Kamis, 19 Desember 2024

Macam-Macam Corak Pemikiran Imam Madzhab Empat

Baca Juga

Oleh: KH. Husein Muhammad

Memenuhi permintaan beberapa orang kiyai muda (ustaz) tentang corak pemikiran para Imam mazhab empat, aku menulis ini :

Dr. Faruq Abu Zaid dalam “Al Syari’ah al Islamiyah Baina al Muhafizhin wa al Mujaddidin”, mengatakan bahwa mazhab-mazhab fiqh dalam Islam merupakan produk pemikiran yang dipengaruhi oleh ruang dan waktunya masing-masing. Dalam bahasa populer dipengaruhi oleh konteks sosialnya.

Selanjutnya, ia memetakan kecenderungan pikiran masing-masing pendiri mazhab empat dengan predikat yang berbeda-beda.

Imam Abu Hanifah (w. 767 M). Ia dipandang sebagai Imam al Mujaddidin atau Imam ahl al-Ra’y, tokoh aliran rasionalis. Abu Hanifah adalah penduduk asli Kufah, Irak, keturunan Persia, Iran. Sebuah kota metropolitan dan salah satu pusat peradaban dunia. Ia seorang pedagang kain. Diriwayatkan orang bahwa dia pernah berkata : “Pengetahuan yang menjadi milik kita adalah pendapat pikiran kita. Inilah yang terbaik yang dapat kita capai. Mereka yang memiliki pikiran yang berbeda adalah hak mereka sebagaimana kita berhak atas pikiran kita.” (Mazhab ini diperkirakan dianut oleh sekitar 45% muslim di dunia)

Imam Malik bin Anas (w. 795 M) disebut sebagai Imam al Muhafizhin atau tokoh yang kuat memegang tradisi masyarakat Madinah. Ia banyak mempertimbangkan tradisi Madinah, tempat ia menghabiskan usianya. Imam Malik dikenal banyak menggunakan tradisi Madinah sebagai dasar hukum. Bahkan dikatakan ia seringkali lebih mengutamakan praktik tradisi Madinah itu daripada hadits Ahad. Imam Malik menganggap praktik umum masyarakat Madinah sebagai bentuk sunnah yang otentik dalam bentuk perbuatan, bukan sekadar kata-kata. Ia dianggap sebagai kesepakatan penduduk Madinah yang memilki sumber dari sahabat dan dari Nabi. (Mazhab ini dianut oleh sekitar 25 % muslim di dunia).

Imam Al Syafi’i (w. 820 M) disebut Faruq sebagai Imam ahl al Wasath wa al I’tidal atau tokoh moderat. Ia melalui kehidupan pertamanya di Hijaz dan pernah hafal hadits-hadits Muwatha karya Imam Malik, kemudian tinggal di Baghdad, Irak, dan sempat belajar pada Muhammad bin Hasan al Syaibani (749-804 M) salah seorang murid utama Abu Hanifah, dan akhirnya pindah ke Mesir. Ia menetap di sana sampai wafatnya. Ia diikuti oleh kirang lebih 28 % muslim dunia).

Ahmad bin Hanbal (w. 855 M) disebut sebagai Imam mutasyaddidin atau tokoh yang sangat ketat dalam menggunakan pendekatan tekstual. Sebagian orang modern menyebutnya Imam kaum fundamentalis. Ia seorang muhaddits (ahli hadits) besar. Al-Thabari, guru besar ahli tafsir, bahkan menyebut Ahmad bin Hanbal sebagai ahli hadits dan bukan ahli fiqh. Ia sering disebut juga pemimpin kaum “salafi”. (Pengikutnya hanya 5% dan sekarang menjadi mazhab hukum di Arab Saudi).

sekiranya penjelasan di atas menjadi potret keberagaman imam madzhab dalam berfikir, menentukan keputusan atau Ijtihad para ulama dalam menentukan berbagai persoalan. corak tersebut menunjukkan lokus, waktu, kebudayaan dan demografi yang bermacam-macam. Bisa dikatakan setiap keputusan hukum tidak lahir dalam ruang kosong, tetapi selalu mempertimbangkan konteksnya sehingga penerapannya pun berbeda-beda.

Baca : Faruq Abu Zaid, “Al Syari’ah al Islamiyah baina al Muhafizhin wa al Mujaddidin”, Dar Makmun, Kairo).

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya