIY. Lalu bagaimana dengan jemaat Ahmadiyah di Wilayah Tiga Cirebon seperti di Manislor? Juga sejumlah komunitas yang selama ini masih mendapat diskriminasi dari kelompok-kelompok tertentu? Bagaimana pula pengalaman Pemilu mereka pasca reformasi?
Lalu bagaimana pengalaman sejumlah komunitas di Wilayah Tiga Cirebon yang selama ini cenderung mendapatkan perlakuan diskriminasi dari sejumlah pihak. Blakasuta mencoba menggali pengalaman sejumlah tokoh beberapa komunitas tersebut, tentang bagaimana pengalaman mereka di Pemilu.
Komunitas Ahmadiyah
Pemilu Bebas dan Adil, Kecuali bagi Jemaat Ahmadiyah
Pengalaman Pemilu Jemaat Ahmadiyah di Manislor Kuningan
(diungkapkan oleh Aang Khunaefi (Pengurus Ahmadiyah Manislor))
Dalam hal suara, selama ini jemaat Ahmadiyah termasuk yang dicari oleh para politikus para pencari suara. Suara kami cukup diperhitungkan. Tetapi ada hak-hak yang tidak dipenuhi. Secara organisasi, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tidak secara langsung terlibat dalam politik praktis. Kita juga tidak mengarahkan para anggota. Jadi secara pribadi kita tidak melarang, dan harus cerdas dalam berpolitik. Kita tidak menentukan si A atau si B untuk dipilih secara bersama. Selama ini respon para calon cukup memperhitungkan suara Ahmadiyah, karena suara kita ribuan. Dengan bicara janji-janji manisnya, tapi pada kenyataannya saat terpilih, janji tidak mudah terealisasi.
Tentang isu Gubernur Jawa Barat (Jabar) yang melakukan deal politik dengan Front Pembela Islam (FPI) untuk penghapusan Ahmadiyah, saya kembalikan pada prinsip bahwa siapapun pemimpin daerah, dia itu pelindung masyarakat. Termasuk melindungi kami sebagai kelompok minoritas. Menurut pandangan saya dalam hukum dan hak sebagai warga negara, tidak ada istilah mayor minor. Kewajiban pemimpin adalah melindungi mengayomi. Seandainya ada perjanjian antara calon Gubernur Jabar dan FPI untuk membubarkan kami, itu berarti sudah termasuk dalam kategori menyalahi wewenangnya sebagai pemimpin. Ia berpihak pada salah satu organisasi masyarakat (Ormas), kelompok, dan akan mengancam ketentraman dan keamanan, karena ia ingin menghapus dan menghilangkan kelompok lain padahal itu warganya.
Hak Belum Terpenuhi
Saya sendiri mengalami di Manislor termasuk e-KTP yang menggantung dan pernikahan tidak bisa dicatat di Kuningan, ini kan sebetulnya hak kita, bahkan Bupati yang telah dua kali menjabat sekarang (H Aang Hamid Suganda), pernah mengatakan kepada kami bahwa nanti kalau Ahmadiyah nikah, ia akan hadir. Pernyataan dia itu dicatat di media koran-koran local juga ada. Namun sampai sekarang tidak ada buktinya. Karena kalau menurut saya ada politikus yang berpolitik itu dia bermain di dua arah, di kelompok penentang dia main, di kelompok minoritas juga dia main. Ini adalah politik yang negatif. Demokrasi yang sangat buruk, kalau pemimpin menindas kelompok lain, itu cirri-ciri pemimpin yang belum memiliki jiwa demokrasi.
Lemahnya Pendataan
Kalau masalah DPT mungkin termasuk kelemahan dalam pendataan. Karena selama ini banyak ketika Pemilihan Gubernur (Pemilgub) banyak yang tidak terdaftar, tapi Pilbup terdaftar. Saya juga mengalami. Menurut saya satu dua hilang di satu desa, sekarang berapa ribu desa yang di Jabar berapa ribu suara yang hilang. Jadi menurut saya KPU harus lebih baik.
Janji-Janji Manis Para Calon
Kalau dalam tekanan tidak, tapi kalau janji-janji manis iya. Pada intinya tetap mungkin suara kita diperlukan, sehingga mereka lebih bagaimana supaya kita diiming-imingi supaya untuk memilih. Pemerintah sendiri kan istilahnya termasuk dalam, mungkin yang harus diperhatikan itu tentang data pemilih saja. Sebetulnya saya sendiri kalau seandainya dibolehkan untuk tidak memilih saya tidak memilih, kenapa justru demokrasi yang kita rasakan masih belum mencapai apa yang diharapkan, karena masih ada pemimpin yang lebih mementingkan kelompoknya. Harapan saya justru ingin yang bisa bukan untuk kepentingannya sendiri saja, tapi kepentingan umum. Saya yakin bisa, hanya kembali lagi ketika di hatinya tidak ada keinginan untuk itu, kembali pada pemimpin itu sendiri.
Nah salah satu cara untuk menciptakan keyakinan tersebut, maka rakyat harus lebih jeli dalam memilih. Jangan semata karena uang, karena nantinya akan rugi di mana pemmpinnya meraup milyaran, tapi janji-janji manis belum tentu terlaksana. Masyarakat harus sadar akan hal itu untuk kepentingan masa depan kemajuan daerah sendiri.
Seorang Pemimpin Harus…
Yang jujur, bertanggung jawab, amanah dan bisa mengayomi, sebagai pembantu rakyat. Dan untuk mengetahuinya, pertama kita harus mengetahui track record calon pemimpin itu sendiri. Agar mendapat pemimpin yang bisa menegakkan UUD 45 dan pancasila itu sendiri. Kalau sudah seperti itu saya yakin semua masyarakat terlindungi. Kalau saya mengatakan kepada anggota “jangan” atau hindari calon yang menjanjikan akan melindungi Ahmadiyah, tapi yang lainnya tidak. Jadi harus mampu memimpin semua masyarakat.
Tentunya semua itu diperlukan pendidikan tersendiri. Seperti Pemuda Lintas Iman (Pelita), belajar berorganisasi dengan orang-orang yang berbeda keyakinan. Saling menghargai. intinya, jujur dalam perkataan dan perbuatan, serta memahami Undang-Undang Dasar (UUD) 45 dan pancasila. Mempunyai cita-cita untuk merubah, serta mampu mengayomi, menjadi punggung masyarakatnya.
Pengalaman Komunitas Kristen mengikuti Pemilu/Pemilukada
(diungkapkan oleh Pdt. Sugeng Daryadi (Kristen))
Hidup itu ada idealitas dan realitas, ideal kita pancasila seperti yang sudah disepakati bersama secara konsisten dan konsisten sesuai dengan konsep para pendiri, tapi sekarang sudah tidak lagi seperti itu. Realitasnya masih jauh dari yang diperjuangkan. Parameter politik sekarang ini cenderung memperjuangkan kepentingan kelompok demi kekuasaan. Makanya kalau Pemilu itu bingung juga. Di satu sisi kita mau memilih siapa? Karena orang yang seperti kita harapkan hampir tidak ada. Sementara kalau kita tidak mengikuti Pemilu rasanya kurang bertanggung jawab juga terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, jadi dilematis.
Deal-deal Politik
Kalau Pemilu Jawa Barat (Jabar) itu dengan Gubernur Jabar. Sekarang sih tidak ada, tapi saat masih pencalonan karena kita melihat track record, yang lebih sesuai dengan pancasila Pemilu Jabar itu dari PDIP (Rieke Dyah Pitaloka), karena ia memperjuangkan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan.
Di Pemilihan Wali Kota maupun Bupati di Cirebon juga tidak ada deal-deal Politik. Karena figure yang punya wawasan kebangsaan itu tidak ada. Hampir semua itu kan kepentingan dan kekuasaan. Cuma kita dihadapkan untuk memilih semua itu dari yang jelek itu kan sulit. Begitu pun dengan Wali Kota sekarang, saya kira belum menunjukkan sifat kenegarawan dan kebangsaannya. Masih cenderung memihak pada kelompok tertentu.
Tekanan Para Calon
Oh tidak ada. Sebenarnya kalau di kota, kelompok non muslim itu sangat menentukan untuk memenangkan calon wali kota dan wakilnya, karena kita ada sekitar 30 ribu orang di mana Kristen ada sekitar 25 ribu lebih dan sisanya agama lain seperti Hindu, Budha, dan Konghuchu. Cuman kita begini, bargaining kita berharap yang punya wawasan kebangsaan, harapan kita seperti itu, apalagi peraturan-peraturan berkaitan tentang keagamaan itu kan multi tafsir. Kalau pimpinannya tidak berwawasan kebangsaan itu bahaya.
Menurut pengalaman saya sebagai warga Negara, belum ada pejabat-pejabat maupun calon-calon yang bias kita harapkan. Karena menurut saya, pancasila itu kan disalahgunakan pada zaman kekuasaan Soeharto untuk melanggenggkan kekuasaannya. Makanya begitu Orde Baru (Orba) tumbang, reformasi jadi seperti anti pancasila, para pejabat-pejabat menyebut pancasila saja ketakutan. Apalagi ada gerakan kelompok-kelompok yang menginginkan pancasila diganti.
Anak Muda Tidak Kenal Persoalan = Persoalan
Agar kaum muda mampu berpolitik untuk mengubah keadaan lebih baik lagi, menurut saya kembalikan ke pancalila yang benar-benar dipahami dan dipraktekkan, sehingga negara kita akan kuat. Persoalan kita sekarang ini generasi muda hampir tidak kenal lagi dengan pancasila. Di skeolah-sekolah, pengajaran pancasila hampor tidak ada. Pengajaran agama di sekolah itu seperti mengkotak-kotakan. Saya lebih setuju kalau pendidikan agama diserahkan saja pada masyarakat. Bahaya kalau pancasila sudah tidak dikenal lagi oleh anak muda.
Meskipun ada pendidikan karakter, tapi karakter yang tepat di Indonesia adalah karakter pancasila. Karakter inilah yang menjadi landasan kehidupan berbangsa bernegara. Kebhinekaan akan utuh dengan hal tersebut. Kemudian yang disebut “Empat Pilar” itu tidak bisa disamakan dengan pilar-pilar lain karena itu pondasinya.
Para pemuda seperti yang tergabung dalam Pemuda Lintas Iman (Pelita), menurut saya sangat baik, karena anak-anak muda diberi wawasan keagamaan. Di Pelita, mereka (Pemuda) menjadi seorang agamawan yang nasionalis. Yang ditakutkan itu kan sebaliknya, ketika dilupakan jiwa nasionalisnya itu berbahaya, artinya nanti menjadi fanatisme agama yang sempit. Kalau jiwa nasionaliskan mengakui adanya kebhinekaan UUD 45, pancasila.
Karena bagaimana pun juga Kristen di Amerika Barat dan Eropa itu pasti beda dengan di Indonesia. Begitu juga Islam di Arab dan Indonesia, jadi harus kontekstual tidak bisa memaksakan budaya setempat. Karena saya yakin baik ajaran-ajaran yang diajarkan di kitab orang Kristen dan di al-Qur’an itu juga tidak lepas dari budaya local. Memang ada yang sifatnya universal. Tapi kebanyakan untuk menjawab kebutuhan problem-problem lokal, politik juga termasuk.
Kalau pemikiran beragama tapi nasionalis itu ya contohnya di Cirebon ini seperti Fahmina. Kalau semua agama seperti itu, sebenarnya pasti rukun tidak ada masalah. Tidak perlu ada sesuatu lagi yang ditakutkan. Namun kan belum banyak. Mestinya semua agama itu kan bicara problema sosial, kalau soal akidah antar agama kan tidak mungkin dipertemukan karena pasti berbeda. Arahnya sama, cuman cara pandang yang berbeda itukan tidak perlu dipersoalkan dan itu sangat subjektif karena berkaitan dengan keyakinan. Kalau semua orang beragama seperti itu kan tidak ada masalah. Yang menjadi “PR” semua agama itu kan berbicara masalah-masalah sosial, kemanusiaan.
Pengalaman Pemilu/Pemilukada Komunitas
(diungkapkan oleh Surya Pranata (Budhis))
Kami punya satu pandangan bahwa sebaiknya agama tidak masuk atau mencampuri tentang perpolitikan. Karena bagi kami, kalau agama sudah diformalkan, apalagi di Indonesia, itu kalau masuk dan terjerumus dalam dunia polittik maka “nilainya turun”. Agama itu bisa mempengaruhi dengan nilai-nilai secara moral, tapi tidak di ranah politik praktisnya. Di Negara-negara Budhis, kami para agamawan Budhis tidak boleh masuk ke ranah tersebut. Nanti agama hanya menjadi alat kepentingan. Seperti di Thailand, itu mayoritas agama Budhis, tapi para pemimpinnya tidak pernah berbicara tentang agama. Paling kalau ada kesulitan raja atau para mentrinya datang untuk minta fatwa.
Karena sang Budha itu dari pangeran yang seharusnya menjadi raja, namun malah meninggalkan jabatannya. Berkembangnya agama Buddha pun tidak ada setetes darah pun tertumpah hanya karena untuk mengembangkan agama. Kami orang Budhis boleh masuk ke dunia politik, tapi tidak karena agamanya. Karena nanti nilai luhurnya hilang, yang seharusnya bisa mempengaruhi cara berfikir para politisi, bukan sebagai alat.
Pengalaman kami mengikuti Pemilukada maupun Pemilu, mau tidak mau harus mengikuti sebagai kewajiban warga negara. Yaitu melaksanakan pesta demokrasi mencari pemimpin di daerah masing-masing. Kami tidak pernah melihat apakah dia seagama dengan saya atau tidak. Kami mengharapkan bahwa siapa pun yang nanti terpilih, bisa membawa perdamaian dan kesejahteraan saja. Begitu pun ketika kami didatangi calon yang meminat nasehat kepada kami, selalu saran kan ke mereka, bahwa kami tidak membawa agama ke dalam hal tersebut tapi sebagai personal.
Saat ini, pemerintah dalam mengawal Pemilu saya kira sudah mengarah cukup baik. Namun kendala tetap masih ada. Sarana mungkin belum terpenuhi semua. E-KTP merupakan usaha untuk membenahi manajemen kependudukan. Sehingga itu bisa menjadi dasar dari pada orang-orang yang punya hak pilih. Cuma mungkin karena proses waktunya, dan aparat ini punya kekurangan hingga mengalami kesulitan. Hanya saja jangan dilihat dari sedikit yang salah, itu kemudian yang sudah besar bagus dilupakan. Seperti membangun rumah saja. Seringnya ada satu dua bata yang posisinya agak miring. Kita harus melihat keseluruhan, jangan hanya memperhatikan itu saja. Karena hidup kita memang sulit untuk mencapai kesempurnaan.
Memahami Perlakuan Diskriminasi
Kalau sampai sekarang saya belum melihat. Tapi seperti yang saya katakan jangan terlalu fokus pada hal yang kecil. Kalau saya yang mengalami diskriminasi, saya harus berfikir karena orang itu belum memahami. Jadi kita yang sebetulnya harus memahami. Memahami bahwa ia belum memahami. Karena kita ini berbeda, tapi sebetulnya kita mempunyai kesamaan sebagai umat manusia itu hal mendasar tanpa perbedaan warna kulit.
Selama ini saya agak sulit menilai pengalaman berkesan dalam Pemilu. Juga menilai karena saya memandang dari hal yang sempit. Yang penting kita sudah mendapatkan informasi track record dari para calon. Kebanyakan namun semuanya kebanyakan membagikan janji-janji, dari pada kesejahteraan. Tapi di situ juga terulang kembali kepada pemahaman ia hidup sebagai pemimpin. Karena harusnya kalau memahami tentang itu, kita ambil contoh tokoh besar itu kan membagi kesejahteraan, tidak hanya janji-janji.
Menjadi Seorang Pemimpin itu Sederhana
Padahal menurut saya, menjadi seorang pemimpin itu sederhana. Yang pasti dalam batin kita penuh cinta kasih, tidak rela melihat orang-orang mengalami kemiskinan, kesakitan kebodohan, pokoknya yang tidak sejahtera ini terselamatkan oleh dirinya. Kemudian tereliminir. Kemudian juga salah satu bahwa bukan hanya secara materi tapi juga batin tentram damai.
Jangan Meremehkan yang Kecil
Benar bahwa suara mayoritas seperti muslim itu diperhitungkan. Itu benar, kami terus terang satu komunitas yang tidak besar, tapi kami juga bisa merasa memberikan sumbangsih dalam hasil pemilihan. Karena kalau air stetetes dikumpulkan, lama kelamaan akan besar. Jangan meremehken yang kecil, yang penting itu niat baik.
Dalam menyampaikan ajaran damai, kami selalu mengedepankan hidup sosial. Makanya yang dikedepankan itu hidup untuk berbagi, membangun cintakasih dan welas asih, untuk kita bisa mencapai kedamaian dan bahagia. Uang yang di kantong saya itu bukan milik saya, tapi kalau uang yang saya gunakan untuk orang lain, betul-betul untuk membantu orang itu, maka uang milik saya untuk karma baik. Sebab akibat yang saling berkaitan, kalau anda berbuat kebaikan maka akan menerima kebaikan.
Perihal deal-deal politik yang bisa merugikan satu kelompok, bagi kami memikirkan orang politik tidak hanya cuma yang dangkal yang dianggap punya potensi (kekuatan). Karena dengan kami, pertama kali punya keduudukan harus punya perhatian kepada orang-orang yang lemah. Pemimpin yang punya cinta kasih dan welas asih pasti akan bisa membuat banyak manfaat kepada rakyat.
Dalam konteks kota Cirebon, sebenarnya sudah 10 tahun Cirebon itu agak mandeg. Pak Ano kelihatannya kurang banyak bergerak, karena beban PR yang diberikan terlalu banyak. Jadi tidak bisa begitu saja mengambil kesimpulan. Seperti Jokowi yang pasti punya langkah menuju kesejahteraan.
Seperti sumpah pemuda yang melambangkan sebagai politik beragama dalam berbangsa dan bernegara, bagaimana menjaga rasa persatuan dan eksatuan hidup bernegara. Seperti air mengalir, barang yang paling sulit itu air, dan air merupakan satu sumber kehidupan. Tapi suatu waktu air bisa menjadi kekuatan dashyat dan karakter air yang mengalir ke bawah berarti rendah hati memberi kehidupan untuk sesama makhluk.
(Laporan: Diaz Alauddin & Alimah)
Sumber: Blakasuta edisi 32