Oleh: Karimah Iffia Rahman
Kabar tentang video viral Banser Nahdlatul Ulama (NU) yang dipersekusi di Pondok Pinang adalah salah satu perilaku intoleran oleh penganut sesama agama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persekusi adalah perilaku buruk atau penganiayaan secara sistematis oleh individu atau kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik.
Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika yang erat kaitannya dengan toleransi. Toleransi berasal dari bahasa latin “tolerare” yang artinya sabar dan menahan diri. Berdasarkan KBBI, toleransi adalah sifat atau sikap yang masih dapat diterima dalam nilai tertentu.
Menurut Wakil Rais PWNU DKI Jakarta, KH. Drs. Oo Suyitno Abdurrahman Mahmud, MA. dalam penuturannya saat menghadiri Peringatan Maulid Nabi di Masjid al-Mahallie Jakarta (15/12/19), toleransi adalah sikap saling menghormati antar sesama pemeluk agama dan antar pemeluk yang berbeda agama juga dengan pemerintah, serta memperbolehkan pemeluk agama lain untuk menjalankan ibadah dalam agamanya tanpa mengganggunya.
Pengertian ini beliau sampaikan berdasarkan al-Qur’an Surah al-Kafirun ayat 6 yang artinya “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani yang mana disebutkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda “Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi (non muslim yang tidak memerangi umat muslim), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah”.
Memiliki perspektif senada dengan konsep toleransi di atas, maka Minhatul Maula, salah seorang putri dari KH. Abdul Muhaimin dan Nyai Ummi As’adah tiada henti menerapkan sikap toleran dan pluralisme dalam kesehariannya. Bahkan ia aktif di komunitas maupun lembaga kemanusiaan seperti Komunitas Anak Jalanan, Pengajar Mengaji di Pesantren Waria, Komunitas Saint Egidio meski hidupnya kental dengan tradisi pondok pesantren.
Bagi Mila, sapaan gadis lulusan sarjana Ilmu Komunikasi ini, hidup dengan tradisi pondok pesantren tidak membuatnya tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang intoleran. Justru bagi Mila, pondok pesantren adalah salah satu ladang yang tinggi rasa toleransinya karena pondok pesantren mendidik santri-santrinya untuk mengaji dan mengkaji al-Qur’an dan al-Hadits secara kontekstual.
Meski menjadi anak Kyai, Mila juga aktif bersosial dan mengikuti kegiatan antar umat beragama sejak Sekolah Dasar (SD). Saat itu Ia sering mengikuti acara Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) yang mana dari forum tersebut Ia didapuk menjadi perwakilan doa dari umat muslim di depan menteri agama Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwana X, dan 300 Biksuni pada acara 14th Sakyadhita Internasional Conference for Buddhist Women.
Penting bagi umat antar beragama dan generasi muda untuk melek literasi dalam mencegah sikap intoleran. Dalam hal ini beberapa langkah diantaranya adalah dengan menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan dalam bersikap toleran, mengkaji al-Qur’an dan al-Hadits secara konstekstual dan memfilter informasi yang tersebar di masyarakat.
Menurut Mila, sebetulnya Indonesia adalah negara yang cukup toleran dengan melihat contoh-contoh kecil bertoleransi dalam kehidupan sehari-hari yang tak diliput media. Media masa kini cenderung menampilkan berita tentang kasus intoleran yang bisa saja belum tentu benar adanya sehingga mudah memantik masyarakat yang tidak melakukan tabayyun.
Padahal dengan melek literasi, maka akan banyak wawasan dan informasi yang didapat tentang toleransi yang Nabi ajarkan. Misal ketika Rasulullah mengizinkan Masjid Nabawi untuk menjadi tempat ibadah umat Nasrani. Kemudian ada Perjanjian Madinah yang dilakukan Rasulullah dengan umat antar beragama.
Selanjutnya akhlak Rasulullah terhadap seorang Yahudi buta yang sering memakinya namun Rasul tetap memberinya makan, dan contoh yang terakhir ketika Rasulullah membiarkan Suku Badui arab yang mengencingi masjid, padahal sahabat sangat marah melihat perilaku tersebut, namun Rasul memilih sabar.
Tentu masih banyak contoh-contoh kecil yang perlu diteladani dari sikap Rasulullah tersebut, dengan melek literasilah generasi penerus bisa menemukan fakta bahwa Islam sangat toleran dari sikap-sikap Rasul yang tentu menjadi suri tauladan umatnya.
Semua hal tentang toleransi dan pluralisme ini Ia dapatkan dari bapak dan ibunya yang senantiasa menerapkan sikap toleran dalam bermasyarakat. Bahkan bapaknya, pendiri Pondok Pesantren Putri Nurul Ummahat pernah memberikan wejangan kepadanya ” Kucing saja yang tidak mempunyai agama bisa kamu sayangi, kamu beri makan, kamu tangisi jika ia mati. Masa dengan sesama manusia yang Allah saja sangat memanusiakan manusia, kamu malah menghinanya?”
Ucapan di ataslah yang hingga kini menjadi motivasi dirinya untuk bersikap toleran. Bahkan untuk Perayaan Natal tahun ini, Ia telah memiliki agenda bersama Komunitas Saint Egidio untuk makan siang bersama Sahabat Jalanan Adik Sekolah Damai dan Para Lansia di Gereja Katolik Baciro Yogyakarta tepat pada tanggal 25 Desember 2019.
Terakhir, Ali bin Abi Thalib berkata, “Dia yang bukan saudaramu dalam Iman adalah saudaramu dalam Kemanusiaan. Semoga damai senantiasa menyelimuti manusia yang memanusiakan sesamanya.[]