Oleh: Nurdiani Latifah
Gerakan perempuan dalam aksi terorisme di berbagai dunia menjadi langkah yang mencederai keterlibatan perempuan dalam mengusung perdamaian. Cerita tentang perempuan tentang inisiasi perdamaian bukan hanya isapan jempol belaka.
Selama ini, gerakan damai yang terjadi di berbagai negara banyak di usung oleh perempuan. Misalkan, Perempuan di Israel dan Palestina membangun koalisi antar etnik, agama dan linstas negara untuk mendorong upaya non-kekerasan dan akses pada layanan dasar.
Cerita lainnya di Filipina, para perempuan lebih dipercaya dan memiliki kapasitas dibandingkan laki-laki untuk menjaga aliansi antar etnik ketika eskalasi konflik Mindanao yang terjadi. Bahkan, gerakan perempuan di Liberia dianggap gerakan yang paling berani dalam mengusung perdamaian. Pada 2003, Leymah Gbowee turun ke jalan berminggu-minggu demo di depan pasar ikan. Serta mereka melakukan mogok seks untuk menekan perhentian perang.
Namun, keterlibatan perempuan dalam perjanjian damai masih belum banyak. Selama ini, hanya dua orang perempuan yang terlibat dalam perjanjian damai, yaitu Miriam Coronel Ferrer dari Philipina yang pernah menandatangani dokumen final perjanjian damai. Serta Tzipi Livni dari Israel yang menjadi ketua negosiator.
Dalam kontek Indonesia, keterlibatan dalam dokumen perdamaian pun masih belum terlibat. Konflik GAM dengan Indonesia, tidak melibatkan perempuan dalam upaya perdamaian yang dibangun. Shadia Marhaban dianggap bukan sebagai keterwakilan perempuan dalam negosiasi antara GAM dan Indonesia, namun peran Shadia sangat penting dalam memberikan analisis politik “untung dan rugi” posisi GAM dalam perjanjian Helsinki.
Masih dalam konteks konflik Aceh, gerakan perempuan jauh lebih massif untuk menginisasi perdamaian. Misalkan Flower Aceh yang menolak opsi referendum dan meminta publik mendukung perdamaian. Gerakan perempuan dalam konteks menginisiasi perdamaian tidak selesai hanya di wilayah Aceh. Wilayah lainnya seperti Ambon, para perempuan penjual ikan menyebarkan penghentian konflik dari mulut ke mulut. Sebab, para perempuan ini merasa tidak aman bekerja di pasar dan anak-anak tidak bisa sekolah.
Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme semakin sering digunakan. Kelompok Jihadis di Barat sendiri mencari perempuan berkulit putih, rambut berwarna terang dan mata yang tidak sipit atau tidak memiliki ciri-ciri stereotip terhadap perempuan muslim.
Di Palestina sendiri, perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri dicari para perempuan dengan wajah yang cantik. Hal ini dilakukan agar lebih mudah melewati checkpoint dan memaksimalkan liputan berita di media setelah peledakan.
Selain itu, perempuan biasanya dapat mengecoh masyarakat atau aparat hukum. Selama ini, aparat penegak hukum biasanya masih menggunakan logika sosiologis dalam melaksanakan proses penegakan hukum. Di mana mustahil perempuan bisa melakukan serangan terorisme. Dalam konteks Indonesia, sedikitnya ada 11 orang anak-anak dan 3 orang perempuan yang terlibat dalam aksi bom bunuh di Sidoarjo dan Surabaya pada 2018.
Perlu diakui, keterlibatan seseorang dalam aksi terorisme ini dibagi dalam beberapa tahapan. Tahapan tersebut bergradasi dengan kekerasan yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya proses aksi ekstremisme serta semakin sedikitnya pilihan-pilihan solusi yang tersedia.
Ketika merasa dipinggirkan dan diperlakukan tidak adil, seseorang akan menaikan tahapan pertama ke arah terorisme dengan upaya mencari keadilan yang lebih besar dan memperbaiki kondisi mereka. Jika mereka merasa tidak adil dan mengalami rasa amarah serta frustasi, mereka akan naik ke tahap selanjutnya.
Tahap selanjutnya adalah mereka akan melihat terorisme sebagai langkah yang dianggap sah dan paling memungkinkan. Tahapan terakhir adalah mereka bisa bergabung dalam kelompok teroris dan bisa melakukan aksi terorisme sesuai yang diperintahkan oleh ketua kelompok jaringan tersebut. []