“Saat ini, fragmentasi atau tren yang paling mewarnai dalam politik di Indonesia terjadi di berbagai sektor. Termasuk di dunia keagamaannya.”
Hal tersebut diungkap Edward Aspinall, salah satu salah satu Ilmuan Politik Indonesia dari Australia National University (ANU) Canberra. Dalam diskusi terbatas yang digelar kampus Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon pada Jum’at (8/3/2013) di Lantai 4 Gedung Sykeh Dzatul Kahfi ISIF, dia mempresentasikan disertasinya yang berjudul “Indonesian Politics and Society in the Post Soeharto”.
Sejak berakhirnya rezim Orde Baru (pimpinan Soeharto) spektrum politik Indonesia memang diwarnai oleh pergulatan elit politik dalam banyak kelompok. Hal ini terutama terefleksi dari bermunculannya puluhan partai politik yang masing-masing terpilah akibat perbedaan visi dan misi atau bahkan spektrum ideologi.
Dalam diskusi yang dimoderatori Marzuki Wahid, Deputi Rektor Bidang Riset dan Akademik ISIF, Ed—sapaan akrab Edward Aspinall—mengungkapkan bahwa di berbagai daerah di Indonesia terjadi semakin majemuknya kecenderungan politik. Sementara tema fragmentasi atau tren yang paling mewarnai dalam politik di Indonesia menjadi topik utama dalam tulisannya.
“Fragmentasi ini terjadi di berbagai sektor. Dengan berlangsungnya politik daerah. Menteri dengan Presiden. Fragmentasi berjalan di mana pun dalam politik formal,” paparnya.
Pemilu 1 Tahun 1999, lanjutnya, ada 5 Parpol besar dengan sekitar 90%. Begitu pun tahun 2004, dan 2009. Begitu pun yang akan terjadi pada pemilihan umum (Pemilu) tahun 2014 akan terfragmentasi lagi di Parpol. Peta politik yang dicerminkan seperti munculnya Partai Nasional Demokrat (Nasdem), begitu pun di masyarakat sipil, kemudian kaum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bisa bersatu terutama dalam tindakan. Dunia LSM juga terfragmentasi, di mana terjadi konflik atau perbedaan pendapat, lalu dibentuklah LSM atau non Government Organisation (NGO) baru karena dia memiliki hubungan yang baik.
“NGO yang memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) seperti Kontras, PBHI, ICW dan semuanya dari YLBHI. Belum lagi federasi buruh di Indonesia yang jumlahnya puluhan. Lain halnya seperti di Australia yang hanya terdapat 1 (satu) Serikat Buruh.”
Faktor Penyebab Fragmentasi
Ed menjelaskan, ada beberapa penyebab fragmentasi; Pertama, proses demokratisasi, ruang kebebasan untuk mengekspresikan; Kedua, akar-akar dalam perubahan sosial ekonomi, misalnya masuknya neo-liberalisme di Indoensia, serta masuknya komersialisasi, individualisasi. Sementara fagmentasi yang berjalan, komersialisasi atau neoliberalisme, demokratisasi, dan politik patronase.
Fragmentasi di Dunia Keagamaan
Fragmentasi yang juga tidak luput menjadi pertanyaan penting dalam risetnya yaitu fragmentasi yang terjadi di dunia keagamaan di Indonesia. Kelompok Islam dan atau yang memakai symbol-simbol Islam merupakan salah satu sekian kelompok yang andil dalam “pertarungan” politik tadi. Bahkan kubu Islam sendiri terfragmentasi pula dalam beberapa kelompok (varian) yang kadangkala bersaing bahkan bertentangan. Munculnya sejumlah partai Islam adalah bukti konkrit dari fragmentasi kekuatan Islam tadi. Menurutnya, kalau dikaitkan antara fragmentasi agama dan politik, Parpol Islam tidak ada bedanya. Dia menyebutkan, misalnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Di dunia Ormas Islam di Indonesia itu misalnya NU dan Muhammadiyyah. Dua organisasi itu sangat mewarnai. Begitu pun dengan gerakan Islam dan sejumlah pertanyaan penting lainnya yang coba digali oleh Ed, seperti PKS dengan Kementerian Pertaniannya, kelompok agama tertentu yang menguasai Kemenag, fragmentasi atau semakin majemuknya kehidupan agama, serta tren politik Indonesia ke depan. Belum lagi terkikisnya tradisi abangan yang semakin hilang, lembaga-lembaga formal yang semakin melakukan penyeragaman, dan sejumlah pikiran-pikiran lain yang menurutnya masih sangat mentah.
Presentasi Ed tentang situasi politik dan masyarakat Indonesia di era post Soeharto, ini mampu mengundang antusiasme para peserta diskusi yang terdiri dari Dosen ISIF, Fahmina, Peruguruan Tinggi di Cirebon, Majlis Taklim HDH, Masyarakat Lintas Agama, Syi’ah, Ahmadiyyah, Komunitas Sunda Wiwitan, Wartawan, dan sejumlah komunitas lainnya. Hal tersebut tentu saja tidak terleps dari konteks social politik lokal maupun nasional yang terjadi di Indonesia saat ini. Hal tersebut terlihat dari kritisisme peserta yang satu demi satu memaparkan isi pikirannya, mulai dari pertanyaan dan gagasan-gagasan yang dimunculkan.
Seperti Nadisa Asnawi, salah satu Dosen ISIF Cirebon, yang mempertanyakan tentang apakah posisi agama hanya sebagai figuran politik? Atau politik yang mengakomodasi agama-agama? Menurutnya, agama masuk ke dunia politik memiliki kecenderungan secular. Dan sejumlah pertanyaan tentang fenomena politik local yang terjadi di Jawa Barat saat ini.
Sementara Ed mengingatkan agar kita harus hati-hati dengan kesimpulan besar, jangan mengeneraliasasi. Seperti kemenangan PKS tidak bisa digeneralisasi. PKS adalah satu-satunya partai kader yang sangat militan. Tapi apakah semuanya itu berarti, tidak dimasukkan konflik, proyek. Termasuk apakah PKS mampu mengubah watak politik Negara, atau politik Indonesia akan mengubah watak PKS. Kemenangan Aher misalnya, menurutnya adalah bukan watak politik PKS yang asali, tapi sudah menjadi politisi sebagaimana umumnya politisi, apakah PKS bisa menjadi kekuatan besar yang mengubah politik Indonesia atau tidak. Globalisasi bisa sebagai ancaman.
“Termasuk beberapa minggu lalu, HTI mengutuk LSM yang memperoleh dana dari asing. Anything is possible in Pilkada. Sangat terfragmentasi dan pragmatisme. Apakah ideologi masih ada di Parpol? Apakah fragmentasi itu scenario besar apakah kesengajaan (tapi kesenangan oleh publik, bukan oleh kekuasaan). Kekuatirannya, fragmentasi di sini memunculkan otoriter, strong man, yang sangat kuat. Seperti di Amerika Latin, ketika fragmentasi mendalam, yang dikhawatirkan adalah terjadi munculnya pemimpin otoriter,” tandasnya. (Alimah)
sumber gambar: http://palembangtribunnews.com