Generasi Apakah Kita, X, Y atau Z?
“Kenapa yaa, anak zaman sekarang kok sulit diatur?”Pertanyaan di ini mungkin terlintas bagi para orang tua yang melihat pola tingkah anak yang kekinian. Apalagi dengan harapan besar di pundak mereka agar menjadi lebih sukses dari ayah dan ibunya. Hal itu memang lumrah dipikirkan.
Tetapi, kita pun harus memahami bahwa setiap generasi mempunyai situasi serta pengalaman hidup yang berbeda. Menggambarkan siapa diri pribadi dan bagaimana melihat dunia, mempunyai ciri khas tersendiri yang berbeda setiap generasinya (Lynn C. Lancaster dan David Stillman, 2001).
Hal ini dipengaruhi oleh perubahan mentalitas dari tiap generasi melalui pergantian struktur masyarakat karena fluktuasi sosial politik dan ekonomi yang cepat. Ditambah dengan adanya perkembangan teknologi informasi.
Istilah Generasi ‘X, Y, dan Z’ pun muncul untuk membedakan rentang waktu generasi. Menurut para pakar psikologi, Generasi ‘X’ adalah orang-orang yang lahir antara 1960-1980. Pada kurun waktu tersebut hingga sebagian besar dari golongan mereka dewasa, terjadi banyak perubahan iklim sosial-politik dunia dan juga ekonomi. Karena disaat itu masih terjadi Perang Dingin jilid II (1979-1985), serta dimulainya jaringan internet. Indonesia sendiri saat itu masuk ke dalam sistem sentralisasi kepemerintahan dibawah Presiden Soeharto, sampai dengan carut marutnya perubahan situasi politik yang kemudian menurunkannya pada Mei 1998.
Berdasarkan fakta sejarah di atas, generasi ‘X’ pun banyak yang menyebutnya sebagai generasi yang tangguh, pekerja keras, serta dikenal sangat mengutamakan citra diri. Namun memiliki kelemahan selalu perhitungan terhadap sesuatu itu akankah menguntungkan dirinya atau tidak.
Sedangkan generasi ‘Y’ yang lahir antara 1980-1994, atau yang biasa disebut ‘generasi millenium’ merupakan generasi yang mengikuti perkembangan internet, kebebasan berekspresi dan keterbukaan informasi juga dimulainya desentralisasi kepemerintahan pasca rezim Orba. Dengan adanya keterbukaan informasi maka pola komunikasi pun berubah, kreatif, serta lebih terbuka dengan pandangan politik dan ekonomi, sehingga terlihat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya. Masyarakat dunia riil pun sudah mulai merambah menjadi warga dunia maya dengan kemunculan berbagai macam sosial media. Namun mulai mendekat pada sikap individualis.
Kemudian generasi ‘Z’ yang ada pada kisaran tahun 1995-2009 merupakan digital yang mahir dan gandrung akan teknologi informasi dengan memiliki sifat yang kurang lebih mirip dari ‘Y’ namun lebih cenderung kurang dalam berkomunikasi secara verbal, egosentris dan individualis, serta ingin serba instan.
Dengan melihat semua perbedaan itu tentu saja perselisihan antar generasi tak terhindarkan. Tidak heran jika generasi yang baru berpendapat bahwa generasi ‘lama atau sebelumnya’ adalah orang-orang yang tidak bisa diajak berkompromi dan berkreasi. Sedangkan generasi lama berpendapat bahwa generasi ‘baru atau selanjutnya’ adalah generasi pembangkang dan tidak tahu tata krama.
Untuk mengurangi benturan yang terjadi, menurut Howard Giles (1973), pencetus teori ‘Akomodasi Komunikasi’, ia menyatakan bahwa “komunikasi yang efektif akan terjadi jika pihak yang saling berinteraksi berusaha untuk menyesuaikan kata-kata, memodifikasi suara, atau mengatur perilaku dalam merespon teman bicara”. Sehingga kesejangan pemahaman antar generasi dapat diminimalisir.
Benturan antar generasi salah satunya, sering terjadi di dalam sistem pewarisan ilmu atau pendidikan. Karena pendidikan selalu menuntut untuk mengembangkan ilmu yang ada, yang nantinya juga akan mempengaruhi tatanan nilai sosial.
Dalam pendidikan, orang tua tentu tetap tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Jaminan apa yang bisa membuat sang anak menjadi baik sedangkan guru harus memperhatikan banyak anak lainnya? Sehingga dengan seenaknya orang tua dapat memukul guru?
Tentu ruang belajar sebetulnya tidak hanya lingkungan sekolah saja. Karena, pengalaman sesungguhnya merupakan guru yang terbaik. Orang tua pun bisa menciptakan waktu yang berkualitas (quality time) dengan belajar bersama anak dengan menyisihkan waktu kerja.
Generasi Z, Kreatif Menyampaikan Pesan Damai
Tahun 2016, generasi Z awal setidaknya kini berusia 21 tahun, usia yang sudah sangat dewasa bagi generasi X, maka secara disengaja atau tidak, banyak tuntutan yang disandarkan kepada generaso Z, harus sudah dewasa, mulai mandiri, mencari pekerjaan, lulus kuliah, dan sebagainya. Jika tidak ada jembatan pengetahuan yang menghubungkan antara generasi X, Y, dan Z, maka antar generasi bisa saling merendahkan satu sama lain, karena tidak ada saling pengertian. Bahwa, masing-masing generasi ditempa oleh situasi yang berbeda.
Begitupun ketika kita berbicara mengenai bagaimana bekerjasama dalam membangun lingkungan yang aman, tentram, damai dengan berbagai karakter manusia di sekelilingnya. Bagaimana tetap menjaga kehidupan yang damai dalam situasi perbedaan dan keberagaman, karena sebuah kemustahilan hidup di Indonesia tanpa mengalami keragaman, baik secara status sosial, keragaman gender, keragaman etnis, agama, bahkan orientasi seksual. Jika tidak ada upaya melestari-jagakan praktik-praktik membangun damai di lingkungan, maka sikap toleransi akan semakin terkikis dan konflik akan mudah terjadi.
Upaya-upaya membangun damai ini juga harus dilakukan kepada setiap generasi, bukan hanya menjadi tanggung jawab generasi tua, tetapi juga generasi dewasa dan muda. Tentu saja, metode yang dilakukan harus beragam, dengan generasi X kita bisa mengajak mereka melestarikan kehidupan damai dengan berdialog, beratatap muka, saling mengunjungi antar komunitas maupun inter komunitas yang berbeda, misalnya berbeda agama dan keyakinan, mengajak umat muslim berkunjung ke gereja, mengajak umat Kristen datang ke pesantren, mengajak bertemu dan berdialog agar terjadi saling asah-asih dan asuh.
Sedangkan di dunia milik Z, berkunjung dan berdialog tidak lah cukup, mereka harus mendapatkan cara ‘asik’ mengenal satu sama lain, berjejaring melalui dunia maya, media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, Instagram, dan masih banyak media lainnya. Sudah kita ketahui bersama, bahwa media sosial kini menjadi media membangun kekuatan-opini publik. Kita tidak bisa tidak acuh terhadap perkembangan teknologi. Karena bagi generasi yang sejak lahir sudah mengenal internet, akan sangat sulit baginya berpaling dari dunia tersebut.
Banyak hal positif yang didapatkan dari internet, teman, jaringan, pengetahuan. Dari hal positif tersebut, banyak dari genrasi Z yang menggunakannya sebagai bekal membuat kreatifitas-kreatifitas tertentu, mereka belajar (bukan bermain seperti yang banyak dituduhkan) bagaimana menyampaikan pesan secara efektif kepada publik. Mereka belajar bagaimana cara membuat video dokumentasi yang singkat tetapi mengandung pesan perdamaian, mereka membuat meme yang sepintas lucu tetapi jika didalami maknanya sangat bijaksana, mereka membuat infographic, banyak lagi hal-hal kreatif yang mereka lakukan.
Empat Strategi untuk Generasi Z
Dalam tulisannya di Kompas.com Jazak Yus Afriansyah seorang author dan coach dan trainer (ACT) of Professional Skill Series, menyatakan bahwa untuk mengembangkan generasi Z ini kita perlu menggunakan 4 strategi:
Strategi pertama adalah encouraging ideas, yaitu mendorong mereka untuk menyampaikan ide-ide mereka yang kreatif dan inovatif, ini membuat mereka merasa diakui eksistensinya. Strategi ini efektif untuk meningkatkan motivasi mereka, karena mereka merasa dihargai dan sangat dilibatkan.
Kedua adalah strategi Modifying Ideas, yaitu memodifikasi ide-ide mereka. Karena ide-ide mereka perlu untuk difikirkan secara ralistisnya, tidak semua ide keatif dan inovatif dari generasi Z dapat aplikasikan, tetapi kita tidak bisa menolak begitu saja ide yang disampaikan, tetapi kita harus punya cara bagaimana ide tersebut menjadi kenyataan.
Strategi ketiga adalah providing feedback, yaitu menghadirkan umpan balik bagi mereka, untuk memastikan bahwa mereka terus bersemangat dengan motivasi tinggi, ini adalah cara agar mereka mengatahui kekurangan atau kekeliruan mereka, termasuk kekuatan dan kelemahan mereka.
Keempat adalah strategi give alternative and limited edition, yaitu memberi mereka alternatif dan arahan atau instruksi yeng terbatas. Ketika generais Z dalam titik lemah dan tidak bersemangat, biarkan mereka berfikir saat kita libatkan dalam 3 cara diatas. Arahan terbatas adalah cara kita menginspirasi mereka dengan ide-ide tanpa terjebak pada ketergantungan. Dan tentu saja dengan begitu, mereka akan semakin memantapkan diri dan men-declare diri sebagai orang yang memiliki daya kreatifitas tinggi.
Empat cara tersebut adalah dasar bagaimana kita dapat mengerti dan berinteraksi dengan mereka, bagaimana kita memotivasi mereka untuk menemukan potensi yang mereka miliki. Karena masa depan bangsa kita, akan menjadi damai atau terus terjadi sekat antara satu komunitas dengan komunitas lainya, di tangan mereka lah masa depan bangsa ini.