Senin, 25 November 2024

Perkawinan Anak Melanggar Undang-Undang Perkawinan

Baca Juga

Beberapa hari terakhir media massa diramaikan oleh pemberitaan tentang seorang kiai di Semarang, Jawa Tengah, yang menikahi perempuan berusia 12 tahun dan masih akan menikahi lagi dua anak perempuan berusia 7 dan 9 tahun (Warta Kota, 23 dan 24 Oktober).

Meskipun menikah adalah hak setiap orang, negara telah menetapkan aturan untuk melindungi para pihak yang berada di dalam kontrak sosial pernikahan tersebut.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bukan tanpa alasan dalam Pasal 7 membatasi usia seorang perempuan boleh menikah minimal 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.

Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan KH Husein Muhammad menegaskan, dalam konteks Indonesia tidak lagi tepat mengadopsi pandangan lain kecuali UU Perkawinan. Penetapan batas usia minimal 16 tahun bagi perempuan dapat menikah adalah pandangan fikih yang diadopsi ke dalam hukum negara.

”Pandangan fikih berbeda-beda mengenai usia minimal itu, kita di Indonesia mengadopsi pandangan Hanafi,” kata KH Husein Muhammad.

Menurut Husein Muhammad, masih terdapat dualisme hukum fikih di beberapa kalangan di Indonesia. Sebagian masih mengadopsi fikih lama dan menekankan pada teks, sebagian yang lain menerapkan fikih secara kontekstual.

Karena itu, di dalam konteks masyarakat saat ini, menikah di bawah usia 16 tahun bagi perempuan dianggap belum siap secara psikologi dan biologis. ”Dampaknya akan merugikan perempuan, menghasilkan perkawinan yang tidak sehat,” kata Husein Muhammad.

Kontekstual

Menurut peneliti perempuan dan Islam, Lies Marcoes, orang-orang yang berpegang pada fikih secara teks akan mengartikan umur secara harfiah, melihat umur hanya dari angka tanpa memerhatikan kematangan psikologi dan pengetahuan.

Mereka yang hanya melihat secara teks akan berlindung di balik perkawinan Nabi Muhammad dengan Aisyah ketika Aisyah berusia tujuh tahun.

”Kalau melihatnya hanya pada umur akan luput melihat prinsip ajaran Islam, yaitu tidak boleh memaksa dan menimbulkan penderitaan atau keadaan yang merugikan pada anak,” tandas Lies, lulusan IAIN Syarif Hidayatullah itu. Karena itu, tetap seorang anak harus ditanya ketika akan menikah, seperti yang diadopsi dalam tata cara perkawinan di Indonesia.

Masalahnya, tak sedikit orangtua meyakini orangtua berhak menikahkan anaknya tanpa perlu mendapatkan izin dari anak bersangkutan.

Lies menambahkan, yang dilupakan mereka yang melihat hanya secara teks adalah konteks dari timbulnya suatu hadis atau turunnya ayat Al Quran.

Ketika itu, demikian Lies, adalah hal biasa pada masyarakat Arab anak perempuan dinikahkan pada usia muda seperti itu. ”Lihat saja nenek-nenek kita yang menikah pada usia 12-13 tahun. Tetapi, zaman berubah, pengetahuan bertambah luas. Banyak bukti dalam ilmu kesehatan reproduksi memperlihatkan pernikahan pada usia muda merugikan kesehatan fisik dan tidak baik untuk psikis anak perempuan,” kata Lies.

Ketika Nabi Muhammad menikahi Aisyah, Aisyah tetap tinggal bersama orangtuanya, Abu Bakar. Menurut Lies, Nabi menyerahkan keputusan kepada Aisyah untuk memilih waktu kapan dia merasa siap untuk tinggal bersama Nabi. Aisyah masih tinggal bersama orangtuanya selama beberapa tahun kemudian.

Lies menandaskan, sikap itu memperlihatkan penghormatan Nabi kepada perempuan. Ukuran yang digunakan bukan berapa usia seorang perempuan, tetapi kesiapan Aisyah sendiri untuk menjadi istri.

Karena pendekatan konteks waktu dan tempat pula, ulama besar dari Mesir, Muhammad Abduh, menurut Lies, mengharamkan perkawinan di bawah umur karena terbukti menyengsarakan anak perempuan itu.

Lies menceritakan pengalaman seorang nyai, istri kiai, yang dinikahkan ketika usianya sembilan tahun. ”Trauma nyai tersebut tidak hilang hingga usianya 40-an tahun,” ujar Lies.

Masih dipraktikkan

Pemberitaan mengenai kiai di Semarang itu, menurut Husein Muhammad dan Lies Marcoes, sebenarnya pertanda praktik pernikahan di bawah umur masih dipraktikkan di beberapa daerah di Indonesia.

Husein Muhammad menemukan hal itu masih dilakukan di Indramayu, sedangkan Lies menemukan di Jember, Jawa Timur, dan Sukabumi, Jawa Barat, ketika meneliti kesehatan reproduksi di sana tahun 2000.

Faktor yang mendorong pernikahan di bawah umur di Indramayu adalah kemiskinan, faktor yang juga disebut Lies Marcoes. Faktor lain, demikian Husein Muhammad, adalah gengsi. ”Menikah dengan kiai masih dianggap sebagai gengsi,” kata dia.

Apa yang terjadi pada perkawinan di bawah umur selain pelanggaran hukum mengenai batas usia, juga pelanggaran karena perkawinan tidak dicatatkan.

Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perkawinan yang mengatur usia minimal pernikahan dapat dilangsungkan, sayangnya UU ini tidak dilengkapi sanksi untuk pelanggarnya.

Komnas Perempuan kini tengah menyusun usulan perubahan sebagai reaksi atas rencana pemerintah menaikkan status Kompilasi Hukum Islam yang selama ini hanya sebagai pedoman hakim pengadilan agama menjadi undang-undang.

Menurut Husein Muhammad, di antara usulan Komnas Perempuan adalah usia minimal perempuan menjadi 19 tahun dan memasukkan pencatatan perkawinan sebagai rukun sahnya perkawinan. (Ninuk Mardiana Pambudy)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya