Fenomena salah tulis ayat Al-Quran oleh ustazah di media (dakwah) TV yang cukup viral, Saya jadikan pintu masuk untuk menjelaskan pentingnya belajar Islam tidak serta merta atau instan dalam kuliah tujuh menit (kultum) di komplek kediaman saya bakda salat Subuh.
Saat ini di medsos (Media sosial-ed) orang-orang beragama (Islam) mudah sekali tersulut oleh ceramah ustaz yang belum jelas sanad keilmuannya. Salah tulis, salah baca ayat Al-Quran berdampak pada makna dan pengamalan agamanya.
Dalam konteks itulah, belajar Al-Quran, baik bacaan atau pemahamannya perlu guru dan sanad keilmuan yang berijazah gurunya, bukan sekadar selembar ijazah formal. Untuk membaca Al-Quran, selain guru yang bersanad juga kitab pegangan yang jelas. Salah satunya untuk membaca Al-Quran kita juga harus tahu kitabnya.
Hidayatush Shibyan misalnya, harus dijadikan kitab dasar untuk ilmu tajwid, kitab tata cara membaca Al-Quran yang benar. Kitab tajwid ini ada standarnya, baik untuk tingkat dasar hingga tingkat tinggi. Saya sendiri belajar kali pertama hidayatush shibyan, saat kelas IV MI Assuniyah, dengan hafalan nadhom-nya (bait-ed). Jika tidak hafal nadhom dari awal sampai akhir, maka dikenai sanksi berdiri di kelas sambil menghafal ulang. Jika sudah hafal, setor lagi, sampai tuntas. Pada saat di Madrasah Diniyah Wustho Krapyak, kitab tajwidnya beda lagi dan lebih tinggi lagi.
Hal yang sama juga untuk memahami kandungannya, kita semua perlu pegangan kitab tafsir Al-Quran dan jelas gurunya. Di lingkungan pesantren, kitab tafsir yang sangat popular bernama Tafsir al-Jalalain. Tafsir ini hampir semua pesantren ala NU pasti mengajarkannya. Bisa jadi tafsir ini salah satu kitab tafsir untuk kelas santri menengah ke bawah. Kitab tafsir juga bertingkat, ada yang perspektif sastra, sains, filsafat, sufi, dst. Ragamnya kitab tafsir itu juga dilatarbelakangi karena setiap ulama mempunyai perspektif keilmuan sendiri. Saya belum menemukan kitab tafsir, yang menyalahkan mufassir lainnya. Jadi, aneh sekali, kalau ada muballigh kok mudah sekali menyalahkan ulama lainnya.
Oleh karena itu, sekali lagi, belajar agama (Islam) tidak bisa hanya mengandalkan Google sebagai guru atau kitabnya. Kita semua harus bertahap dan berjenjang dalam membaca, memahami dan mengamalkannya. Belajar ilmu itu tidak ada habisnya, dari buaian hingga liang lahat. Wajar saja, kalau Nabi Muhammad Saw, bersabda seperti itu, supaya kita tidak merasa paling pinter sendiri, alias tidak sombong.
Jika ada bacaan Al-Quran saat shalat tarawih kok sangat cepat sekali, misalnya, jangan langsung dituduh salah atau negatif lainnya, karena bisa jadi mereka lebih tahu ilmunya, seperti di Krapyak yang membaca itu ada juga yang ahli Qira’at Sab’ah. Dengan demikian, kita yang belum sampai maqamnya, janganlah merasa diri paling benar, atau menyalahkan orang lain.
Tidak cukup sekadar manjadi takmir atau marbot lalu mengajar Al-Quran di masjid tanpa sdan keilmuan yang jelas. Semoga dengan penyampaian singkat di pagi hari itu, perubahan pola belajar agama Islam, minimal di komplek kita masing-masing dapat berubah. Begitupun dg cara belajar Islam yang hanya dari medsos, google semestinya diubah. Sehingga orang belajar Islam itu bukan mudah menyalahkan orang lain yg berbeda guru dan kitabnya, apalagi dalam hal baca dan tulisnya saja sudah salah menurut ilmunya.
Ulama itu pewaris para Nabi, oleh karena itu, dakwahnya ulama pun mengikuti Nabi, seperti mau mendengar, mau mengerjakan sendiri, tidak menyalahkan orang lain, santun, dan tidak saklek. Contohlah teladan walisongo dalam sejarah Islam di Jawa. Lokalitas tidak perlu dimusuhi, tetapi dijadikan alat dan strategi dakwah para wali.