Hasil rapid assessment tersebut dipresentasikan dalam seminar Hasil Penelitian tentang pengalaman Kespro yang merupakan rangkaian “Program Penguatan Kesadaran Kritis Kesehatan Reproduksi Berbasis Islam bagi Kelompok Muda dan Usia Produktif di Pondok Pesantren se-Wilayah III Cirebon”. Seminar ini digelar Fahmina-institute Cirebon di aula Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, pada Senin (28/6). Selain menghadirkan salah satu tim peneliti, Iklillah Muzayyanah sebagai pembicara I, juga menghadirkan Direktur Fahmina-institute Cirebon, Marzuki Wahid sebagai pembicara II. Sementara hadir sebagai pembanding pembicara I dan II adalah Faqihudin Abdul Kodir, Ketua Pengurus Yayasan Fahmina.
Situasi dualisme nilai tersebut, menurut Iklillah Muzayyanah, menempatkan santri berada dalam posisi yang menyulitkan, khususnya ketika santri harus mengambil sebuah keputusan. Misalnya saja, dalam pemahaman ajaran Islam, fikih mengatakan bahwa batasan perempuan boleh melakukan pernikahan ditandai dengan menstruasi. Sementara dalam kajian yang lain dinyatakan bahwa keluarnya darah haid menjadi bagian dari tanda kesiapan seorang perempuan melakukan pernikahan. Namun pengetahuan kesehatan menyatakan bahwa kesiapan perempuan melakukan pernikahan yang berkonsekuensi kehamilan adalah usia 20 tahun, yaitu usia di mana rahim telah benar-benar siap melakukan reproduksi. Sedangkan dari sisi hukum negara, dalam UU Perkawinan no 1/1974 disebutkan batasan minimal usia pernikahan bagi perempuan adalah 16 tahun.
Pengalaman lain santriwati dalam persoalan Kespro, seperti ketika mendapatkan haid atau menstruasi pertamanya di usia antara 11 sampai 13 tahun. Itu artinya, perempuan santri akan berada dalam kebingungan dalam mengambil keputusan harus menikah di usia minimal berapa. Pada beberapa persoalan lain juga ditemukan situasi yang sama, di mana santri dihadapkan pada dualisme nilai yang menempatkan santri dalam persimpangan keputusan.
“Seperti persoalan khitan perempuan, santri secara umum menganggap khitan perempuan adalah sesuatu yang penting dan bermanfaat. Pendapat ini menurut santri didasarkan pada adanya anjuran dari agama. Memang pengetahuan santri berbeda mengenai hukum khitan bagi perempuan. Ada yang mengatakan sunnah dan wajib, namun ada juga yang menyatakan tidak boleh,” papar Iik, sapaan akrab Iklillah Muzayyanah di depan peserta seminar yang notebene masyarakat pesantren, instansi pemerintahan, aktifis LSM, maupun akademisi.
Sejumlah informasi yang diterima santri, menurutnya tidak diyakini diperoleh dari proses mengaji atau dari sumber lain. Santri saling berdebat soal hukum khitan perempuan namun secara umum menyatakan telah dikhitan dan menganggap khitan adalah ajaran agama sehingga memberi manfaat yang lebih bagi perempuan. Namun di sisi yang lain, sesungguhnya khitan perempuan memberi dampak yang negatif terhadap kesehatan perempuan, bahkan berbagai kajian medis tidak menemukan manfaat yang signifikan bagi kesehatan perempuan, justru yang ada adalah berbahaya bagi kesehatan perempuan.
Membangun Pendidikan Kritis
Marzuki Wahid menambahkan, hasil penelitian tersebut untuk membangun kesadaran kritis di kalangan santri perempuan. Dan untuk mencapai tujuan itu, penting melakukan berbagai intervensi yang dilakukan secara bersama-sama dengan komunitas pesantren.
“Karena kesadaran yang kami maksud adalah bukan program kesadaran biologis semata, tapi juga sosial. Jadi itu yang saya maksud dengan kesadaran kritis. Memandang persoalan Kespro bukan sekadar medis biologis, tetapi juga sosial. Selain itu menjadikan pengetahuan bukan sekadar wacana. Bukan omongan doang. Harapan kami, setelah mereka dilatih, dia melakukan sebuah aksi untuk perubahan di pesantrennya. Bukan aksi demo, tapi mengusulkan supaya MCK-nya bersih, bagaimana supaya mengusulkan konsultasi tentang Kespro. Selain itu mudah-mudahan ada respon baik dari pemerintah,” jelas Marzuki.
Sehingga berdasarkan pada hasil kajian tersebut, pelaksanaan program akan lebih memberi harapan keberhasilan lebih tinggi apabila melibatkan santri yang memenuhi kriteria tertentu. Beberapa di antaranya, santri yang dilibatkan dalam pelatihan dan terlibat aktif dalam proses penyadaran di pesantren adalah santri berjenis kelamin perempuan. Selain itu memilih santri yang berusia sebaya, dengan mayoritas santri yang ada di pesantren tersebut. Hal ini dilakukan agar penyampaian berbagai persoalan kesehatan reproduksi lebih nyaman diungkapkan. Santri yang supel dan dekat, serta memiliki kemampuan dalam menyampaikan informasi yang telah diperoleh dari berbagai pelatihan yang akan dilakukan.
Dengan kemampuan tersebut, proses tranformasi pengetahuan akan berjalan dengan baik sehingga tujuan dari pelaksanaan program yang akan dilakukan Fahmina-institute ini dapat tercapai dengan hasil yang maksimal. Hal itu juga dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan kesehatan masyarakat, khususnya remaja pesantren secara optimal dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Pesantren Sebagai Kekuatan
Sementara sebagai pembanding pembicara I dan II, Fakihuddin Abdul Kodir mengungkapkan, pemahaman tentang Kespro di lingkungan pesantren merupakan sebuah proses belajar. Sehingga apa dan bagaimana pemahaman tersebut tersebntuk, jangan sampai timbul sikap saling menyudutkan. Karena jika hal itu terjadi, maka akan sulit untuk menjadi penguatan. Fakih mencontohkan tentang realitas yang terjadi di masyarakat, bahwa sekarang abad kanan, bukan abad kiri. Otak kanan, otak dimana menggunakan emosional dan spiritual. Orang-orang yang maju seperti Tukul Arwana, menggunakan kekuatan otak kanannya, kekayaannya seimbang dengan David Beckam.
“Bahwa sekarang, dunia iklan itu yang dilihat bukan isinya, karena itu lalu kita tidak bisa merendahkan. Bahwa itu bukan kesalahan, tapi kekuatan. Dalam hal ini, misalnya personal is political, dalam kalangan pesantren juga mengatakan communal is political. Kita bisa melihat, menurut saya, salah satu pengetahuan paling penting di pesantren itu adalah pengimbangan,” paparnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, pesantren harus menjadi kekuatan. Misalnya WC, kita harus berfikir dengan yang ada, pesantren bisa melakukan perbaikannya. Tidak bisa hanya sekadar ngomong. Jadi definisi sehatnya juga harus sesuai. Pemerintah pun cara pandangnya sangat berbeda. “Karena itu sekali lagi kita berfikir dengan kekuatan yang ada. Dan mari berfikir dengan kekuatan itu. Misalnya, bagaimana dengan mitos? Apakah itu kekuatan. Tapi artinya kita tidak usah buru-buru mencap mitos tersebut sebagai sesuatu yang negatif, karena bisa jadi itu sebagai kekuatan.” (a5)