Kamis, 19 Desember 2024

Pentingnya Guru Memiliki Wawasan Inklusif

Baca Juga

Fahmina.or.id, Cirebon. Survey yang dilakukan Setara Institute di beberapa seklah yang ada di Bandung, mengenai setuju atau tidak dengan ajakan beragama yang sifatnya memaksa atau mengandung unsur paksaan, kebanyakan siswa memilih setuju. Ini menunjukkan ada kecenderungan bahwa para siswa itu tertarik dengan ideologi semacam itu, dengan “jihad”, atau dakwah yang sifatnya memaksa.

Perlu adanya ruang untuk para guru dalam mengembangkan kapasitasnya sebagai pengajar sekaligus pendidik yang inklusif agar dapat menyampaikan materi ajar kepada siswanya lebih toleran serta menghargai keberagaman terutama guru mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan di sekolah menengah atas (SMA). Hal itu disampaiakan Rosisdin Direktur Fahmina institute dalam membuka kegiatan Lokakarya Anti Radikalisme Agama Bagi Guru yang bekerjasama dengan Gereja Kristen Pasundan Jawa Barat. Di Hotel Bentani Jl. Siliwangi Kota Cirebon, Selasa (8/11/2016)

“Maka perlu ada sharing dari para guru agama tentang pengalaman dan pengetahuan keagamaan di sekolah, juga bagaimana sisi psikologis atau perilaku siswa terkait hal ini. Yang kemudian nantinya bisa dibagikan kepada para siswa atau orang sekitar,” katanya.

Ia menjelaskan setiap tahunnnya sekolah menerima sekaligus meluluskan siswa didiknya, lulusan tersebut bergantung pada kemampuan guru dalam menyampaikan materi ajarnya apakah dapat memeberikan pemahaman agama dan pendidikan kewarganegaraan yang baikatau tidak. Maka penting menguatkan guru dalam hal tersebut.

“Kita harus kuatkan para guru. Karena dua mata pelajaran ini yang menjadi pangkal pembentuk pola piker siswa. Termasuk cara guru dalam menyampaiakan materi ajarnya, apakah ceramah atau partisipasi, jangan-jangan monoton. Padahal siswa membutuhkan proses interaksi kaitannya dengan moral dan agama,” jelasnya.

Sebanyak 30 guru Agama dan PKN mengikuti acara tersebut. Menurut Pdt. Obertina, dalam lokakarya menghadirkan pula guru mata pelajaran Agama Kristen, upaya ini dilakukan untuk memberikan kesempatan guru dalam berinteraksi dan berdialog dengan guru agama di luar komunitasnya.

“Dengan mereka berkumpul sesama guru agama dan pkn ruang perjumpaan terjadi, dengan disadari untuk melakukan dialog. Bertukar pengalaman dan saling memahami satu sama lain dalam hal pengajaran di sekolah dan pemahaman teks keagamaan masing-masing,” terang Kordinator Pokja Interfaith Gereja Kristen Pasundan itu.

Kurangnya Kesempatan Guru

Sementara itu Elga J Sarapung Direktur DIAN/Interfidey Yogyakarta mengatakan guru terlalu disibukan dengan program sertifikasi yang diharuskan oleh pemerintah dalam pengangkatan kesejahteraan guru. Sehingga menyempitkan ruang kepada guru untuk bersikap kritis terhadap materi ajar disetiap pergantian kurikulumnya..

“Sistem kita lebih berat pada soal administratif, memperbaiki kesejahteraan ghuru lewat sertifikasi, guru tidak ada waktu bagaimana memikirkan isi materi ajar, relevan atau tidak, dari segi metode cocok atau tidak bagi anak didik kelas sepuluh, sebelas atau duabelas,” paparnya.

Menurutnya pemerintah harus memberikan kesempatan dan penguatan kapasitas guru mata pelajaran agama dan PKN dan metode yang relevan  mengingat tantangan yang begitu besar bagi bangsa ini. Begitupun dukungan birokrasi sekolah dalam merealisasikan inisiatif guru yang sudah bagus dalam peyampaian pengajaran dengan persefektif yang anti radikalisme. (ZA)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya