“Pada awalnya Islam hadir bagai orang asing. Dan ia akan jadi asing, seperti pada awalnya. Maka Berbahagialah wahai orang-orang asing”
Dengarkanlah apa kata Nabi yang agung, Muhammad putra Abd Allah, Saw, tentang kehadiran Islam :
بَدَأَ الْاِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوْبَى لِلْغُرَبآءِ
“Pada awalnya Islam hadir bagai orang asing. Dan ia akan kembali jadi asing, seperti padaawalnya. Maka berbahagialah wahai orang-orang asing”.
Imam Muslim mencatat hadits ini dalam buku Sahihnya. Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya dan sejumlah ahli hadits menyebutkan kesahihan (validitas) hadits ini. Para komentator hadits ini mengatakan: “Islam ketika ia hadir pertama kali di Makkah, adalah narasi atau wacana yang asing. Hal keasingan agama ini karena Nabi Muhammad mendeklarasikan Ke-Esa-an Tuhan. “La Ilaha Illa Allah” (tidak ada yang dikultuskan selain Allah). Wacana ini menjadi titik tolak bagi pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan manusia atas manusia, penentangan terhadap monopoli ekonomi yang eksploitatif. Kata-kata itu juga sekaligus mencanangkan kesetaraan manusia dan penegakan keadilan. Gagasan ini ingin menegaskan bahwa tidak ada kekuasaan manusia atas manusia. Karena itu tak boleh ada penindasan manusia atas manusia.
Gagasan tersebut pada awalnya hanya diminati oleh segelintir orang saja. Nabi Muhammad yang membawakannya dicacimaki, disumpahserapah dan distigma masyarakatnya sendiri sebagai orang gila (majnun), tukang sihir (sahir) dan pendongeng mitologi-mitologi kuno (asathir al-awwalin) yang amat lihai. Nabi dituduh mereka sebagai laki-laki yang sesat dan menyesatkan. Ia diasingkan, dikucilkan, dibenci lalu mereka mengusir dan berusaha membunuhnya. Nabi yang mulia bersama pengikutnya yang sedikit, itu kemudian pindah ke Madinah. Di tempat yang baru itu, Nabi memperoleh pertolongan penduduknya, yang mayoritas penganut agama Yahudi dan Nasrani. Mereka telah bermukim lama di Yatsrib, nama awal kota Madinah. Dinasti Quraisy di Makkah yang merasa legitimasinya terancam oleh kehadiran, tetap tak ingin membiarkan dia hidup. Mereka tahu bahwa Muhammad (Saw) adalah penakluk pikiran yang ulung. Kata-katanya yang berupa ajakan kepada jalan hidup baru yang menjanjikan keselamatan amatlah indah dan memukau pendengarnya. Jika dibiarkan saja, dia bisa membangun kekuatan besar di Madinah dan bisa mengancam. Maka meski Nabi telah meninggalkan tempat kelahirannya, dia dan para pengikutnya masih tetap saja harus menghadapi berbagai tekanan dan ancaman dari luar kotanya. Yakni dari Makkah. Dia dan para pengikutnya berkali-kali harus terlibat dalam perang mahadahsyat, karena mereka harus mempertahankan diri. Pertumpahan darah sama sekali tak dikehendaki Nabi, namun hidup wajib dipertahankan, dan gagasan dan misi Keesaan Tuhan harus tetap hidup sepanjang zaman. Mereka yakin bahwa Tuhan pasti akan menolong dan memberinya kemenangan pada saat yang dikehendaki-Nya.
Maka sang Nabi, orang asing itu, terus saja melangkah setapak demi setapak. Dengan tetap memperlihatkan kejujuran, kebersahajaan, ketulusan, ketenangan dan kesabaran yang penuh, ia memperoleh makin banyak simpati masyarakatnya. Perangai dan budi pekertinya yang luhur itu membuat masyarakat di sekitarnya satu-satu dan diam-diam jatuh cinta pada ajaran-ajaran yang dibawanya. Dan dalam tempo amat singkat, sesudah itu, ketika ia pulang kembali ke tempat kelahirannya di Makkah, situasi tak dibayangkan dan mencengangkan pun hadir. Orang-orang yang beberapa tahun sebelumnya mengucilkan, membenci, memusuhinya dan membunuh sahabat-sahabatnya di sana, tiba-tiba saja tersentak, situasi mental galau meliputi mereka dan terdiam seribu basa. Nabi berdiri saja sambil mengulum senyum menyaksikan pemandangan yang indah itu. Mereka, dengan mental yang jatuh, mengatakan : “Anta Akh Karim, Ibn Akh Karim, (engkau saudara yang mulia putra saudara yang mulia). Nabi Saw dengan tetap menunjukkan charismanya yang luar biasa dan berdiri menatap mereka dengan keanggunan yang penuh. Nabi mengatakan sambil mengutip kata-kata Nabi Yusuf :
لَا تَثْرِيْبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْم .إِذْهَبُوا فَأَنْتُمْ الطُّلَقَآءُ
“Hari ini, tidak ada balasdendam atas kalian. Pergilah ke mana kalian suka. Kalian orang-orang yang bebas).
Ucapan itu sungguh-sungguh menggetarkan hati mereka, dan tak lama sesudah itu secara berbondong-bondong mereka jatuh dalam pelukan Nabi, lalu mencintainya. Al-Qur’an mencatat peristiwa ini:
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ. وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِى دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka Mahasucikan Dia dengan memuji-Nya. Dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.(Q.S. Al-Nashr, [101]:1-3).
Cirebon, 23082013