Oleh: Siti Maisaroh
Pada hakikatnya kebutuhan seksual adalah elemen penting dalam kehidupan yang harus dipenuhi (ketika seseorang sudah menikah). Imam Ghazali menceritakan dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin bahwa Imam Al-Junaid berkata : sesungguhnya saya membutuhkan hubungan seksual sebagaimana saya membutuhkan makanan.
Ungkapan Imam Al-Junaid memberikan gambaran kepada kita tentang pentingnya pemenuhan kebutuhan seksual, hingga diibaratkan dengan makanan yang harus dikonsumsi setiap hari. Meski demikian, setiap orang mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda, maka ukuran pemenuhan kebutuhan dapat dikembalikan pada masing-masing individu.
Kebutuhan seksual adalah kebutuhan yang dirasakan oleh laki-laki dan perempuan secara umum, yang merupakan sarana untuk melanjutkan keturunan, dan sarana untuk memenuhi kebutuhan fitrah makhluk hidup (tidak hanya manusia).
Kebutuhan pemenuhan seksual dapat dipenuhi secara syari, yaitu pernikahan, sekiranya pernikahan adalah sebuah komitmen atau kesepakatan bagi laki-laki dan perempuan untuk membangun kehidupan bersama dalam memperoleh kebahagiaan. Maka tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan menikah dengan tujuan hanya untuk mendapatkan kesenangan sendiri, tanpa memberikan kesenangan bagi pasangannya, karena sesungguhnya pondasi dari pernikahan adalah untuk mendapat manfaat dari kedua belahpihak.
Suami adalah pakaian bagi istri, sebagaimana istri adalah pakaian bagi suami. Suami tidak boleh mengabaikan kebutuhan istri (lihat hadits tentang cerita Abu Darda yang sempat mengabaikan hak istrinya dalam pemenuhan kebutuhan seksual) , begitupun sebaliknya (lihat hadits yang menceritakan tentang istri Shafwan bi Mu’atthal yang sempat mengabaikan hak suaminya).
Dalam konteks pemenuhan hak berhubungan seksual, seringkali kita dipengaruhi oleh konteks budaya yang menempatkan bahwa laki-laki adalah aktif, agresif, sedangkan perempuan adalah pasif. Budaya juga seringkali memberikan pandangan kepada kita bahwa menikah adalah ‘aqdut tamlik’ (akad kepemilikan), seakan laki-laki memiliki dan berkuasa atas perempuan. Hal ini menyebabkan laki-laki bersikap masa bodoh, apakah istrinya menikmati hubungan seksual atau tidak, senang atau tidak senang itu bukan urusan suami, dia hanya memikirkan bagaimana hasratnya dapat terpenuhi.
Tujuan pernikahan sebagaimana dijelaskan salam Surat Ar-Rum ayat:21 adalah mendapatkan ketenangan. Lafadz “litaskunu ilaiha” diungkapkan dengan menggunakan fi’il mudhori. Hal ini menunjukkan bahwa sakinah adalah sebuah proses bagaimana suami dan istri bisa berkomitmen untuk tetap tenang dalam menyikapi sesuatu, sebesar apapun godaan terhadap bahtera rumah tangganya. Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa pondasi sakinah adalah mawaddah (kesenangan yang kita dapatkan dari pasangan) dan Rahmah (kesenangan yang kita berikan kepada pasangan). Mawaddah wa rahmah seharusnya mempunyai relasi yang setara, tidak boleh mawaddahnya terlalu tinggi, atau sebaliknya.
Ada beberapa pertanyaan yang mungkin bisa dikatakan menggelitik dari peserta. Bagaiamana solusi terhadap perempuan yang susah mencapai klimaks?
Selama ini perempuan dituntut untuk melayani, menjadi objek, tidak pernah memikirkan bagaimana seharusnya dia menjadi subjek, sehingga perempuan susah untuk orgasme atau merasakan kenikmatan. Dalam sebuah buku yang berjudul ‘the old project’ dituliskan tentang hasil sebuah penelitian yang dilakukan kepada perempuan baru menikah, sudah lama menikah, bahkan punya anak dan cucu.
Mereka ditanya ‘apakah pernah merasakan orgasme?’ Sebagian besar mereka tidak merasakannya, bahkan mereka mengatakan bahwa hubungan seksual yang dilakukan semata mata atas dasar tuntutan, pengabdian, bukan atas dasar kenikmatan. Padahal kenikmatan itu menjadi hak bagi manusia. Maka sudah seharusnya suami dan istri sama-sama merasakan kenikmatan dalam berhubungan seksual.
Bagaimana dengan hubungan seksual yang dilakukan secara paksa oleh salah satu pihak (suami ataupun istri)?
Hubungan seksual merupakan shadaqah, namun kita harus ingat terhadap rambu-rambunya, lakukan dengan cara yang baik (ma’ruf) . Jika pasangan mendapatkan kesakitan dalam berhubungan seksual, maka seharusnya diungkapkan dengan cara yang baik. Misalnya, ketika perempuan sedang lelah, butuh istirahat, butuh ketenangan, atau sedang sakit dan suami menginginkan hubungan seksual, maka sampaikanlah dengan cara yang baik.
Di dalam al-quran disebutkan bahwa ‘nisaukum hartsun lakum’, istrimu adalah ladang bagimu. Dengan menggunakan mafhum mubadalah dapat disimpulkan bahwa yang menjadi ladang tidak hanya istri, tapi suami juga ladang bagi istri. Maka bagaimana suami dan istri membangun relasi kesalingan untuk mengelola ladang dengan baik.
Apakah menikah itu Sunnah yang jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat apa-apa?
Hukum menikah tidak selamanya sunnah, ada yang wajib, mubah, makruh, bahkan haram, tergantung keadaan dan motif dari orang yang akan menikah.
Kenikmatan masing-masing orang tidak bisa disamakan. Ada yang menemukan kenikmatan dengan menikah, ada juga dengan hal positif lainnya. Ibadah tidak hanya menikah, masih banyak yang lainnya. Maka, jangan suka bilang ‘kapan nyusul? Kapan nikah?
Akhir kata. Buat para pembaca, mari berdoa semoga kelak kita dikaruniai keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, yang selalu menjunjung tinggi prinsip mubadalah, kesalingan.