Pemulangan paksa adalah konsekuensi logis dari status ilegal TKI. Namun, fakta begitu besarnya angka TKI ilegal (dan jumlahnya tidak pernah menurun) tanpa perlindungan dokumen legal yang memadai di luar negeri menunjukkan selama ini kita cenderung menggampangkan masalah dan tidak serius melakukan pembenahan.
Pengakuan akan sumbangan besar TKI bagi perekonomian tak mampu mengubah nasib sebagian besar TKI—terutama tenaga kerja wanita (TKW) yang tidak terdidik dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga—yang umumnya belum beranjak dari gambaran suram potret perbudakan modern.
Penghargaan terhadap TKI sebagai “pahlawan devisa” lebih banyak basa-basi karena tak diwujudkan dalam bentuk pelayanan dan perlindungan. Birokrasi yang dihadapi TKI tetap saja berbelit- belit. Janji reformasi dalam perekrutan, penempatan, dan perlindungan TKI yang disampaikan pemerintah lebih banyak hanya di tataran program dan belum tampak di lapangan.
Perekrutan dan penempatan calon TKI, seperti diakui sendiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, masih didominasi oleh calo, tidak jarang dengan cara menyalahi prosedur, seperti manipulasi atau memalsu dokumen. Advokasi pemerintah terhadap TKI—terutama mereka yang menghadapi masalah di luar negeri—bisa dikatakan juga sangat minim. Ini antara lain karena belum adanya perwakilan tetap di semua negara tujuan TKI dan tidak adanya anggaran khusus untuk pelayanan dan perlindungan TKI.
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebagai lembaga yang berada langsung di bawah Presiden, dengan wewenang dan tanggung jawab begitu besar, belum menunjukkan efektivitas dan giginya.
Salah satu contoh adalah lemahnya respons, antisipasi, dan advokasi dalam kasus razia terhadap sekitar 40.000 TKI ilegal di Arab Saudi baru-baru ini. Juga tidak jelas peran penempatan staf Depnakertrans di setiap KBRI di negara tujuan TKI.
Apa pun inisiatif yang pernah ditempuh pemerintah, baik pada masa lalu maupun masa kini, belum cukup mampu mengubah keadaan. Faktanya, TKI (terutama TKW) terus menjadi obyek eksploitasi, pelecehan, penyiksaan, kesewenang-wenangan, dan perlakuan tak manusiawi lainnya, mulai dari sebelum keberangkatan, waktu penempatan, hingga pada saat kepulangan.
Pelakunya bukan hanya majikan, tetapi juga calo, agen, pihak sponsor, perusahaan jasa pengerah tenaga kerja, bahkan oknum aparat dan pemerintah, baik di negara tujuan maupun di Tanah Air.
Industri pengiriman TKI merupakan bisnis yang sangat gemuk, melibatkan omzet triliunan rupiah. Namun, yang makmur dan berkelimpahan hanya calo, agen, perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia, dan oknum aparat. Negara juga diuntungkan dalam bentuk pemasukan devisa dan menurunnya beban pengangguran dan pengentasan kemiskinan.
Tetapi, semua ini tak otomatis meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya. Yang terjadi, menurut penelitian Bank Dunia, migrasi TKI memunculkan problem ekonomi dan sosial baru bagi para TKI, keluarganya, dan komunitas mereka.
Indikasi lain, tak berjalannya reformasi perekrutan, penempatan, dan perlindungan TKI, adalah terus merajalelanya mafia pengiriman TKI secara ilegal. TKI ilegal terus mengalir ke berbagai negara. Sebagian di antaranya bermodus perdagangan manusia (human trafficking) yang melibatkan oknum aparat.
Jumlah TKI ilegal yang bekerja di luar negeri sekarang ini jauh melampaui TKI legal. Argumen yang sering dijadikan alasan pembenar adalah begitu luasnya wilayah Indonesia dan begitu banyaknya pintu keluar-masuk bagi TKI ilegal sehingga tak semuanya bisa dipantau oleh aparat.
Faktor utama penyebab maraknya penempatan TKI secara ilegal sebenarnya adalah mahal dan ribetnya birokrasi pengurusan penempatan TKI di luar negeri. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno menyebut sudah berhasil menyederhanakan birokrasi dari yang semula 40 pos menjadi 11 pos. Tetapi, jika dicermati, dari skema alur penempatan TKI, ada 41 birokrasi yang harus dilewati oleh seorang calon TKI.
