Kurban yang dalam bahasa Arab ditulis qurban adalah salah satu ritus dalam Haji, di samping sejumlah ritus yang lain seperti wuquf di Arafah, Mabit di Mina, dan Jamarat (melempar batu). Qurban secara literal berarti dekat atau mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam terminologi Islam, qurban adalah ritual (ibadah) dalam bentuk penyembelihan hewan ternak. Ritual ini lahir dan ditetapkan agama sebagai upaya menghidupkan sejarah Nabi Ibrahim, bapak para nabi, ketika menyembelih anaknya Ismail atas perintah Tuhan, tetapi Tuhan kemudian menggantinya dengan domba. Penyembelihan hewan qurban adalah simbol bagi cara mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia adalah ketaqwaan kepada-Nya. Al Qur-an menyebutkan:
“dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagai bagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak dari hal itu. Daging-daging unta dan darahnya sama sekali tidak akan dapat mencapai Tuhan.
Tetapi ketaqwaan kamulah yang dapat mencapainya”. (QS.Al Hajj, 22: 36-37).
Seorang penafsir modern Rasyid Ridha menyatakan bahwa ibadah qurban melambangkan perjuangan kebenaran dan ini harus melibatkan kesabaran, ketabahan, dan pengurbanan. Ali Syari’ati bahkan memberikan makna kurban lebih jauh lagi. “Kurban yang diungkapkan sebagai penyembelihan hewan adalah perumpamaan untuk kemusnahan dan kematian ego. Ini berarti juga menahan diri dari dan berjuang untuk melawan, godaan ego”. Pandangan Ali Syari’ati memperlihatkan perhatiannya kepada dimensi moral dan politik yang juga harus terus diperjuangkan bagi terwujudnya keadilan sosial. Menyembelih hewan adalah menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia.
Perempuan yang berkorban untuk kemanusiaan Perempuan—dalam konteks sejarah sosial patriarkhis—hampir selalu diluputkan dari perhatian masyarakat, tetapi tidak bagi Tuhan. Dia mengabadikannya sebagai bagian dari sejarah ritual keagamaan utama; Haji. Ia hadir melalui sosok Hajar atau Siti Hajar. Ritual itu bernama “Sa’i”. Al Qur-an menyebut:
Sa’i adalah sebuah prosesi jalan kaki, kadang-kadang berlari-lari kecil, pulang pergi dari bukit yang terjal (Shafa) ke bukit yang terjal lainnya (Marwah) sebanyak tujuh kali. Ia adalah sebuah ritual yang sengaja dilahirkan untuk menghidupkan kembali sejarah perjuangan seorang perempuan. Meskipun Tuhan tidak menyebut nama “sang pejalan kaki” itu secara eksplisit tetapi para ahli tafsir muslim sepakat bahwa ia adalah Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim. Sesudah melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Ismail, Hajar ditinggal suaminya sendirian di tempat yang gersang dekat “Rumah Tuhan”. Al Qur-an menyebut “bi wadin ghairi dzi zar’in ‘inda baitika l-muharram”, (di lembah gersang di samping rumah-Mu yang dimuliakan). Hajar tiba-tiba mendengar tangisan bayi Ismail dalam nada memilukan. Tangisan bayi itu telah menggetarkan hatinya. Hajar begitu cemas melihat anaknya. Ia segera berdiri, membiarkan sementara anaknya, melangkahkan kakinya dan berlari-lari kecil menuju bukit Shafa dan terus lari ke bukit Marwah, sambil tak henti-hentinya memohon pertolongan Tuhan dengan hati yang luruh. Ia seorang diri dan dalam ruang yang sepi, mencari air bagi anaknya.
Ibnu Kasir seorang penafsir besar menyampaikan sejarah ini: “Pada mulanya adalah Hajar, seorang perempuan, yang pulang pergi antara bukit Shafa dan Marwah untuk mencari air bagi anaknya. Tuhan kemudian memberinya pertolongan dengan memancarkan air dari bawah tanah yang disebut “tha’am tha’m”, makanan orang yang kelaparan dan “syifa’ saqam”, obat bagi penyakit.(Ibnu Katsir, Tafsir, I/199). Ia adalah air zam-zam, sumber mata air yang bersih dan tak pernah kering sepanjang masa dan menghidupi jutaan bahkan bermiliar manusia sampai hari ini. Dari sejarah ritual Sa’i tersebut kita melihat dengan jelas betapa sosok seorang perempuan yang tabah, tanpa kenal lelah dan dengan penuh ketulusan dan cinta telah memperlihatkan perjuangannya lewat pencarian air, simbol sumber kehidupan manusia dan alam. Ia bahkan tidak berjuang untuk dirinya sendiri tetapi bagi manusia yang lemah, anaknya, Ismail, dan kemudian bagi berjuta-juta manusia selanjutnya. Menarik sekali, mengapa Tuhan memilih manusia dengan beban ganda dan dalam konteks sosial sering direndahkan; perempuan, hamba sahaya, berkulit hitam dari Ethiopia, di samping seorang ibu yang sendiri menghidupi anaknya. Dibalik itu, dia adalah perempuan yang luar biasa.
Ali Syari’ati mengidentifikasi Hajar dengan sejumlah identitas sosial lebih lengkap: “Ia
seorang perempuan yang bertanggungjawab. Ia seorang ibu yang mencinta, sendirian, mengelana, mencari dan menanggungkan penderitaan serta kekhawatiran, tanpa pembela dan tempat berteduh, terlunta-lunta, terasing dari masyarakatnya, tidak mempunyai kelas, tidak mempunyai ras dan tidak berdaya. Ia seorang budak yang kesepian, seorang korban, seorang asing yang terbuang dan dibenci”.(Ali Syari’ati, Haji, hlm.47).
Tuhan membela perempuan melalui Hajar, Tuhan tampak tengah melakukan pembelaannya ketika masyarakat manusia mencampakkannya karena status sosialnya yang dipandang rendah. Tuhan menolongnya dengan mengabulkan do’a yang dipanjatkannya: memohon air. Tuhan menganugerahinya air, dan tidak yang lain karena air adalah sumber kehidupan makhluk Tuhan. Dalam salah satu ayat al Qur-an, Tuhan menyebutkan : “Wa Ja’alna min al-Mâ-i Kulla Syai-in Hayy”, (dan Kami jadikan dari air segala yang hidup). Jelas bahwa Hajar adalah sosok perempuan yang berperan sangat besar bagi sebuah kehidupan manusia dan alam. Ia adalah perempuan yang berkorban untuk menyelamatkan kehidupan manusia, karena ia mencintainya.
Melalui Siti Hajar pula, Tuhan ingin membela perempuan ketika masyarakat merendahkannya hanya karena dia seorang budak perempuan; sebuah status sosial yang sangat direndahkan, layaknya benda. Tuhan membelanya. Dia menjodohkannya dengan seorang utusan Tuhan; Ibrahim as, bapak para Nabi. Dari perkawinannya lahir kemudian manusia pilihan Tuhan, Nabi Ismail dan dari keturunannya lahir kemudian Nabi Muhammad saw. Nabi kaum muslimin. Melalui perjodohan itu Tuhan ingin mengangkatnya dan menghormatinya seperti manusia perempuan yang lain.
Status jenis kelamin perempuan dan status budak dalam banyak kebudayaan manusia sejak dulu sampai hari ini acapkali distigmatisasi sebagai makhluk Tuhan kelas dua. Dengan anggapan demikian, perempuan seringkali tidak difungsikan sebagai manusia yang bermartabat dan memiliki kemampuan. Bahkan seringkali pula mereka menjadi korban struktur atau sistem kekuasaan yang sengaja diciptakan untuk kepentingan jenis kelamin yang lain. Pengurbanannya yang demikian tulus dan penuh keringat tidak dihargai secara proporsional.
Sejarah Siti Hajar dan perhatian Tuhan kepadanya sebagaimana dikemukakan jelas sekali merupakan sejarah yang berusaha mengkritik sistem sosial-budaya seperti ini. Dan secara lebih luas bermakna kritik Tuhan terhadap sistem sosial yang memarginalkan dan mengabaikan penderitaan manusia. Kenyataan ini seharusnya menyadarkan kita semua untuk senantiasa menghargai manusia tanpa harus melihat status dan latarbelakang sosialnya dan tanpa melihat sosok tubuh luarnya, baik kulit maupun jenis kelaminnya. “Tuhan tidak melihat tubuh dan wajah kamu, tetapi melihat pada amal dan hatimu” demikian salah satu Hadis Nabi yang menjadi dasar persamaan derajat kemanusiaan. Fenomena Hajar adalah fenomena perempuan yang bekerja keras dan berkorban demi kemanusiaan dengan penuh cinta. Perempuan adalah sumber kehidupan seperti halnya air. Karena itu ia seharusnya dihormati dan tidak dikorbankan untuk kepentingan yang bisa menghancurkan kemanusiaan.] sumber: www.rahima.or.id