Senin, 25 November 2024

Islam dan Jurnalisme Kemanusiaan

Baca Juga

Dalam buku Jurnalistik; Teori dan Praktik (Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat: 2005) disebutkan, bahwa Jurnalisme atau Journalism berasal dari kata journal, yang berarti catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari. Bisa juga berarti surat kabar. Kata journal sendiri berasal dari perkataan Latin diurnalis, artinya harian atau setiap hari. Istilah jurnalis digunakan untuk orang yang melakukan kerja-kerja jurnalistik, atau pencarian berita, pelaporan dan pemberitaan di media-media.

Jurnalisme Otoriterian;
Memprogandakan Misi dan Idiologi

Dulu jurnalisme lebih banyak digunakan untuk kepentingan penguasa, seperti raja dan para tuan tanah yang berada di sekeliling mereka. Model ini disebut sebagai jurnalisme otoriterian, karena publik hanya menjadi obyek dari jurnalisme pihak penguasa. Publik tidak berpartisipasi dalam menentukan agenda dan muatan jurnalisme. Tidak ada ruang yang dibuka bagi publik untuk menyuarakan kehendaknya, pemikiran dan agenda kepentingannya. Jurnalisme otoriter hanya akan memberitakan kehidupan raja, keluarga dan para hulubalang dengan segenap kebaikan dan kemurahan mereka kepada rakyat. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan raja dengan segenap apresiasi dan pujian yang biasanya selangit. Berita mengenai publik atau rakyat, hanya berkaitan dengan mereka yang menjadi pengikut setia pada raja dengan segala bentuk hadiah yang dikucurkan, atau mereka yang membangkang dengan segenap siksaan dan hukuman. Sebagai pelajaran bagi rakyat agar menjadi pengikut setia, dan tidak menjadi pembangkang kerajaan.

Karakter jurnalisme seperti ini, sedikit banyak, juga bisa ditemukan dalam negara, organisasi, perkumpulan atau kelompok-kelompok masyarakat yang idiologis. Artinya idiologi tertentu yang menjadi basis gerakan dan penentu setiap kebijakan dalam kelompok atau organisasi tersebut. Agama ketika dijadikan idiologi, jika ditemukan beriringan dengan proses jurnalisme, juga akan membentuk model jurnalisme yang berkarakter otoriter. Publik atau rakyat sebagai pengambil manfaat jurnalisme hanya menjadi obyek, dan dipaksa untuk menerima atau tidak sama sekali. Kebenaran jurnalisme idiologis ditentukan dari satu arah dan dianggap sudah selesai, sebagai paket yang harus diterima. Pujian terhadap pengikut setia, sebagaimana ancaman terhadap yang berbeda apalagi pengkritik, juga akan menjadi hiasan utama jurnalisme idiologis ini. Slogannya berita untuk raja, atau berita untuk negara, berita untuk idiologi, berita untuk seni, atau berita untuk agama. Berita menjadi alat sebuah kekuasaan tertentu. Baik kekuasaan negara, kelompok atau paham tertentu. Ciri khas dari jurnalisme otoriterian ini, menguatnya kekuasaan negara yang mengontrol penuh pers dengan paten-paten, izin terbit dan juga sensor.

Media cetak atau elektronik, yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu; baik kelompok politik, idiologi maupun agama, jika memaksakan gagasan-gagasannya kepada publik, ia berarti mengamalkan model atau teori jurnalisme otoriterian. Minimal secara gagasan. Karena publik tidak diberikan pendidikan untuk memilih alternatif lain, dengan menggunakan akal dan tanggung jawab dirinya. Apalagi jika media tersebut sarat dengan propaganda, membenarkan diri sendiri, tidak ada oto-kritik, menyalahkan orang lain, mungkin sebagian lebih dari itu melakukan agitasi, fitnah, bahkan pembid’ahan dan pengkafiran. Ini adalah karakter-karakter dari teori atau model jurnalisme otoriterian.

