Oleh: Abdul Rosyidi
Muharrom, artinya bulan yang dimuliakan. Orang Arab mengenalnya sebagai bulan yang kudus. Bulan banyak peristiwa suci terjadi.
Pada bulan Muharrom Adam bertemu Hawa. Bulan Nabi Nuh menyelamatkan umat manusia dari banjir besar. Juga bulan saat Ibrahim selamat dari jilatan api. Semua peristiwa tersebut terjadi pada Muharrom. Orang Arab percaya semua kejadian penting itu terjadi pada tanggal 10 bulan Muharrom, 10 Asyuro.
Saat Islam masuk ke Jawa, keyakinan ini masuk ke relung hati masyarakat. Dan bercampur dengan tafsir-tafsir lokal. Bulan ini disebutnya Suro. Bulan paling mistis. Bisa jadi sangat berkaromah, bisa jadi mencekam.
Begitu mencekamnya, moment setahun sekali ini dibuat filmnya, Malam Satu Suro. Sebuah film horor yang melegenda. Anasir-anasir para dukun tentang bulan ini pun sedemikian mistis. Dan sebagian kita masih mempercayainya.
Pada bulan ini, orang-orang tidak boleh menggelar hajat. Tidak boleh mengawinkan anak, mengkhitankan anak, dan sebagainya. Tapi larangan itu setahu saya bukan karena anasir mistis tadi. Tapi lebih karena pada bulan ini kita umat Islam sedang bersedih. Tak patut kiranya pada bulan duka cita lalu kita berpesta.
Pada bulan ini, cucu Nabi, Husein bin Ali, beserta keluarga dekat Nabi, dibantai di padang Karbala. Pada bulan haram yang dilarang untuk menumpahkan darah. Rombongan berjumlah 128 orang, ada banyak anak dan ibu-ibu, itu dihabisi 10.000 pasukan Yazid bin Muawiyah.
Demi kepentingan politik, Yazid membantai keluarga Nabi dengan kejam. Cerita-cerita memilukan Karbala menyayat hati kaum muslimin. Bagaimana tega, kiranya siapapun orangnya, membunuh cucu Nabi, yang sudah menjauhkan diri dari arena politik yang menjijikan.
Yazid bertindak nekat karena pikirannya kacau. Sebagai raja, dia tak disenangi kaum muslim. Umat lebih mengenal dan mencintai Husein. Cucu Nabi yang mulia.
Tapi kekuasaan membutakan matanya. Rombongan Husein dikejar hingga Madinah. Mendengar Husein sudah pergi hendak ke Baghdad, pasukan bersenjata Yazid langsung mengejar.
Dan di sebuah tanah lapang di dekat Baghdad, Irak, mereka menemukan ronbongan Husein. Dan tidak ada belas kasihan sedikitpun. Kepala cucu Nabi itu dipenggal dan diarak seperti dalam sebuah permainan.
Peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan kaum muslim. Pada bulan ini, sepatutnya kita berbelasungkawa. Dan peringatan ini bukan tentang aliran. Bukan tentang Syiah.
Tapi tentang kepedihan yang amat dalam karena pembantaian justru dilakukan oleh saudara umat Islam sendiri. Oleh orang yang dulu diikat tali keluarga oleh Nabi. Yang dulu begitu diayomi Nabi. Dimaafkan pada Fathu Makkah. Dicintai dengan sepenuh hati.
Tapi kemudian tega membunuh cucu Nabi sendiri. Bagaimana seandainya Nabi masih hidup dan menyaksikan peristiwa bejat tersebut?
Cerita memilukan ini terus dituturkan masyarakat dan hidup bersama keluarga Nabi yang selamat. Mereka tidak pernah mau lagi terlibat dalam politik dan perebutan kekuasaan.
Pada saat dinasti –yang sejarahnya kita pelajari dari Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)– bergonta-ganti, dari Umayah ke Abasiyah, dan seterusnya. Pada saat semua pengetahuan digunakan untuk melanggengkan kekuasaan dinasti. Pada saat itu juga perlawanan dalam senyap terus dilakukan keluarga Nabi dan keturunan-keturunannya.
Islam menyebar ke seberang lautan dan daerah terjauh berkat diaspora keturunan Nabi. Agama ini masuk lewat mereka yang jauh dari politik dan lebih dekat pada tasawuf. Tak ada keinginan menguasai dan menaklukkan dari para penyebar Islam. Termasuk yang akhirnya sampai di Nusantara.
Bukan Islamnya Yazid, bukan dinasti Umayah, bukan dinasti Abasiyah, bukan dari dinasti yang lainnya. Konon katanya dari para keturunan Nabi yang setiap hari terus belari menghindari radar penguasa, para mistikus dan saudagar.
Pada bagian dunia Islam yang lain, di dalam istana, para penguasanya sibuk menyusun strategi agar daerah yang dikuasai semakin luas. Agar kekuasaannya tetap berdiri. Agar keturunannya yang kelak menggantikannya sebagai penguasa. Dan segala hal yang mengagungkan urusan duniawi.
Meski untuk itu, rakyat harus ditenangkan. Bahkan dengan menjual dan memperalat agama sekalipun. Saat agama dan kekuasaan bersatu saat itulah umat Islam harusnya khawatir. Ada hasrat untuk melegitimasi setiap kebijakan sebagai suara Tuhan. Belajarlah dari Karbala.
Tapi saya bersyukur, Islam yang masuk ke Indonesia bukan dari kekuasaan. Ia lahir dari para penyintas yang sebagian silsilahnya kita baca setiap tahlilan. Kita bacakan doa buat mereka setiap kali kita mulai berdoa. Agar selalu diberikan ampunan. Dan berharap agar kita juga tidak lupa pelajaran paling berharga dari peristiwa yang menyayat. Cukup Karbala saja.[]