Jika diasumsikan untuk masing-masing birokrasi ada tiga meja saja, berarti ada 123 meja yang harus dilalui oleh calon TKI. Belum lagi waktu dan biaya yang harus dikeluarkan.
Dari berbagai penelitian, rata-rata seorang calon TKI baru bisa diberangkatkan setelah enam bulan. Bahkan, ada yang harus menunggu hingga sembilan bulan atau setahun. Selama menunggu, ia dikurung dan tidak boleh keluar.
Ini baru bicara urusan keberangkatan. Sekembalinya ke Tanah Air, labirin panjang berliku penuh pintu jebakan juga sudah menunggu, mulai sejak mereka menginjakkan kaki kembali di bandara. Dari pengamatan Kompas dua tahun lalu, setidaknya ada belasan jenis pungutan yang harus dibayar seorang TKI yang pulang. Kondisi ini, menurut Migrant Care, belum berubah hingga sekarang ini.
Jadi, tidak berlebihan, pembenahan lembaga dan sistem pelayanan birokrasi adalah prasyarat mutlak untuk memperbaiki kondisi per-TKI-an kita, termasuk memberangus permainan manipulasi dan pemalsuan dokumen TKI yang marak di Imigrasi dan bandara.
Singkatnya, penderitaan TKI sebenarnya sudah dimulai jauh sejak mereka meninggalkan kampung halaman. Persoalan TKI di luar negeri, seperti dikatakan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dalam suatu kesempatan, sebenarnya hanya limbah dari persoalan dan penanganan yang kurang baik di dalam negeri.
Perlindungan
Dalam hal perlindungan TKI, sebagai negara surplus tenaga kerja dan salah satu pengekspor pekerja migran terbesar di dunia, menurut ekonom Graeme Hugo dari University of Adelaide dan Bank Dunia, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan Filipina dan negara eksportir pekerja migran lain dalam mengembangkan kebijakan dan program yang efektif bagi perlindungan TKI.
Indonesia tak cukup memiliki kerangka perjanjian bilateral atau nota kesepahaman (MOU) dengan negara tujuan TKI menyangkut perlindungan hukum TKI. Padahal, keberadaan kesepakatan seperti ini sangat efektif dalam melindungi hak TKI.
Singkatnya, Indonesia belum mampu menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi (mengejar devisa TKI, mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan di dalam negeri) dan perlindungan para TKI di luar negeri.
Depnaker hanya bisa menargetkan peningkatan ekspor TKI dan devisa yang dikirim TKI setiap tahun. Tetapi, soal perlindungan TKI, negara ini dinilai tak banyak membuat kemajuan.
Dari 16 negara penerima TKI pada tahun 2006, Indonesia baru menandatangani MOU dengan lima negara, yakni Malaysia, Korea, Kuwait, Taiwan, dan Jordania. Sementara dengan negara lain, termasuk Arab Saudi yang menjadi negara tujuan terbesar TKI, belum ada.
Sebagai perbandingan, Filipina pada tahun 2004 saja sudah memiliki perjanjian dengan sedikitnya 12 negara tujuan pekerja migrannya, termasuk dengan negara-negara Timur Tengah dan negara maju, seperti Swiss, Inggris, dan Norwegia.
Beberapa MOU yang sudah dibuat pun dinilai belum mampu melindungi hak-hak TKI, contohnya MOU RI-Malaysia. Meskipun sudah mengatur standar perekrutan yang lebih ketat dan penetapan gaji minimum bagi TKI, MOU ini sama sekali tidak menyentuh standar minimum perlindungan TKI, khususnya bagi TKW yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Perlindungan TKW justru dikecualikan dari kesepakatan (MOU). Migrant Care, Human Rights Watch, dan Solidaritas Perempuan melihat MOU ini justru mendorong “semangat perbudakan” dan komodifikasi TKI karena TKI diperlakukan tak lebih dari barang yang diperdagangkan (tradable goods) tanpa adanya jaminan akan hak-hak mereka.
MOU ini juga tetap memberikan hak kepada majikan dan agen untuk menahan paspor TKI sehingga tetap menempatkan TKW dalam posisi rentan untuk diperlakukan tak manusiawi. MOU RI-Malaysia juga melanggar Konvensi PBB 1990 mengenai Hak Buruh Migran dan Hak Perempuan karena melarang TKW menikah. Singkatnya, MOU ini tidak menggambarkan kegigihan dan keseriusan pemerintah memperjuangkan perlindungan TKI.
Dalam perspektif program yang lebih jangka panjang tetapi tak kalah penting, pemerintah juga belum menunjukkan keseriusan. Misalnya, dalam memperbaiki profil TKI yang dikirim ke luar negeri.
Dalam program Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah 2004-2009, pemerintah menargetkan peningkatan ekspor TKI dari 700.000 orang sekarang ini menjadi 1 juta orang per tahun hingga 2009.
Separuh lebih TKI yang dikirim diharapkan tenaga terdidik dan profesional, seperti di bidang perminyakan, tenaga medis, dan teknologi informasi. Porsi TKI informal dan tak terampil (unskilled) nantinya diharapkan hanya 30 persen. Demikian pula target negara tujuan bakal diperluas dari 11 negara menjadi 25 negara. Adapun perolehan devisa ditargetkan meningkat dari sekitar Rp 35 triliun menjadi Rp 186 triliun tahun 2009.
Peluang mengisi pasar-pasar tersebut memang sangat besar, mengingat cukup tingginya pengangguran terdidik di negara ini.
Namun, bagaimana membalikkan gambaran profil TKI dalam waktu sesingkat itu belum jelas. Sekarang ini, hampir 80 persen TKI yang dikirim adalah TKW yang tidak terdidik dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Hampir 100 persen TKI yang bekerja di Singapura adalah TKW. Untuk Arab Saudi 93 persen dan Hongkong 94 persen.
TKI pria lebih mendominasi pengiriman ke negara-negara maju anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), seperti Jepang, Korsel, selain juga Taiwan.
Dari keterampilan, profil TKI sedikit banyak mewakili profil struktur ketenagakerjaan di Indonesia. Dari 106,28 juta angkatan kerja berdasarkan Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2006, sebanyak 53,13 persen (56,47 juta) hanya tamatan SD ke bawah.
Sebanyak 20,61 persen (21,97 juta) lulusan SLTP, 20,64 persen (21,93 juta) lulusan SLTA. Sedangkan yang pernah mengenyam bangku perguruan tinggi hanya 5,62 persen (5,97 juta), di mana 2,44 juta orang di antaranya diploma dan sisanya S1.
Dari angkatan kerja itu, sebanyak 11,10 juta berstatus penganggur terbuka dan 95,18 juta orang bekerja. Namun, dari yang bekerja ini, 29,92 juta (31,44 persen) setengah menganggur.
Dengan kapasitas perekonomian dalam negeri yang belum begitu menggembirakan dalam penciptaan lapangan kerja, ekspor TKI masih akan berperan penting dalam upaya negara ini menekan angka pengangguran dan kemiskinan. Dan dilihat dari profil angkatan kerja, porsi tenaga kurang terdidik masih akan mewarnai profil TKI beberapa tahun ke depan.
Jika dicermati, pemerintah sebenarnya sudah tahu betul akar masalah dari benang kusut per-TKI-an selama ini. Berbagai program pembenahan juga sudah digagas, termasuk membangun sistem informasi online, membentuk BNP2TKI sebagai bentuk pelayanan satu atap sekaligus perlindungan terhadap TKI.
Selain itu, mengembangkan sistem kredit lunak bagi TKI atau bahkan membentuk Bank TKI. Lalu, memperbaiki pelayanan di bandara. Menyederhanakan mekanisme dan prosedur perekrutan, penempatan dan perlindungan TKI, termasuk dalam pembuatan paspor khusus TKI yang kini tidak lagi harus di Jakarta.
Kemudian, merancang smart card (kartu pintar) TKI, mengembangkan biometric online untuk mempermudah identifikasi paspor, dan membuka loket khusus TKI di setiap kantor imigrasi. Namun, selalu saja, persoalannya terletak pada keseriusan untuk mengimplementasikannya. Di masa lalu, upaya perbaikan lebih banyak diwarnai semangat proyekisme. Jika ini lagi yang terjadi, pemerintah memang tak serius.
Sumber: http://www.kompas.com/