Berdasarkan teks al Qur-an tersebut, maka seluruh manusia merupakan ciptaan Tuhan dan semuanya meski memiliki latarbelakang kultural, etnis, warna kulit, kebangsaan, dan jenis kelaim, menempati posisi yang sama di hadapan-Nya. Hal ini dinyatakan secara eksplisit dalam al Qur-an : “Wahai manusia, Kami ciptakan kamu sekalian terdiri dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling unggul di antara kamu adalah yang paling bertaqwa (kepada Allah)”.(Q.S. Al Hujurat, 13). Ini sungguh merupakan pernyataan paling tegas mengenal universalitas Islam.
Totalitas Islam pada sisi lain muncul dalam konsep “Trilogi Islam”. Trilogi ini merupakan ajaran yang mewadahi dimensi-dimensi manusia. Pertama, dimensi keimanan. Dimensi ini berpusat pada keyakinan personal manusia terhadap “Kemahaesaan Tuhan”, pada “al Nubuwwat” (kenabian dan kitab-kitab suci) dan “al Ghaibiyyat” (metafisika). Dimensi ini biasanya juga dikenal dengan istilah “aqidah”. Kedua adalah dimensi aktualisasi keyakinan tersebut yang bersifat eksoterik (hal-hal yang dapat dilihat, yang lahiriyah). Dimensi ini berisi aturan-aturan bertingkahlaku baik tingkah laku personal dengan Tuhannya, tingkah laku interpersonal yakni antar suami-isteri dan bertingkahlaku antar personal. Dimensi ini biasanya disebut “syari’ah”. Ketiga aturan ini kemudian dirumuskan oleh para ulama Islam sebagai : aturan ibadah, aturan hukum keluarga (al ahwal al syakhshiyyah), dan aturan mu’amalat atau pergaulan antar manusia dalam ruang publik dengan segala persoalannya. Dimensi ketiga adalah aturan-aturan yang mengarahkan gerak hati (dimensi esoterik) yang diharapkan akan teraktualisasi dalam sikap-sikap moral luhur atau al Akhlaq al Karimah. Ini biasanya disebut juga dimensi “tasawuf/akhlaq”.
Seluruh dimensi ajaran Islam tersebut diambil dari sumber-sumber otoritatif Islam yakni al Qur-an dan Hadits Nabi. Kedua sumber utama Islam ini mengandung prinsip-prinsip, dasar-dasar normatif, hikmah-hikmah dan petunjuk-petunjuk yang diperlukan bagi hidup dan kehidupan manusia. Al Qur-an menyatakan : “Kami tidak melupakan sesuatupun di dalam al Kitab”. Q.S.Al An’am,6:38). Dari sini para ulama kemudian mengeksplorasi dan mengembangkan kandungannya untuk menjawab kebutuhan manusia dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda dan berubah-ubah. Ekplorasi dan pengembangan tersebut dilakukan melalui alat analisis yang bernama Ijtihad, Istinbat atau Ilhaq al Masail bi Nazha-iriha atau sebutan lain yang identik dengan aktifitas intelektual. Alat-alat analisis inilah yang kemudian melahirkan khazanah intelektual Islam yang maha kaya dalam beragam disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah yang kemudian menciptakan peradaban Islam yang gemilang. Aktifitas intelektual kaum muslim paling produktif dalam sejarah Islam lahir pada tiga abad pertama Islam.
Menelusuri aktifitas intelektual kaum muslimin pada tiga abad pertama Islam kita menemukan bahwa para sarjana Islam klasik ternyata tidak melakukan dikotomisasi antara ilmu pengetahuan Agama dan pengetahuan umum (sekuler). Mereka meyakini bahwa beragam jenis ilmu pengetahuan adalah ilmu Allah yang mahakaya. Bahkan pergulatan intelektual mereka dilakukan dengan mengadopsi secara selektif produk-produk ilmu pengetahuan Helenistik dan Persia terutama dalam bidang filsafat dan fisika.
Aspek Hukum Islam
Pada tataran pengetahuan keagamaan, bidang paling hidup dan produktif adalah bidang hukum. Ini memang wajar karena tingkahlaku manusia senantiasa bergerak dan ruang dan waktu yang semakin meluas dan cepat disamping ini paling mudah dipahami banyak orang. Maka sampai abad ke IV H, peradaban Islam telah menghasilan ratusan para ahli hukum Islam terkemuka (mujtahidin) selain empat Imam mujtahid; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Mereka bekerja keras untuk mengeksploitasi dan mengembangkan hukum Islam bagi keperluan masyarakat yang senantiasa berkembang. Masing-masing dengan metodanya dan kecenderungannya sendiri-sendiri. Produk-produk hukum mereka yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan “fiqh”, senantiasa memiliki relevansi dengan konteks sosio-kulturalnya masing-masing. Jika kita harus memetakan pola fiqh ke empat mazhab paling terkenal di atas, maka dapat kita kemukakan : Mazhab Hanafi adalah mazhab ahl al Ra’y (rasionalis), mazhab Maliki; mazhab “muhafizhin” (menjaga tradisi), Syafi’i mazhab al Tawassuth, dan Hanbali ; mazhab “mutasyaddidin”. Pembagian pola atau katagorisasi ini tentu saja tidak bersifat absolut, melainkan sebagai kecenderungan utama atau umum. Satu hal yang sangat menarik adalah bahwa mereka dan para pengikutnya yang awal senantiasa saling menghargai pendapat lainnya. Satu pernyataan yang sering dikemukakan mereka adalah “Ra’yuna Shawab Yahtamil al Khatha’ wa Ra’yu Ghairina Khatha Yahtamil al Shawab” (pendapat kami benar tetapi boleh jadi keliru, dan pendapat selain kami keliru tetapi mungkin saja benar).
Sikap menghargai pandangan orang lain yang berbeda ditunjukkan oleh Imam Malik bin Anas melalui penolakannya terhadap Khalifah dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far al Manshur yang menghendaki kitab “Al Muwattha’” sebagai rujukan hukum bagi seluruh masyarakat muslim. Kepada Khalifah beliau mengatakan : “anda tahu bahwa di berbagai wilayah negeri ini telah berkembang berbagai tradisi hukum sesuai dengan kemaslahatan setempat. Biarkan masyarakat memilih sendiri panutannya. Maka saya kira tidak ada alasan untuk menyeragamkannya. Sebab tidak ada seorangpun yang berhak mengklaim kebenaran atas nama Tuhan sekalipun”.(Inna likulli qawmin Salafan wa Aimmah).(Baca : Subhi Mahmasani, Falsafah al Tasyri’ fi al Islam, 89).
Upaya-upaya ke arah pengembangan hukum Islam sesudah abad IV H, memang kemudian mengalami proses stagnasi atau tidak berjalan secara progresif. Kecenderungan umum keberagaman umat Islam adalah mengikuti apa yang sudah ada, yang sudah jadi, produk para ulama sebelumnya. Pemikiran mereka direproduksi dalam beragam pola ; syarh, hasyiyah, matan dan nazhm.
Kebutuhan Menghidupkan Teks
Dewasa ini sangat disadari bahwa produk-produk Islam tidak lagi cukup memadai untuk menjawab berbagai problem baru produk modernitas. Karena itu upaya-upaya menghidupkan teks-teks fiqh, sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dilakukan oleh umat Islam. Beberapa hal yang bisa dijadikan dasar kontekstualisasi adalah :
Mengkaji substansi, kausalita atau “illat” hukum yang terdapat dalam teks. Cara ini sejalan dengan kaedah fiqh : “al Hukm Yaduru ma’a ‘Illatihi Wujudan wa ‘Adaman” (Hukum berkutat pada ada atau tidak adanya illat atau kausalitas).
-
Mengkaji sosio-kultural dan Politik yang melatarbelakangi teks-teks fiqh klasik.1
-
Menjadikan realitas sosial baru sebagai bahan analisis bagi kemungkinan dilakukannya perubahan hukum. Ini sejalan dengan kaedah “Taghayyur al Ahkam bi Taghayyur al Ahwal wa al Azminah wa al Amkinah”(hukum bisa berubah karena perubahan keadaan, zaman dan tempat).
-
Perubahan hukum tersebut harus selalu mengacu pada empat hal : Keadilan, Kemaslahatan, Ke Kerahmatan dan Kebijaksanaan.
1 Baca : Abu Ishaq al Syathibi, Al Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah, Maktabah Tijariyah Kubra, Kairo, III, hlm. 347-351 Ibnu al Qayyimj al Jauziyah menegaskan keempat dasar-dasar pengembangan fiqh ini dalam bukunya “I’lam al Muwaqqi’in ‘an Rabb al ‘Alamin”, III/5. Katanya : “Syari’at Islam dibangun di atas dasar kebijaksanaan dan kemaslahatan hamba-hamba Allah. Semuanya adil, semuanya maslahat, semuanya rahmat dan semuanya hikmah. Maka setiap keputusan hukum yang telah menyimpang dari keadilan, kemaslahatan kerahmatan dan kebijaksanaan bukanlah syari’at Islam”. Dalam kesempatan lain beliau mengatakan : “Allah telah mengutus para utusannya dan menurunkan kitab-kitab sucinya untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia. Keadilan adalah pilar tegaknya langit dan bumi. Jika telah tampak bukti-bukti adanya keadilan, dengan cara apapun, maka di sanalah syari’at Allah dan agama-Nya”.(Ibnu al Qayyim, Al Thuruq al Hukmiyyah fi al Siyasah al Syari’iyyah, hlm. 39).
Makalah dipresentasikan dalam “Inservice Training, Pemberdayaan Pesantren dan Madrasah”, 24 Mei 2006 di Wisma Madrasah Aliyah Negeri (MAN), PP. Cipasung, Tasikmalaya, diselenggarakan atas Kerjasama PPIM UIN Jakarta-Puskadiabuma UIN Yogyakarta-DANIDA-Pesantren Cipasung Tasikmalaya.