Salah satu upaya untuk mempertahankan eksistensi itu dengan memelihara komunikasi, disamping simbol-simbol, warna, yel-yel, dan sebagainya. Komunikasi menjadi penting, apalagi bagi komunitas yang menghendaki keterbukaan, yang berkembang secara dinamis baik dari segi kuantitas, kualitas maupun wilayah untuk menjaga ciri dan kesamaan yang menjadi pondasi terbentuknya komunitas disamping komuniasi antar individu secara personal.
Ada banyak pilihan untuk membuat media komunitas: booklet , panflet, bulletin, majalah, koran, radio dan bahkan televise-tergantung kemampuan yang ada baik sumberdaya manusia, maupun budgetnya. Media komunitas bagi komunitas itu sendiri menjadi penting, karena melalui medialah bersemainya gagasan, maintenance kesamaan, melestarikan komitmen dan motivasi.
Rupert Murdoch taipan Media Amerika, Berluconi don media dari Italia, Surya Paloh dari Media Grup Indonesia, Hari Tanusudibyo adalah orang yang sadar betul akan pentingnya media bagi keberlangsungan bisnis mereka, pencitraan mereka dan mentranformasikan gagasan mereka. Demikian pula halnya komunitas, peran media menjadi sangat penting. Media komunitas bagi sebuah komunitas ibarat perekat, karena pada hakekatnya tiada komunitas tanpa komunikasi, dan tiada komunikasi tanpa komunitas, dua frase yang tak terpisahkan.
Lalu mengapa radio komunitas menjadi pilihan yang efektif bagi komunitas sebagai media?
Diantara sekian banyak media komunitas, tampaknya radio komunitas menjadi alternative yang banyak dipilih. Di Indonesia saat ini telah tercatat oleh JRKI (Jaringan Radio Komunitas Indonesia) ada lebih dari 500 radio komunitas yang tersebar dari berbagai penjuru tanah air. Setidaknya menurut Paul De Maesener , seorang pakar radio dari UNESCO dalam ” A Radio News Manual” mengatakan bahwa pada sebagian besar negara-negara di Asia Pasifik radio masih akan bertahan lama sebagai sarana komunikasi massa yang terpenting. Bagi banyak orang radio adalah satu-satunya sumber berita, dibanding koran dan televisi. Radio masih lebih banyak keunggulannya, misalnya radio mempunyai potensi menjadi medium yang cepat akrab, menjangkau, siaran langsung dari lokasi kejadian mudah, biaya produksi siaran yang murah, dan dapat menembus berbagai tingkatan social masyarakat dimana buta hurufpun bukan kendala bagi khalayak radio. Disamping tentunya ada beberapa kelemahan misalnya radio sangat tergantung pada frequensi bunyi tidak lengkap seperti televise ada bunyi dan visual, sangat dipengaruhi kondisi atmosfer dimana pada saat yang jauh akan lebih banyak terganggu, tidak bisa mengirim berita sekaligus banyak dan cepat seperti halnya media cetak karena keterbatasan waktu siaran.
Sehingga, dengan berbagai kendala diatas, pilihan menggunakan radio sebagai media komunitas merupakan pilihan yang masih efesien dan efektif. Karena radio komunitas adalah jurnalisme praktis, tidak perlu banyak teori dan referensinya, juga tak banyak karena sering dianggap lebih mudah, walau tidak sepenuhnya demikian jika dikaji lebih lanjut karena ada sisi advokasi yang menjadi muatan utama. Karena fungsinya yang menjadi kontrol sosial dimasa lalu perkembanganya tak terlalu mulus, dikarenakan belum ada aturan yang jelas, radio komunitas sering dianggap radio gelap. Seperti yang diungkapkan oleh Ana Nadya Abrar dalam Semiloka Advokasi Radio Komunitas di Jogyakarta 1-2 Juli 2005,” Pada masa orde baru, berita radio menjadi sangat tidak popular, tersisih dari pikiran dan hati khalayak, sehingga radio kehilangan peluang sebagai sinyal pengatur tingkah laku umum. Peluang itu harus direbut kembali.”
Penyesuaian dengan segmen komunitas, pilihan acara yang aktual, yang menjadi target siaran dan bumbu kearifan lokal yang menyentuh menjadi resep yang harus menjadi ciri radio komunitas, sehingga bisa mengalihkan pendengar radio yang telah dijejali dengan aneka program televise di era multichanel TV saat ini.
***
Dari hasil penelitian Fahmina Institute tentang Need Assesement (NA) Radio Komunitas di berbagai komunitas di Wilayah III Cirebon yang meliputi Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka dan Kapupaten Indramayu yang dilakukan beberapa waktu lalu, temuanya adalah hampir semua komunitas yang sebagian besar jaringan-jaringan yang baik secara lembaga maupun personalnya telah memiliki kontak dengan Fahmina Institute sebelumnya menyambut dengan antusias gagasan tentang radio komunitas, lewat isu-isu yang muncul di tiap komunitas tersebut.
Radio sebagai alat komunikasi tampaknya masih bisa dioptimalkan karena penggunaan pesawat radio di berbagai kalangan masih tinggi. Untuk mendapatkan sebuah pesawat radio, khususnya radio transistor, tidak perlu mengeluarkan uang banyak, bisa didapat dengan harga mulai Rp. 5000 atau diatasnya tergantung merek yang menjadi pilihan dan sekarang banyak handphone yang dilengkapi dengan pesawat radio. Artinya radio sebagai sebuah alat komunikasi adalah pesawat yang merakyat.
Dalam proses pendirian maupun siarannya, tarik ulur kepentingan kemungkinan besar tetap tak terhindarkan, namun bisa disiasati dengan kemasan acara yang memperhatikan kebiasaan, prilaku, kultur komunitasnya dan tak meninggalkan kaidah jurnalisme kemanusiaan yang damai. Disamping itu, soal lain dalam meneruskan gagasan radio komunitas itu diantaranya perlu proses pencarian aktor-aktor yang rela bergiat di radio komunitas atau kalau perlu diciptakan, sehingga melalui aktor-aktor ini ekplorasi problema komunitas bisa muncul dipermukaan dan jadi bahan pembicaran di tingkat komunitas itu sendiri.
Begitu kompleks dan beragamnya problema komunitas dari hasil penelitian tersebut seakan menjadi gambaran: begitu peliknya persoalan di masyarakat, ada pergulatan politik, sosial, ekonomi dan budaya yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat dan komunitas-komunitasnya, yang seolah gagap akan perubahan dan dinamika berkehidupan.
Disinilah pentingnya radio komunitas, menangkap apa yang dibutuhkan komunitas dan masyarakat dan kemudian menyuarakannya menjadi bahasa dan bahasan utama untuk menemukan solusi. Dengan segala kelebihannya, radio komunitas bisa menjadi jembatan bagi penguatan masyakat sipil yang demokratis, apalagi ditukangi juga oleh para ulama pesantren, yang secara tradisonal menjadi panutan, yang peduli pada persoalan sosial dan masyarakatnya atau yang kita sebut kader ulama humanis yang akan berkerjasama membangun sinergitas dengan penggerak masyarakat atau CO ( Commonity Organizer ) dalam menata kompleksnya problema komunitas dan masyarakat, sehingga penangananya dengan perspektif yang kompleks dan beragam juga. Paling tidak ini jurus lain dari advokasi komunitas dan masyarakat, dengan radio komunitas sebagai senjata utamanya.[]