Minggu, 24 November 2024

Pesantren Sebagai Sumber Pembelajaran Pluralisme dan Multikulturalisme

Baca Juga

Keberagaman ini meliputi banyak hal, antara lain ras, warna kulit, kebangsaan, jenis kelamin, pandangan, paham dan keyakinan agama dan sebagainya.

Tidak seorangpun di dunia ini yang dapat menolak sebuah kenyataan bahwa alam semesta adalah plural, beragam, berwarna-warni dan berbeda-beda. Keberagaman adalah hukum alam semesta atau Sunnatullah. Dengan kata lain keberagaman merupakan kehendak Allah dalam alam semesta. Al Qur’an menyatakan dengan jelas mengenai hal ini :

 

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ (الروم,٢٢)  

“Di antara bukti kemahabesaran dan kemahabijaksanaan Tuhan adalah bahwa Dia menciptakan langit dan bumi, dan menciptakan keberagaman bahasa dan warna kulit manusia. Realitas ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi orang-orang yang mengerti (li al ‘alimin/ulu al ilm)”. (Q.S. al Rum, 30; 22).

Dalam bacaan lain: “li al ‘alamin” (dzawi al ‘uqul/bagi ciptaaan Tuhan yang mempunyai pikiran/seluruh manusia). Muhammad Thahir bin ‘Asyur menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbedaan bahasa adalah perbedaan berpikir dan berekspresi (ikhtilaf al tafkir wa tanwi’ al tasharruf)1.

Allah juga mengatakan : “Andaikata Tuhanmu menghendaki niscaya Dia akan menjadikannya satu umat saja, tetapi mereka selalu berbeda”.

Pluralise Agama

Walaupun Pluralisme meliputi banyak hal, akan tetapi dalam perjalanannya belakangan ini istilah pluralisme telah direduksi konotasinya menjadi paham keberagaman dalam keyakinan dan ekspresi-ekspresi keagamaan. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap pluralisme dalam konteks ini? Apakah Islam sejalan dengan pluralisme?

Tidak ada keraguan bagi saya untuk mengatakan bahwa Islam sejalan dengan pluralisme. Terdapat begitu banyak teks-teks keagamaan Islam baik al Qur’an, hadits Nabi maupun pandangan para ulama mengenai hal ini. Hal pertama dan utama adalah keyakinan Islam bahwa Islam adalah agama Tauhid. Ini adalah inti dalam ajaran Islam. Keyakinan ini menegaskan bahwa hanya Allah yang Maha Besar, Maha Kuasa dan Maha Adil, dan hanya Kepada-Nyalah semua makhluk menyembah dan mengabdikan diri. Dengan arti ini, maka menurut Islam semua makhluk Tuhan, meskipun berbeda-beda dalam banyak aspeknya, adalah sama dan setara di hadapan-Nya. Al Qur’an pada ayat lain menyebutkan :

“Wahai manusia, Kami ciptakan kalian, laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di hadapan-Ku adalah yang paling bertaqwa”.

Pernyataan Al Qur’an ini ditegaskan kembali oleh Nabi Muhammad saw bahwa tidak ada kelebihan orang Arab atas non Arab, kecuali karena ketaqwaannya”. Nabi saw juga mengatakan: “Allah tidak melihat kalian dari tubuh dan wajah kalian, melainkan pada hati dan perbuatan kalian”.

Pengertian taqwa dijelaskan secara luas dalam al Qur’an. Ia tidak semata-mata berarti tekun dalam menjalankan ibadah-ibadah individual, melainkan juga berarti kerja-kerja sosial yang baik, menegakkan keadilan, menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim, menghargai orang lain dan kerja-kerja kemanusiaan dalam arti yang luas.

Manusia sebagai Makhluk terhormat dan bermartabat

Kedua, Islam menegaskan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang paling terhormat di antara makhluk Tuhan yang lain. Kitab suci kaum muslimin menyatakan hal ini dengan sangat eksplisit dan serius: “Wa Laqad Karramna Bani Adam”. (Kami, sungguh-sungguh memuliakan anak cucu Adam). Ayat ini menunjukkan penghormatan Tuhan kepada semua manusia. Tidak ada seorang ulamapun yang mengatakan bahwa yang dimaksud manusia dalam ayat tersebut dikhususkan pada satu kelompok, suku, jenis kelamin, kelas, kebangsaan atau penganut agama tertentu. Manusia dalam ayat ini meliputi semua manusia di manapun dan kapanpun, tanpa membedakan identitas sosial, kultural dan agamanya.

