Beberapa artikel telah menyebutkan bahwa pemakaian hijab dan burqa di London meningkat, dan hal ini meresahkan masyarakat. Beberapa orang tua di Britania Raya bahkan sempat memprotes sekolah yang mempekerjakan perempuan yang memakai burqa, karena baju ini membatasi ekspresi dan gerak sang guru yang serba tertutup. Inilah anehnya. Di Indonesia, yang sedang diributkan ialah makin terbukanya baju perempuan.
Adapun di Eropa yang diributkan adalah makin tertutupnya baju perempuan. Namun ribet urusan baju ini sudah ada sejak zaman dulu, dengan lompatan-lompatan yang mirip permainan sepak bola: barang yang sama bergulir ke arah berlawanan pada waktu yang berbeda. Ketika manusia Eropa baru menjelajah ke Nusantara, merekalah yang sempat terheran-heran, mengagumi sekaligus mengutuk terbukanya beberapa baju perempuan di Nusantara kita.
Bahkan, ketika saya berjalan-jalan di sebuah toko buku bekas di Belanda, foto-foto para perempuan Bali yang bertelanjang dada menjadi pusat perhatian bukubuku perjalanan di Eropa di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada abad itu, di beberapa wilayah Eropa yang masih puritan, perempuan diharuskan menutup mata kaki mereka. Namun, sekarang, perempuan Eropalah yang berbikini di beberapa pantai di Indonesia. Moralitas telah berbalik dan alasan dari pemerintah kedua benua ini masih sama dalam mengeluarkan peraturan: melindungi kehormatan perempuan (baik pada zaman dulu maupun sekarang).
Kalau ini hanya permainan, dan yang dibuat bergulir ke sana dan kemari adalah bola, tentu tidak jadi masalah. Tapi, kalau yang dibuat bola adalah tubuh perempuan oleh para pemimpin yang didominasi lelaki, ini sudah tidak lucu lagi!
Bagaimana mungkin keduanya mengklaim hal yang sama dengan dua hal yang begitu berbeda? Memang, pemakaian baju yang panjang dan menutupi seluruh tubuh dan kaki bisa menjadi halangan besar untuk kebebasan bergerak bagi banyak perempuan. Bahkan di Aceh, banyak perempuan yang memakai jilbab terbenam saat tsunami melanda karena mereka tidak dapat bergerak cepat untuk menyelamatkan diri.
Inilah alasan pemerintah Belgia, Prancis, dan Belanda saat ini dalam mempersoalkan burqa. Mereka ingin memberikan kebebasan kepada perempuan yang sudah terperangkap oleh fundamentalisme agama. Lalu pemerintah Belanda mengizinkan beberapa sekolah dan tempat-tempat umum untuk melarang burqa. Di Belgia, rencananya perempuan yang memakai burqa di depan umum akan dikenai denda 150 euro.
Namun apa yang akan terjadi bila peraturan seperti ini sungguh- sungguh berlaku? Beberapa perempuan akan semakin tersekap, dan bersembunyi di rumah dengan adanya pelarangan seperti itu. Dan informasi apa yang akan didapat dari suaminya? Hal ini hanya akan semakin mengasingkan mereka dari dunia luar dan membenamkan mereka dalam control domestik.
Lebih-lebih lagi pelarangan burqa akan menjadikannya sebagai baju politik. Karena burqa menjadi alasan bagi para politikus untuk mendapat suara dan kepopuleran, ia akan menjadi jubah revolusioner, tanda pemberontakan dari tekanan yang berkuasa. Inilah bahayanya: bila tanda pemberontakan suatu kelompok adalah pemberangusan tubuh perempuan, hal ini akan semakin membungkam perempuan dan mengalihkannya dari isu sesungguhnya.
Pelarangan burqa tidak membatasi hak yang kuat, melainkan malah memenjara perempuan lebih jauh. Tubuh perempuan menjadi bahan pengoyakan antara boleh dan tidak, antara keharusan agama fundamental dan kekerasan hukum. Pelarangan burqa akan menjadikan yang tertindas semakin bertambah tertindas.
Sebab, pelarangan burqa tidak sama dengan penolakan untuk memakai burqa. Dalam pelarangan, superioritas pemerintah menjadi dominan, sedangkan para perempuan masihlah menjadi boneka-menjadi obyek yang dapat diperintah dan diatur sekenanya. Sedangkan dalam penolakan akan paksaan memakai burqa, ada kesadaran para perempuan ini.
Ada kekuatan dari para perempuan ini untuk berkata,”Burqa adalah baju kami. Biarkan kannya memutuskannya sendiri!” Dalam pelarangan dan hukum, ada perang melawan kriminalitas. Namun apakah perempuan yang memakai burqa itu dapat dianggap sebagai kriminal? Bukankah mereka justru mangsa dari kriminalitas itu? Lalu, dalam peraturan yang katanya membela hak perempuan, mengapa tubuh perempuan lagi yang disoroti dan diawasi sehingga mereka harus dihukum berkali-kali?
Dan memang seharusnya, kedua belah pihak (yang ingin menutupi dan membuka baju perempuan) saling becermin satu sama lain. Sebab, mereka sudah menggunakan tubuh perempuan untuk tujuan tertentu. Mungkin sudah saatnya mereka-mereka yang mengklaim menjunjung harkat dan kehormatan perempuan ini tutup mulut dan berhenti berkoar. Sudah saatnya para perempuan bicara tentang tubuh mereka sendiri.
Soe Tjen Marching, AKADEMIK DAN KOMPONIS, PEMIMPIN REDAKSI JURNAL GANDRUNG MACHFOED GEMBONG (TEMPO)
(Sumber Berita dari Kolom PENDAPAT Koran TEMPO, Selasa, 2 7 April 2010)