Banyak hal mengenai mitos kesehatan reproduksi (Kespro) yang tidak terbukti kebenarannya. Mitos adalah suatu ungkapan yang belum tentu benar, tetapi sudah dianggap atau diyakini benar oleh masyarakat. Mitos muncul dari generasi secara turun-temurun, baik itu secara langsung ataupun lewat catatan sejarah, cerita, buku, dan lain-lain. Masyarakat menerima pandangan atau opisi yang temurun itu sebagai sesuatu yang paten dan sudah tidak bisa dikompromi apalagi diubah.
Mitos Kespro juga masih tersebar di kalangan masyarakat pesantren. Hal tersebut terlihat dari pertanyaan dan pernyataan sejumlah santri puteri maupun putera, beserta sejumlah ustadz dan ustadzahnya yang mengikuti pelatihan “Islam dan Kesehatan Reproduksi (Kespro)”, digelar Fahmina-institute Cirebon pada Jumat-Minggu (1-3/10), di Wisma Sunyaragi Cirebon.
Dalam pelatihan yang menghadirkan Dra Nunung Sulastri—biasa disapa mba Nunung—dari aktivis Aisyiah Semarang, Marzuki Wahid—biasa disapa kang Zekky, serta KH Husein Muhammad dari Fahmina-institute Cirebon, hanya beberapa peserta saja yang sudah mulai memiliki pemahaman Kespro yang dinilai cukup baik. Seperti diungkapkan mba Nunung usai memberikan pelatihan, secara umum para peserta memiliki pemahaman sekaligus rasa ingin tahu lebih banyak tentang Kespro.
“Sayangnya mereka masih banyak yang merasa canggung atau malu. Seperti ketika mengungkapkan istilah-istilah bagian alat reproduksinya. Mereka belum leluasa menyebutkan istilah seperti “vagina” atau “penis”, tapi menyebutnya sebagai “itu-nya”. Ada juga yang diam sama sekali karena malu,” ungkap mba Nunung.
Pemahaman yang Salah Kaprah
Selain itu, masih banyak peserta meyakini sesuatu masalah seputar Kespro yang tidak jelas kebenarannya. Nunung menyebutkan salah kaprah. Seperti pertanyaan dari salah satu peserta yang merupakan ustadz pesantren. Peserta tersebut bertanya bahwa, ada suami isteri yang sudah lama menikah, namun belum punya anak, ada yang mengatakan bahwa hal itu disebabkan kantong rahimnya si isteri jauh, apakah benar demikian dan bagaimana solusinya.
“Banyaknya pemahaman yang salah tentang Kespro ini dikarenakan kurangnya informasi soal Kespro kepada perempuan. Selain itu juga rendahnya pelayanan kesehatan reproduksi perempuan. Salah satu akibatnya, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi.”
Hal serupa juga dirasakan kang Zekky, salah satu fasilitator pelatihan. Menurutnya, masih banyak peserta yang masih malu-malu mengeluarkan pendapatnya, sharing tentang persoalan Kespro, serta pemahaman yang masih keliru. Terutama ketika membahas seputar persoalan orientasi seksual dan perilaku seksual. Hampir semua peserta belum mampu membedakannya.
Selain memberikan pengetahuan tentang Kespro, kang Zekky juga banyak membahas persoalan relasi laki-laki dan perempuan. “Coba teman-teman melakukan riset kecil-kecilan di desa. Banyak perempuan yang tidak menikmati hubungan seksual, karena mereka hanya melayani. Hal ini dikarenakan relasi yang tidak setara (equal), perempuan kadang merasa tertekan (psikis). Sehat social, bahwa perempuan adalah obyek,” paparnya di depan seluruh peserta.
Upaya Pendidikan dan Penyadaran Kritis
Pelatihan ini merupakan angkatan kedua setelah beberapa bulan sebelumnya digelar untuk angkatan pertama di Hotel Penta Cirebon pada Senin-Rabu (2-4/8). Dalam pelatihan angkatan pertama, di antaranya menghadirkan Lies Marcoes Natsir, Ninuk Widyantoro—disapa mba Ninuk. Dalam pelatihan tersebut, salah satunya peserta diajak memahami tentang hak atas informasi kesehatan reproduksi yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah untuk masyarakat. Seperti diungkapkan mba Ninuk, awamnya orang mengenali tubuhnya sendiri karena banyak mitos yang berkembang.
Sambil menunjukan alat peraga kelamin laki-laki, mba Ninuk memaparkan bahwa anatomi organ reproduksi laki-laki dan perempuan berbeda. Organ reproduksi laki-laki mudah dibersihkan karena letaknya di luar sedangkan organ reproduksi perempuan kebanyakan di dalam, sehingga rentan dan perempuan harus merawatnya dengan baik.
Sama halnya dengan penguatan kapasitas tentang kesehatan reproduksi kepada Nyai/Kiai dari sejumlah Ponpes di Wilayah III Cirebon yang digelar Fahmina-institute Cirebon. Pelatihan kali ini juga merupakan kelanjutan dari focus group discussion (FGD) yang telah dilakukan Fahmina kepada 15 Pesantren pada bulan April lalu. Di mana ditemukan kebanyakan yang mengajar kitab-kitab fiqh adalah ustadz.
Kenapa kemudian ustadz dan santri putera diikutkan menjadi peserta? Menurut penuturan kang Zekky, mereka diikutkan agar mampu memahami soal-soal Kespro dan mampu menularkan pada santri-santri yang lainnya. Selain itu memberi pemahaman bahwa isu Kespro bukan hanya untuk perempuan saja namun juga untuk laki-laki.
Sebelumnya, tim peneliti Fahmina-institute Cirebon juga melakukan rapid assesment kepada 15 Pesantren se-Wilayah III Cirebon. Dari hasil assesment tersebut, diketahui bahwa pemahaman santri perempuan terhadap kesehatan reproduksi terbagi dalam tiga sub bahasan, yaitu pertama, pemahaman santri yang beragam dan timpang; kedua, pengetahuan santri didominasi oleh mitos; dan ketiga, Santri berada dalam dualisme nilai.
“Fahmina sendiri bekerjasama dengan HIVOS untuk terus melakukan pendidikan dan penyadaran kritis kesehatan reproduksi berbasis Islam. Menginformasikan definisi kesehatan dan kesehatan reproduksi dalam aspek sosial, budaya, dan agama,” ujar Rozikoh, Program Officer (PO) Kespro. (a5)