Keistimewaan dan keunggulan manusia dibandingkan makhluk Tuhan lainnya, lebih karena dia diberi akal intelelektual atau akal budi. Tidak ada makhluk Allah yang mempunyai alat ini, selain manusia. Berkat keunggulan akal intelektual itulah, manusia menjadi makhluk yang diserahi Tuhan untuk tugas dan tanggungjawab mengatur, mengelola, menyusun sistem dan menciptakan peradaban. Tugas utamanya adalah menyejahterakan manusia di muka bumi, atau dalam bahasa agama disebut kemaslahatan : Mashalih al Ibad fi al Ma’asy wa al Ma’ad. Tugas kemanusiaan ini dalam al Qur’an disebut dengan Khilafah fi al Ardh.

Nabi Muhammad Saw pernah mengatakan tentang keistimewaan akal ini : “Awwal ma khalaqa Allah al ‘Aql” (Ciptaan pertama Tuhan adalah akal). Beliau kemudian menyampaikan kata-kata Tuhan :

وعزتى وجلالى ما خلقت خلقا اعز علي منك, بك آخذ وبك أعطى وبك أحاسب وبك أعاقب

“Demi keagungan dan kebesaran-Ku, Aku tidak menciptakan sesuatu yang lebih mulia di hadapan-Ku kecuali kamu (akal). Denganmu Aku meminta, denganmu Aku memberi, denganmu Aku meminta pertanggungjawabanmu dan denganmu pula Aku menghukummu”2.

Para sufi dan sarjana muslim mendefinisikan akal sebagai:“inti (jawhar) yang bersinar yang diciptakan Tuhan di dalam otak (dimagh). Dia menjadikan cahayanya di dalam hati dan dengan itu diketahuilah segala hal (al ma’lumat) dan ditampakanlah segala realitas (al musyahadat). (Ibid).
 
Kebebasan beragama

Dengan akal pikirannya, manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, termasuk memilih pikiran atau pandangan orang dan memilih keyakinan agamanya. Keyakinan agama adalah bagian dalam diri manusia yang paling personal, eksklusif, tersembunyi. Hanya Allah sendirilah yang mengetahui isi hati dan pikiran orang. Oleh karena demikian, maka tidak ada kekuatan apapun dan siapapun selain Allah yang bisa memaksanya.

Ayat al Qur’an yang lain dan paling jelas menyatakan:

لاإكراه فى الدين قد تبين الرشد من الغي

 

“tidak ada paksaan dalam agama, telah jelas jalan petunjuk dari jalan yang sesat”.

Dalam ayat al Qur’an yang lain Allah menyatakan bahwa keputusan pilihan orang untuk berkeyakinan atau beragama pada akhirnya merupakan kehendak Tuhan. Oleh karena itu tidak ada seorangpun yang boleh memaksakan kehendaknya. Al Qur’an menyatakan dengan bahasa Istifham Inkari (pertanyaan yang jawabanya pasti tidak):

ولو شاء ربك لآمن من فى الارض كلهم جميعا أفأنت تكره الناس حتى يكونوا مؤمنين

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi ini. Apakah kamu hendak memaksa manusia sehingga mereka beriman?”.

Bahkan ketika Nabi sangat menginginkan agar orang yang dicintainya beriman kepada nya dan mengikuti seruannya, Allah menegaskan :

إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (القصص,٥٦)

“Kamu (Muhammad) tidak bisa memberikan petunjuk sekalipun terhadap orang yang kamu cintai (agar dia mengikuti keyakinanmu). Tuhanlah satu-satunya yang memberikan petunjuk itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya”. (Q.S. al Qashshash, 28; 56)

Secara lebih jauh kebebasan beragama ini juga disebutkan al Qur’an : “Katakanlah (hai Muhammad) kebenaran itu dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang ingin beriman silakan dan barangsiapa yang ingin kufur, silakan”.(Q.S. al Kahfi, 18:29).

Para ulama sepakat mengatakan bahwa keimanan adalah hidayah atau anugerah dari Allah. Imam al Ghazali, sufi besar Islam, dalam bukunya “Faishal al Tafriqah Baina al Islam wa al Zandaqah” mengatakan bahwa :

 

الايمان نور يقذفه الله فى قلوب عباده عطية وهدية من عنده

“Iman adalah cahaya yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya, sebagai anugerah dan petunjuk dari sisi-Nya”.3

Maka menurut Al Qur’an kewajiban manusia hanyalah menyampaikan Amar ma’ruf nahi Munkar”, dan tidak memaksakan kehendaknya:

فإن أسلموا فقد اهتدوا وإن تولوا فإنما عليك البلاغ والله بصير بالعباد

Maka jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyanya menyampaikan. Dan Allah Maha Mengetahui hamba-hamba-Nya”. (Q.S. Ali Imran, 3:20).

Selanjutnya, atas dasar itu pula Tuhan menganjurkan, jika kaum muslimin tidak setuju dengan ahli kitab (kaum Yahudi atau Nasrani), untuk melakukan dialog dengan cara yang terbaik yang bisa dilakukan. Al Qur’an menyatakan:

 

 ولا تجادلوا أهل الكتب الا بالتى هى  احسن

“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang lebih baik”. (Q.S. al ankabut, 29:46).
 
Allah juga memerintahkan kaum muslimin untuk berbuat baik dan bertindak adil kepada mereka, sepanjang mereka tidak melakukan penyerangan dan pengusiran. Al Qur’an menegaskan :“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu “yang lain” untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. Q.S. Al Mumtahanah, [60]:7-8).4

Dalam ayat yang lain Allah melarang orang-orang beriman mencacimaki keyakinan orang lain. Mencaci maki orang lain, termasuk dalam soal keyakinannya, berarti juga sama dengan mencaci maki Allah. 

 

وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (١٠٨)

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (Q.S. al-An’am, 6: 108).

Itu semua merupakan gagasan besar tentang kemanusiaan (humanisme) yang diberikan Islam. Pandangan kemanusiaan dalam Islam tidak lain adalah cara melihat manusia/orang sebagai manusia/orang, apapun identitas dirinya, yang harus dihormati dan dihargai, sebagaimana Tuhan sendiri menghormati dan menghargainya. Soal apa keyakinan dalam hati atau pikirannya hanya Allah yang akan memutuskannya. Inilah makna firman Tuhan “Wa Maa Arsalnaka Illa Rahmatan li al ‘Alamin” (Kami tidak mengutusmu kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta). Sungguh, tidak ada pernyataan kemanusiaan yang demikian indah seperti ini. Ini merupakan puncak pandangan Islam tentang pluralisme.   

Piagam Madinah

Sikap dan pandangan al Qur’an tentang pluralisme di atas dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw dan dideklarasikan sebagai prinsip kehidupan bersama dalam komunitas masyarakat bangsa. Sebagaimana diketahui bersama bahwa ketika Nabi Muhammad saw tiba di Madinah (Yatsrib), beliau melihat sebuah realitas masyarakat yang plural baik dari aspek kesukuan maupun keyakinan keagamaan. Madinah (Yatsrib) ketika itu terdiri dari pemeluk tiga agama besar ; Muslimin, Musyrikin dan  Yahudi. Muslimin terdiri dari Anshar dan Muhajirin. Golongan Yahudi terdiri dari bani Nadir, bani Qainuqa dan bani Quraizah. Sementara golongan musyrik adalah orang-orang Arab penyembah berhala. Di tengah kemajemukan masyarakat tersebut Nabi saw membangun sistem sosial yang isinya mencakup bagi tiga golongan tersebut. Sistem ini kemudian dikenal dengan Shahifah Madinah (Piagam Madinah) atau Constitution of Madinah. Inilah konstitusi pertama di dunia tentang hak-hak asasi mansia. Piagam ini pada intinya merupakan perjanjian hidup bersama dalam kedamaian dan saling menghormati di antara penduduk Madinah, terlepas dari apa latarbelakang identitas sosial dan keyakinan agama mereka. Piagam ini juga memberika jaminan beragama bagi segenap penduduk Madinah. Pada pasal 25 piagam ini ditegaskan : “bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang Islam agama mereka”. Piagam ini juga memuat mekanisme atau tatacara yang harus dilakukan dalam hubungan antar pemeluk agama. Pasal 37 menjelaskan : “orang-orang muslim dan orang-orang Yahudi perlu bekerjasama dan saling menolong dalam menghadapi pihak musuh”. Pasal 44 menegaskan ; ”Semua warga harus saling bahu membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yatsrib”.  Secara singkat pokok-pokok pikiran dalam Piagam ini meliputi : Persatuan dan kesatuan bangsa, persamaan dan keadilan, kebebasan beragama, pertahanan keamanan negara, pelestarian adat istiadat atau kultur yang baik, supremasi hukum dan politik damai dan prokteksi.

Pluralisme Bukan menyamakan agama

Ada sebagian orang yang menganggap bahwa mengakui pluralisme, toleransi (tasamuh) dan dialog antar agama sama artinya dengan mengakui kebenaran agama lain, sama dengan menyamakan agama atau sama dengan sinkrisisme. Pandangan ini tentu ditolak bukan hanya oleh Islam, tetapi juga oleh pemeluk semua agama. Pengakuan atas pluralisme, toleransi dan dialog antar agama sesungguhnya hanya berarti mengakui fakta dan realitas adanya agama-agama yang dipeluk oleh umat manusia. Pengakuan atas pluralisme dan toleransi antar umat beragama adalah memberikan penghargaan kepada pemeluk agama untuk menjalankan keyakinannya masing-masing.5 Karena Tuhan jugalah yang membuat agama-agama itu eksis, dibiarkan hidup dan melindungi tempat-tempat peribadatan mereka.

 

ولولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجد يذكر فيها اسم الله كثيرا ولينصرن الله من ينصره. إن الله لقوي عزيز

“Andaikata Allah tidak melindungi kebrutalan sebagian manusia atas sebagian yang lain, niscaya telah dihancurkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesunguhnya Allah menolong orang yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat, Maha Perkasa”.(Q.S. al Hajj, 22:40)
 
Saya kira arti pengakuan atas pluralisme dan toleransi paling tegas ditunjukkan oleh sikap dan pernyataan Nabi Muhammad saw : “Wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, kalian juga tidak menyembah apa yang aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”(Q.S. al Kafirun).

Tampak jelas bahwa penghormatan atau bersikap toleran kepada orang yang berbeda agama sama sekali tidaklah berarti mengikuti keyakinan agamanya, melainkan menghormati orangnya, karena ia adalah hamba Allah sepanjang ia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan adil.  Toleransi Islam adalah sikap hormat kepada orang yang bukan muslim dan kepada keadilan, kebaikan serta kebenaran.6

Praktik-praktik kerjasama saling menghormati antar pemeluk agama sangat populer dalam masa-masa awal Islam. Mereka saling belajar dan menimba ilmu pengetahuan. Diceritakan bahwa Mawlana Jalal al Din al Rumi, sufi dan penyair terbesar Persia, memiliki mahasiswa-mahasiswa dari beragam agama, Islam, Yahudi, Kristen bahkan Zoroaster. Al Rumi memperlakukan mereka secara adil, tanpa dipaksa untuk melakukan konversi agama. Ketika meninggal dunia, jenazahnya diantar oleh ribuan orang juga dari berbagai penganut agama. Kita juga mengenal kisah George Bakhtisyu II, seorang dokter beragama Zoroaster, diangkat sebagai dokter pribadi Khalifah Harun al Rasyid sekaligus kepala Rumah Sakit Jundi Sapur. Ketika Bakhtisyu meninggal dunia, Khalifah membiayai pemakaman dan mengantarkan Jenazahnya, bersama ribuan umat Islam yang lain. Lagi-lagi bukan karena merestui agamanya, tetapi karena dia seorang manusia. Alaisat Nafsan?.    

Pernyataan menarik dikemukakan oleh Dr. Aisyah al Manna’i, dekan fakultas Syari’ah dan Studi Islam, Universitas Islam Qatar. Dalam seminar dialog antar agama yang diselenggarakan di Qatar baru-baru ini, dia mengatakan : ”Adalah kekeliruan besar bahwa dialog antar agama adalah pengakuan terhadap orang lain (beragama lain) dan penerimaan terhadap agamanya. Dialog antar agama tidaklah berarti membenarkan atau merestui keyakinan orang lain, tidak pula membenarkan atau merestui cara-cara ritual mereka. Akan tetapi ia adalah menghargai keyakinan atau agama orang lain dan tidak merendahkannya”. Dalam pernyataan sebelumnya ia mengatakan : “Dialog antar agama dalam rangka kemanusiaan adalah suatu keutamaan dalam Islam. Universalisme Islam mengharuskan kita untuk bekerjasama secara damai dengan semua komponen masyarakat manusia. Islam adalah agama dialog, agama saling memahami, agama damai, toleran dan cinta. Islam tidak pernah menjadi agama perang atau agama pedang. Banyak sekali ayat-ayat al Qur’an yang menegaskan hal-hal seperti ini”.(Baca : Surat Kabar Al Alam al Islamy, No. 2021, Senin, 31 Maret 2008, h. 4).      

Pluralisme sebagaimana sudah dikemukakan sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan sikap dan pandangan terhadap penganut agama-agama non muslim, melainkan juga sikap dan pandangan terhadap pemikiran keagamaan di kalangan muslim sendiri. Pluralisme dalam Islam meliputi pandangan di kalangan masyarakat muslim terhadap aspek-aspek teologi, fiqh dan tasawuf. Saya kira cukup kiranya hal ini dibuktikan dengan banyaknya aliran dan mazhab pemikiran dalam aspek-aspek ini, yang tidak perlu diuraikan panjang lebar. Perbedaan kaum muslimin dalam aspek-aspek ini pada masa awal Islam berkembang sangat pesat dan tidak menjadi persoalan. Dalam hal demikian mereka saling menghargai dan menghormati. Dalam mazhab fiqh, para ulama pendiri mazhab berpendapat : “Pikiranku benar, tetapi mengandung kemungkinan keliru, dan pikiran yang lain keliru, tetapi megandung kemungkinan benar”.    

Pesantren Sumber Pembelajaran Pluralisme dan Multikulturalisme

Diakui secara luas bahwa pesantren merupakan institusi  pendidikan sekaligus pusat dakwah Islamiyah paling awal di Indonesia. Proses Islamisasi yang dilakukan oleh para  ulama pesantren adalah melalui konversi, asimilasi dan adopsi antara tradisi Islam dengan tradisi dan kebudayaan lain yang sudah lama ada di Nusantara. Penyerapan tradisi ini tampak dalam banyak hal. Nama pesantren sendiri, misalnya, diambil dari bahasa sansekerta. Pesantren berasal dari kata pesantrian, yakni tempat tinggal para santri yang berarti pelajar agama Hindu. Cliffort Geertz, seorang sosiolog dunia terkemuka,  mengatakan bahwa Pesantren berarti tempat  “santri”, yang secara literal berarti manusia yang baik-baik. Kata santri mungkin  diturunkan dari kata Sansekerta “Shastri” yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis.

Pakaian sarung atau kopyah yang dikenakan para santri juga adalah pakaian masyarakat Hindu. Jika kita pernah berkunjung ke Srilanka atau Bengali atau Bali, kita akan menjumpai masyarakatnya yang mengenakan sarung tersebut. Sampai hari ini pakaian ini seakan-akan telah menjadi simbol kesalehan santri. Dalam bidang seni, kesenian wayang misalnya, menunjukkan bahwa alur cerita berikut tokoh-tokoh utamanya diambil dari kisah epos Mahabarata dan Ramayana dari India. Tetapi dalam perkembangannya alur cerita tersebut oleh para ulama lalu dikonversikan ke dalam istilah-istilah Arab-Islam. Banyak sekali istilah-istilah Indonesia yang berasal dari tradisi masyarakat Hindu-Jawa. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahasa yang digunakan dalam pengajian kitab-kitab kuning di pesantren juga banyak menggunakan bahasa Jawa-Kuno.

Para Ulama penyebar Islam pertama yang dikenal Wali Songo dalam menanamkan doktrin Tauhid Islam terkenal sangat toleran terhadap praktik-praktik keagamaan lokal yang telah mentradisi dalam masyarakat. Toleransi mereka terhadap tradisi lokal terutama mistisime yang berasal dari Hindu-Budha membawa dampak positif di mana Islam menjadi mudah diterima oleh masyarakat. Berkat pendekatan dengan beragam budaya lokal tersebut bumi Indonesia berkembang menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Satu hal yang saya kira menarik adalah kenyataan bagaimana hubungan Islam dan agama-agama lain dapat hidup bersama secara damai, dapat dilihat dari rumah-rumah ibadah yang didirikan secara saling berhadapan atau berdekatan. Ini misalnya dapat dilihat di Arjawinangun. Masjid Jami’ dan Pondok Pesantren yang didirikan oleh Kiyai Abdullah Sathori, ayah K.H. A. Ibnu Ubaidillah, pengasuh pesanten Dar al Tauhid sekarang, dibangun sangat berdekatan dengan dua rumah ibadah non muslim ; Vihara dan Gereja. Bangunan antara Vihara dan Gereja sendiri berada dalam posisi berhadap-hadapan dan hanya dipisah oleh jalan raya. Hubungan antara Kiyai Satori dengan para pemeluk agama non muslim di sana terjalin dengan baik, saling menghargai dan saling membantu. Sampai hari ini hubungan tersebut masih tetap terjalin dengan baik. Tidak ada masalah dalam hubungan mereka. Bahkan sepanjang sejarahnya pergaulan antara umat Islam dan non muslim di Arjawinangun membawa pengaruh yang besar, di mana banyak warga non muslim, terutama keturunan tionghoa menjadi muslim dan melaksanakan haji.

Demikianlah, maka saya kira di tengah karut-marutnya hubungan antar agama dan antar umat Islam sendiri dewasa ini, Pesantren menjadi semakin penting untuk mengambil peran mendamaikan dan menjadi pusat pembelajaran Toleransi antar berbagai orang sesama bangsa. Pesantren sudah seharusnya merekonstruksi dirinya menjadi pusat belajar untuk (meminjam istilah KH. Ahmad Shiddiq) Ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan sesama umat Islam), Ukhuwwah Wathaniyyah (persaudaraan sesama bangsa) dan Ukhuwwah Insaniyyah (persaudaraan sesama umat manusia). Semoga. Amin.  

 

______________________

Catatan Kaki:

1 Muhammad bin ‘Asyur, Op. Cit. Juz XXI, h. 34
2 Ahmad Abu Fath, Al Mustathrafr fi Kulli Fann Mustazhraf, h. 19
3 Abu Hamid Al Ghazali, Faishal al Tafriqah baina al Islam wa al Zandaqah, h. 202
4 Dalam praktik kehidupan Nabi Muhammad terdapat sebuah contoh yang sangat penting. Ketika Nabi bersama para sahabatnya melewati suatu kelompok yang membawa jenazah, beliau berdiri, dan para sahabatnya mengikutinya sambil membisikkan kepada Nabi bahwa yang mereka bawa adalah jenazah seorang Yahudi. Tetapi Nabi segera menjawab : “Bukankah yang mati itu adalah suatu nyawa?”. Dengan jawaban itu, Nabi Saw hendak menegaskan tentang jiwa manusia, siapapun dia, perlu dihormati, bahkan meskipun sudah menjadi mayat. Dengan begitu menjadi jelas bahwa identitas keagamaan seseorang boleh berbeda tetapi penghormatan terhadapnya sebagai sosok manusia ciptaan Tuhan tetap bisa atau perlu dilakukan.
5 Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw ketika bertemu dengan para rahib dan umatnya sedang menjalankan ritual agamanya, mengatakan kepada para sahabatnya : “Utrukuhum wa ma yadinuna” (biarkan mereka menjalankan agamanya)
6 Al Hujwiri, dalam Kasyf al Mahjub, menceritakan bagaimana Nabi saw memberikan penghormatan kepada seseorang meskipun berbeda agama. Dikatakan ketika seorang kepala suku datang menemuinya, secara spontan Nabi Muhammad melepas dan menghamparkan jubahnya untuk tempat duduk sang kepada suku tadi yang bukan seorang muslim. Beliau mengatakan kepada para sahabatnya : “Hormatilah setiap kepala suku, (apapun agamanya)”. 


Cirebon, 04 Mei 2008
Disampaikan dalam semiloka “Pluralisme, Good Governance dan Otonomi Daerah Melalui Pesantren di Jawa Barat”,

diselenggarakan atas kerjasama ICIP dan Pondok Pesantren Al Ishlah, Bobos, Cirebon, Jawa Barat,

04 Mei 2008 di Aula MI Al Ishlah, Bobos. 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya