Oleh: Marzuki Rais (Direktur Pusat Studi Agama Perdamaian dan Inklusi Sosial ISIF Cirebon)
Polemik 198 pesantren atau lembaga keagamaan yang berafiliasi atau diinfiltrasi jaringan teroris terus bergulir. Sebagian merasa apa yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) tidak tepat. Karena hanya akan membuat masyarakat phobia terhadap pesantren dan Islam. Sementara yang lainnya menuntut agar BNPT bisa membuktikan kepada masyarakat terkait nama-nama pesantren tersebut, disertai dengan bukti-bukti yang ilmiah.
Namun tidak sedikit pula yang mengapresiasi kerja-kerja yang dilakukan BNPT, karena semakin jelas mana pesantren dan masjid yang sudah diinfiltrasi kelompok teroris dan mana yang memang masih murni. Mereka juga menyampaikan, bahwa dengan dibukanya nama-nama pesantren dan masjid tersebut, masyarakat semakin tahu dan bisa memilah mana masjid dan pesantren yang -kalau dalam kategorisasi covid, disebut dengan -hijau, kuning dan merah. Sehingga kedepan mereka akan memilih pesantren yang masih hijau (belum/tidak berafiliasi atau diinfiltrasi kelompok/paham teroris) untuk pendidikan anak-anaknya.
Sebenarnya persoalan infiltrasi pesantren ini sudah lama menjadi keresahan masyarakat. Banyak diantara masyarakat yang merasa terjebak dengan identitas “pesantren”. Bagi awam, pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan, yang mengajarkan kepada santrinya ahlak dan ilmu agama yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, dengan mempelajari teks kitab kuning sebagai hasil ijtihad para ulama terdahulu. Sehingga masyarakat menganggap pendidikan pesantren sudah pasti benar menurut agama.
Pandangan inilah yang juga dimanfaatkan kelompok teroris untuk merekrut dan menyusupkan pemahaman radikalnya kepada santri, bahkan terkadang juga kepada wali santrinya. Mereka tahu bahwa sistem pendidikan pesantren sangat efektif untuk melakukan indoktrinasi dan ideologisasi gerakan radikalnya. Sehingga belakangan mereka berlomba-lomba mendirikan ‘pondok pesantren’ meskipun dari sisi legalitas, tidak diketahui apakah terdaftar atau tidak di Kementerian Agama. Istilah yang dimunculkan juga beragam, ada yang menggunakan nama ‘Pondok Pesantren’, ada juga ‘Rumah Qur’an’ dan lain sebagainya.
Mereka mengikuti dan menggunakan nama-nama lembaga pendidikan keagamaan yang sedang berkembang dan digandrungi masyarakat. Dengan demikian, maksud dan tujuan mereka untuk memiliki kader dan menyebarkan paham khilafah/daulah akan segera tercapai. Karena secara umum masyarakat menganggap semua ‘pondok pesantren’ atau lembaga keagamaan lainnya, dipastikan akan mengajarkan tentang ahlak dan ilmu keagamaan yang benar.
Jika ditelusuri, polemik ini muncul bermula dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) BNPT dengan Komisi III DPR RI pada Selasa, 25 Januari 2022 di Gedung DPR RI Jakarta. Pada kesempatan tersebut Kepala BNPT Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar, MH., menyampaikan capaian kinerja BNPT dalam melaksanakan tugasnya. Entah dari mana sumbernya, selang beberapa hari kemudian di media sosial viral nama-nama pesantren yang diduga berafiliasi dengan kelompok teroris ISIS/JAD dan JI.
Selangkah kemudian bermunculan berbagai komentar dari masyarakat maupun tokoh nasional sebagaimana disebutkan di atas. Termasuk diantaranya menganggap bahwa pondok pesantren yang disampaikan oleh BNPT tersebut tidak termasuk dalam kategori pesantren sebagaimana diatur dalam UU Pesantren No. 18 tahun 2019.
Pasal 1 ayat (1) UU 18 tahun 2019 tentang Pesantren menyebutkan bahwa Pondok Pesantren, Dayah, Surau, Meunasah, atau sebutan lain yang selanjutnya disebut Pesantren adalah lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil’alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara ayat (2) menyebutkan Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh Pesantren dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah islamiah dengan pola pendidikan muallimin. Dan ayat (3) menyebutkan Kitab Kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di Pesantren.
Sebagai lembaga negara yang bertanggungjawab menanggulangi terorisme di Indonesia, BNPT tentu menggunakan UU ini dalam mengklasifikasi mana lembaga keagamaan baik pesantren maupun masjid dan majlis ta’lim yang sesuai dengan UU, dan mana yang tidak. Tentu BNPT yang di dalamnya banyak tenaga ahli dan profesional tidak semena-mena mengklasifikasi nama-nama pesantren tersebut. Apalagi Habib Luthfi ada di dalam BNPT sebagai Penasehat.
Dengan mengacu pada UU ini, maka apa yang disampaikan oleh BNPT terkait lembaga pendidikan keagamaan tersebut, diduga tidak masuk dalam kategori pesantren. Tapi lembaga pendidikan keagamaan. Kenapa BNPT menyebutkan dan mengumumkan lembaga pendidikan/pesantren tersebut? Tentu karena di dorong oleh rasa tanggungjawab kepada masyarakat, agar tidak banyak lagi korban dari kalangan pelajar dan pemuda yang terpapar paham teroris. Disaping itu juga agar masyarakat mengetahui mana pesantren yang benar dan terdaftar di pemerintah dan mana yang tidak. Sehingga kedepan masyarakat tidak terjebak pada perangkap kelompok teroris yang mengelabui masyarakat melalui lembaga pendidikan ‘pesantren’ tersebut.
Sebagai alumni pesantren dan sebagai orang yang sedikit mengikuti isu terorisme, saya setuju dengan apa yang dilakukan BNPT. Selama ini saya sering mengusulkan kepada Densus 88 maupun BNPT dan lembaga terkait lainnya, agar mengklasifikasi pesantren -yang dalam istilah covid -dikategoriasi dengan hijau, kuning, merah dan lain sebagainya. Sehingga masyarakat tidak terjebak dengan istilah ‘pesantren’ yang mereka gunakan tersebut. Sebab dalam penelitian saya, juga ditemukan adanya orang tua yang merasa terjebak dengan ‘pesantren’ dimana pola pembelajarannya tidak sama dengan pesantren pada umumnya.
Bahkan dia merasa aneh, karena setelah beberapa bulan anaknya di pesantren tersebut, ketika dijenguk, dia tidak merasa kangen dengan orang tuanya. Bahkan cenderung acuh. Padahal orang tua ini tahu, bagaimana manjanya anaknya tersebut sebelum di pesantren.
Kalau saya boleh usul, bukan hanya pesantren yang terinfiltrasi paham teroris saja yang dibuka dan diumumkan nama-namanya kepada publik, tapi pesantren yang berpaham intoleran juga bisa disampikan kepada masyarakat. Karena sudah banyak ahli dan akademisi yang menyampaikan bahwa paham intoleran merupakan cikal bakal dari radikalisme yang akan menuju terorisme. Meskipun tidak semua intoleransi akan berakhir pada terorisme. Tapi intoleransi bisa menjadi persemaian awal menuju radikalisme bahkan terorisme.
Jika perlu BNPT juga bisa menyampakan semua datanya terkait lembaga pendidikan lainnya yang terinfiltasi jaringan teroris. Agar masyarakat semakin tahu bahwa infiltrasi kelompok teroris sudah masuk kemana-mana. Sehingga masyarakat harus semakin waspada dan hati-hati dalam menitipkan pendidikan anaknya.