Muhammad Budyatna, Guru Besar Ilmu Komunikasi UI, menyatakan bahwa jurnalisme yang berkembang di Indonesia adalah jenis yang otoriterian. Ini terjadi sejak zaman penjajahan sampai Indonesia merdeka hingga Soeharto lengser keprabon pada tanggal 21 Mei 1998. Karena kekuasaan, kapanpun berkehendak dapat melakukan pembredelan terhadap koran atau surat kabar yang dianggap tidak bertanggung jawab dengan nilai-nilai yang diadopsi negara. Pada masa penjajahan ada kebijakan pembredelan terhadap terbitan yang dianggap mengancam penguasa, tetapi mereka tidak mengharuskan Surat Izian Terbit. Mulai tahun 1950-an, pemerintah Indonesia baru mengeluarkan kebijakan keharusan adanya Surat Izin Terbit. Disamping kebijakan pembredelan yang diwariskan dari Belanda.

Kecenderungan jurnalisme seperti ini menghadapi kritik secara masif oleh aliran kebebasan, paska revolusi Perancis. Di negara-negara berkembang, kritik terhadap jurnalisme otoriterian menguat seiring dengan perkembangan kebebasan politik dan ekonomi. Di Indonesia, ini terjadi mulai awal reformasi ketika Orde Soeharto tumbang. Pada masa ini, tidak ada lagi keharusan izin terbit dan juga tidak ada lagi kebijakan pembredelan. Kondisi ini dimaksudkan sebagai pembebasan jurnalisme dari kungkungan penguasa atau pemerintah.

Jurnalisme Libertarian;
Membebaskan Kepentingan Politik

Jurnalisme otoriterian dan idiologis dianggap tidak mampu menyuarakan kebenaran yang sesungguhnya, karena hanya dijadikan alat kekuasaan. Jurnalisme harus dibebaskan dari atribut apapun; baik negara, idiologi maupun agama. Jurnalisme harus hidup dan berproses dari dan untuk dirinya. Jurnalisme untuk jurnalisme. Atau berita untuk berita. Ia harus dikawal bersama oleh publik, agar tidak menjadi alat dari atau untuk kekuasaan apapun yang ada di masyarakat. Ia menjadi dirinya sendiri, sebagai media bagi siapapun untuk menyuarakan kebenarannya di hadapan publik. Istilahnya jurnalisme libertarian, atau jurnalisme bebas. Jurnalisme harus dibebaskan dari kungkungan kekuasaan atau idiologi.

Asumsi dasarnya, bahwa setiap individu manusia harus dipandang sebagai makhluk yang rasional dan bertanggung jawab, yang mampu membedakan mana yang benar dan mana salah. Dengan cara pandang ini, media atau pers harus diberi kesempatan untuk memberitakan apapun untuk khalayak. Karena rakyat sebagai pengguna pers, memiliki kapasitas untuk memilih dan memilah berita secara bertanggung jawab. Setiap pembatasn berita akan menjauhkan pengguna dari kesempatan untuk mengakses segala berita yang diperlukan. Pers atau media dengan asumsi ini, harus ditempatkan sebagai mitra manusia dalam mencari kebenaran dan informasi yang dituju. Pers yang untuk publik, tidak bisa ditempatkan sebagai alat propaganda pemerintah atau idiologi dan paham tertentu. Tuntutan pers untuk menjadi alat kontrol terhadap pemerintah, adalah lahir dari cara pandang jurnalisme yang bebas. Atau dalam istilah lain disebut sebagai Jurnalisme Libertarian.

Dalam cara pandang demikian, John Milton mengenalkan gagasan “self-righting process” (proses menemukan sendiri kebenaran). Bahwa pers dan publik harus diberi kesempatan untuk mengakses seluruh gagasan dan menemukan sendiri kebenaran dari gagasan-gagasan yang ditawarkan tersebut. Untuk itu harus dipastikan adanya kebijakan “free market of ideas” atau kebebasan pasar ide dan gagasan. Tidak boleh ada larangan dari penguasa atau pihak manapun terhadap gagasan yang ingin dimunculkan ke publik oleh pers atau media. Publik akan mengontrol sendiri pers atau media dengan “self-righting process” yang pada praktiknya, jika mengancam dan mencederai kepentingan publik, bisa diajukan oleh yang bersangkutan ke pengadilan secara perdata, bukan sebagai subversi terhadap negara. Jurnalisme libertarian menginginkan semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk muncul ke publik, dan setiap orang harus diberi kesempatan yang sama untuk bisa mengakses semua informasi, terutama yang bersifat publik.

Pers bebas atau jurnalisme libertarian, adalah yang memberikan landasan kebebasan mutlak terhadap pers. Sehingga pers banyak memberikan bermacam-macan informasi, hiburan, berita, bahkan yang aneh-aneh. Pers pada kondisi ini bisa menjadi idola publik dan terjual secara masif dan dalam jumlah oplah yang sangat banyak, karena bisa menyuguhkan segala yang menjadi mimpi dan keinginan publik. Pers bebas; tanpa izin, tanpa sensor dan kendali. Pada kondisi seperti ini, suatu media bisa membesar dan menjadi raksasa, dengan menguasai seluruh pasar pers, dengan slogan demi kepentingan publik.

Kritik terhadap Kebebasan Pers

Sesungguhnya tidak ada kondisi yang benar-benar bebas, termasuk untuk dunia pers. Ketika kebebasan dicanangkan, akan terjadi perebutan gagasan, ide, maupun berita. Dan biasanya dimenangkan oleh mereka yang memiliki kekuatan; terutama kekuatan modal dan ekonomi. Pers bebas, yang awalnya diwujudkan untuk memungkinkan bisa memberikan kebajikan-kebajikan kepada publik tanpa harus takut dengan kontrol dari pemerintah, pada praktiknya sangat sedikit memberikan manfaat publik. Bahkan, pers bebas menjadi sangat jarang untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah, kecuali jika kontrol tersebut akan menaikkan rating dan memperbesar tiras saja.

Kebebasan pers, lebih banyak digunakan untuk mengumpulkan modal daripada untuk memberikan manfaat dan kebajikan kepada publik. Perusahaan-perusahaan pers tidak akan banyak memberikan aturan-aturan, kecuali aturan yang untuk menciptakan keuntungan materi bagi pemiliknya sendiri. Pers yang seperti ini cenderung tidak memiliki kepedulian terhadap soal-soal bagi kepentingan publik. Media lebih banyak menyuguhkan kisah dan berita yang sensasional, agitatif dan tidak mendidik. Berita-berita kriminal, pornografi, hiburan yang berlebihan, kisah-kisah mistis dan tulisan-tulisan yang memberikan kepuasan selera rendahan masyarakat.

Kebebasan pers juga bisa digunakan, dengan dibayar sejumlah uang, untuk kepentingan politik atau penguasa tertentu. Pers yang tersandera kepentingan politik ini, biasanya mempublikasi berita-berita kesuksesan suatu partai atau seorang penguasa, tanpa memberikan kepada publik informasi mengenai kekurangan apalagi kesalahan penguasa tersebut. Padahal informasi mengenai pemerintah; yang positif maupun yang negatif, adalah merupakan hak publik. Koran-koran daerah, pada masa reformasi ini, banyak sekali yang terjebak pada situasi seperti ini, dengan alasan untuk menghidupi dan melestarikan perusahaan surat kabar tersebut.

Kecenderungan seperti ini yang terjadi pada jurnalimse libertarian, memaksa beberapa pihak untuk menuntut ‘pertanggung jawaban sosial’ dari pers. Sehingga, pers tidak bisa dibiarkan bebas, dengan memberikan kendali hanya kepada para pemilik dan operator pers saja dalam menentukan fakta-fakta yang akan disajikan kepada publik. Pada tahun 1949 dibentuklah Komisi untuk mengontrol kebebasan pers, yang dikepalai Robert Hutchins. Komisi ini kemudian mengajukan ‘pertanggung-jawaban pers secara sosial’ dengan kewajiban pers untuk mengikatkan diri pada prasyarat-prasyarat beriktu: (1) Menyajikan berita peristiwa yang benar, dipercaya, lengkap dan cerdas atau memberi manka; (2) Media sebagai forum pertukaran komentar dan kritik antar berbagai gagasan; (3) Memproyeksikan gambaran yang mewakili kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat; (4) Media sebagai instrumen pendidikan, yang mendorong publik sampai pada tujuan-tujuan dan cita-cita yang dicanangkan masyarakat; (5) Media harus menyedikan akses penuh terhadap informasi yang mungkin tersembunyi, padahal menjadi kepentingan dan hak publik.

Dimana Islam dan Kemanusiaan bagi Pers?

Islam adalah nilai dan tatanan yang diwahyukan Allah Swt untuk kemanusiaan. Islam lebih merupakan jiwa bagi pers atau jurnalisme, bukan salah satu mazhab atau teori bagi jurnalisme. Karena itu tidak perlu ada istilah Jurnalisme Islam, sebagai mazhab. Kalaupun ada, mungkin lebih tepat diartikan sebagai Jurnalisme tentang Islam atau tentang orang-orang Islam. Atau Jurnalisme Islam diartikan sebagai jurnalisme yang berintegrasi dengan nilai keislaman. Yaitu ketauhidan dan kemanusiaan. Ketauhidan yang memuliakan kemanusiaan, dan kemanusiaan yang tetap mengagungkan ketuhanan.

Kita bisa mengambil inspirasi dari empat sifat Rasul; shiddiq (jujur dan dipercaya), amanah (pertanggung-jawaban), tabligh (menyampaikan semua tanpa ada yang disembunyikan) dan fathonah (cerdas dan mencerdaskan), ketika kita mencoba membicarakan nilai keislaman dalam jurnalisme. Pembicaraan ini sebagai salah satu upaya kita menuntut pers dan media untuk memiliki pertanggung-jawaban sosial, dalam melakukan kerja-kerja jurnalisme. Tidak hanya menguntungkan diri sendiri dengan pengumpulan modal, atau menguntungkan pihak politik tertentu, penguasa, kelompok atau orang tertentu.

Pers harus memiliki komitmen untuk memegang amanah ‘kemanusiaan’ sebagai amanah Islam. Mungkin masih perlu waktu panjang untuk membicarakan nilai-nilai kemanusiaan yang harus diemban pers. Tetapi setidaknya, pers harus mendasarkan pada keadilan, tidak mencederai kemanusiaan dan tidak bermaksud secara sengaja menghancurkan kelompok tertentu tanpa memberikan hak jawab sama sekali. Pers harus memiliki komitmen yang kuat dan dikontrol oleh publik, untuk memberikan pendidikan publik; pendidikan orang dewasa yang tidak memaksa dan tidak menggurui. Salah satu prinsip yang harus dipegang juga; tidak menyalahkan korban apalagi mencederai dan melecehkan. Karena dalam kehidupan yang kapitalistik ini, korban seringkali tidak lagi memiliki pilihan-pilihan bebas untuk kemuliaan dirinya. Ketika korban mengalami persoalan dalam relasinya dengan mereka yang lebih kuat, pers sebisa mungkin memberikan komitmen untuk pembelaan dan pemulihan. Ini yang harus menjadi kesadaran bagi pers ketika melakukan kerja-kerja jurnalisme. Mulai dari pengumpulan data sampai pemberitaan kepada publik. Inilah yang mungkin bisa kita sebut sebagai Jurnalisme Kemanusiaan Islam. Setidaknya adalah sebagai gambaran awal.

Cirebon, Ramadhan 1428 H.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya