Muhammad Imadudin
Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional hanya berjarak sehari dari Hari Antikorupsi Internasional. Tanggal 9 Desember merupakan Hari Antikorupsi, sedang besoknya adalah Hari HAM Internasional. Ke dua peringatan internasional ini juga diperingati secara nasional di tanah air. Terutama di kalangan akademisi, dunia pendidikan, birokrasi pemerintahan, dan organisasi masyarakat sipil. Termasuk organisasi masyarakat sipil Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis.
Dua peringatan tersebut kerap dijadikan momentum untuk mengajak generasi muda untuk menolak dan aktif dalam pemberantasan korupsi, serta penegakan HAM di tanah air. Baik pemberantasan korupsi maupun penegakan HAM tentu masih menjadi bahan diskusi dan perdebatan yang tiada habisnya. Kasus korupsi dan pelanggaran HAM masih dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di negara-negara maju sekalipun. Perilaku korupsi memang berkaitan dengan pelanggaran HAM di dunia. Tidak akan ada pelanggaran HAM yang dibiarkan atau dianggap biasa, bila para elit pemerintahan di seluruh dunia (atau setidaknya di Indonesia ini) tidak memiliki kecenderungan korup dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Kalangan pendidik, pengajar, dan tenaga kependidikan, hingga pembuat kebijakan tentu berperan dalam proses pembiasaan budaya antikorupsi dan penegakan HAM ini. Budaya antikorupsi dan penegakan HAM harus dimulai dari penanaman nilai kejujuran, toleransi, keadilan, kesetaraan, kesalingan, dan profesionalitas terhadap generasi penerus bangsa. Anak-anak yang masih berusia sekolah dan mahasiswa yang umumnya berusia sangat muda merupakan sasaran program penanaman karakter ini. Pendidikan ditujukan untuk mewujudkan masyarakat yang bersih dari korupsi dan pelanggaran HAM.
Namun bagaimana dengan pembentukan dan pembinaan keluarga yang berdiri di atas dasar nilai-nilai tadi? Keluarga Pancasila saya kira merupakan konsepsi yang perlu diperhatikan dalam kerangka pemberantasan korupsi, pembiasaan tata kelola yang jujur, adil, dan bersih, serta penegakan hak asasi manusia (HAM) yang berbasis lingkup keluarga. Sebagai lingkup terkecil masyarakat, keluarga diharapkan menghasilkan generasi penerus yang membawa nilai-nilai Pancasila sepanjang hidupnya. Tujuannya adalah tumbuhnya budaya antikorupsi, serta penegakan hukum dan hak asasi manusia di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keluarga Pancasila: Bukan Sebatas Religiusitas
Tidak sedikit orang yang menyatakan bahwa keluarganya adalah keluarga Pancasila, hingga keluarga Bhineka Tunggal Ika. Umumnya mereka menyodorkan fakta-fakta toleransi simbolik atau kebinekaan artifisial. Toleransi dan kebinekaan yang ditunjukkan masih terbatas pada urusan remeh temeh perilaku toleran dan kebersamaan dalam lingkup ruang komunal. Wujudnya bisa berupa penyambutan hari-hari besar keagamaan, seperti Idulfitri, Natal, Waisak, Nyepi, Imlek, dan sebagainya. Bahkan bagi sebagian orang, bisa berupa pernikahan berbeda agama. Keanekaragaman iman, budaya, dan etnisitas seolah menjadi satu-satunya perwujudan dari seluruh nilai dalam Pancasila. Dari sinilah, dapat kita temukan apa masalahnya dan arah yang seharusnya.
Berpancasila tentu harus dengan menerapkan seluruh nilai yang ada dalam Pancasila itu sendiri. Tidak terbatas pada urusan keberagamaan dan keberbudayaan, dengan berbagai ritual dan ekspresi yang beraneka ragam. Sebagai lingkup terkecil dari sebuah masyarakat yang lebih luas, keluarga diharapkan menjadi ujung tombak pendidikan karakter dan pembentukan identitas nasional. Anak pasti terlahir ke dalam suatu keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besarnya. Mereka langsung menjadi anak bagi ke dua orang-tuanya, adik bagi kakaknya, dan bagian dari sebuah keluarga besar. Seorang anak sudah memiliki kakek, nenek, hingga paman, bibi, dan mungkin sepupu sesaat begitu ia dilahirkan. Terlepas dari masih hidup atau tidaknya mereka yang dimaksud. Anak terlahir untuk mendapat pengalaman dan pengetahuan dari setidaknya orang-tua mereka.
Sebuah keluarga setidaknya terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, dan anak yang diasumsikan sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Umumnya orang-tua dan keluarga besar di Indonesia akan menyambut kehadiran anak dengan serangkaian ritual agama, adat, hingga pengurusan administrasi kependudukan bagi anak yang baru lahir. Setelahnya, anak akan tumbuh dan berkembang dengan melakukan observasi dan aktivitas yang bermanfaat. Mulai dari belajar berjalan dan berbicara, hingga kemudian belajar memilih dan berpendapat. Semua memerlukan proses yang tidak mudah dan tidak pula sebentar. Anak akan meniru perilaku orang dewasa di sekitarnya, hingga dengan polosnya mampu mengikuti ucapan orang dewasa yang bisa saja tidak pantas diucapkan. Anak merupakan pendengar yang buruk, namun juga peniru terbaik yang ada di alam dunia ini.
Anak akan mengikuti orang-tuanya saat mereka melangsungkan ritual ibadah, berdoa, hingga bagaimana mereka makan, minum, dan bercengkrama dengan orang lain. Bukan hanya meniru orang-tuanya, mereka meniru siapa saja yang terlahir lebih dahulu dari mereka. Anak kemudian memasuki usia pendidikan formal, mulai pendidikan usia dini, hingga pendidikan dasar dan menengah. Sepanjang masa pendidikan dasar dan menengah, sekolah menjadi ruang bagi pembentukan karakter, penanaman nilai, hingga pengenalan pada keterampilan hidup yang kiranya berguna. Kendati demikian, sekolah bukanlah pengganti sebuah rumah tangga bagi anak. Sekolah tidak bisa menggantikan kedudukan rumah, sebagaimana guru tidak mampu menggantikan posisi orang-tua murid. Pendidikan dan pengasuhan anak merupakan kewajiban keluarga intinya masing-masing. Lembaga pendidikan merupakan kelanjutan dari proses pendidikan anak tersebut, untuk dapat kembali ke tengah masyarakat.
Mengenalkan HAM pada Anak
Konsep hak dan kewajiban tidak mudah untuk dikenalkan pada anak, kecuali mengikuti tahapan tumbuh kembang yang dialaminya. Di usia belum memasuki masa sekolah, anak belum bisa mendapatkan pengetahuan yang tertulis atau berupa ceramah. Bahkan sampai usia sekolah dasar, umumnya anak masih memerlukan beragam contoh nyata dari tindakan orang dewasa di sekitarnya. Berita gembiranya adalah, orang dewasa dapat menunjukkan mana hak dan mana kewajiban antar sesama di hadapan anak.
Banyak orang memandang hak asasi manusia sebagai konsep, kemudian mengajarkan pada generasi penerus lewat bahasa konseptual dengan teori-teori. Metode tersebut kerap gagal karena anak bukanlah pendengar yang baik; pun bukan pembaca yang baik. Mereka lebih banyak meniru dan mengikuti saja tindakan orang dewasa.
Mulai dari hak untuk hidup, mendapatkan asupan gizi, beristirahat, hingga memiliki tempat berlindung; sampai kemudian hak privasi dan hak mengambil keputusan. Begitulah kira-kira serangkaian hak dasar yang perlu ditanamkan pada anak melalui percontohan. Anak bayi bisa dibiasakan untuk tidur atau beristirahat pada jam yang sama tiap malamnya. Pembiasaan seperti itu dapatlah menjadi sebuah contoh kecil di sini. Ketika bayi itu jadi terbiasa dengan pola kapan bangun tidur, kapan sarapan, hingga kapan harus tidur, otak bayi akan menangkap pesan tentang sebuah pola. Ada sistem di sekitarnya yang harus dia ikuti. Maka bayi itu akan tumbuh dengan kesadaran bahwa tidur malam pada jam tertentu dengan durasi tertentu merupakan salah satu hak yang harus didapatkannya. Orang lain pun tidak bisa diganggu haknya untuk beristirahat pada jam yang umumnya dipakai beristirahat itu.
Pembiasaan untuk bersikap jujur, adil, dan terbuka juga dapat dimulai sejak usia dini. Toleransi dan solidaritas sosial pun bisa diterima melalui percontohan di usia anak. Karakter anak dibangun bukan melalui penuturan atau narasi verbal orang-tua. Pun bukan melalui tulisan-tulisan dan kisah-kisah. Justru pertama-tama anak harus terpapar oleh kegiatan yang membuat mereka biasa bersikap jujur, adil, dan terbuka. Anak dibiasakan memilih, berpendapat, dan mengafirmasi perasaan yang dialaminya.
Secara garis besar, Pancasila membawa nilai kesalehan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Nilai-nilai ini dapat dimekarkan kembali ke dalam religiusitas, spiritualitas, toleransi, inklusivisme, kemanusiaan, solidaritas, persaudaraan, kesalingan, demokrasi, keterbukaan, kesetaraan, dan keadilan. Kesemuanya merupakan serangkaian nilai yang tidak hanya perlu diajarkan melalui pengajaran doktrinal atau dogmatis. Lebih dari itu, diperlukan penanaman nilai yang berangkat dari pembiasaan hidup berpancasila di ruang privat dan ruang publik. Mulai dari lingkup keluarga, lingkungan tempat tinggal, hingga lingkup ruang komunal dan ruang publik yang lebih luas.
Jika selama ini penegakkan HAM dibatasi pada persoalan hak-hak sipil dan politik, maka perlu diingatkan kembali bahwa hak-hak sosial, ekonomi, dan persepsi identitas juga merupakan hak yang mendasar. Hak-hak ini haru diperkenalkan langsung pada generasi penerus, sejak mereka mulai memilliki kesadaran. Ini artinya sejak masih berusia 0 tahun, anak sudah mampu menangkap pesan semesta yang menjadi fitrah umat manusia. Mereka juga akan dapat memahami hak orang lain sebagai batasan bagi hak pribadinya dan mungkin juga merupakan kewajiban baginya. []