Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, yang bertemu Aris di LP Anak Tangerang, pekan lalu, terperanjat. Ia tidak menduga Aris yang belia dihukum berat walau hanya mencuri sebuah telepon genggam. ”Ia akan menghabiskan masa remajanya di penjara. Ini sangat memprihatinkan,” kata Patrialis.
Dalam kunjungan sebelumnya di LP Anak Tangerang, Desember 2009, Patrialis juga menemukan empat anak berusia 10 tahunan dihukum 3-4 tahun karena terlibat berbagai kejahatan. Padahal, semestinya anak-anak itu tak perlu menjalani hukuman di penjara, dan dikembalikan kepada orangtuanya.
Menurut sosiolog Kastorius Sinaga di Jakarta, Minggu (14/2), cerita anak-anak yang terpaksa mendekam di penjara itu kian menggambarkan ketidakadilan yang dirasakan rakyat miskin di negeri ini. Aris dan kawan-kawan adalah korban penerapan hukum yang mengabaikan rasa keadilan.
Ia membandingkan hukuman bagi Aris dengan Robert Tantular, pemilik Bank Century, yang juga dihukum lima tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Bahkan, di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Robert sebelumnya dihukum empat tahun penjara.
”Kita perlu benar-benar mendesak agar penegakan hukum di negeri ini dapat memberikan rasa keadilan, menimbulkan efek jera, dan memberikan jaminan kepastian hukum,” tutur Kastorius, yang juga Direktur Eksekutif Centre for Information and Law Economic Studies itu.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Minggu, secara terpisah di Jakarta, mengaku pula sangat prihatin terhadap sejumlah peristiwa hukum yang belakangan sering menyinggung rasa keadilan masyarakat. Cerita pemidanaan terhadap ”kenakalan” anak di Surabaya atau hukuman bagi Nenek Minah yang diduga mencuri kakao terjadi saat penegak hukum menerapkan hukum seperti apa yang tertulis. Penegak hukum berperilaku seperti itu terutama saat berhadapan dengan pelanggar dari kalangan masyarakat kelas bawah dan miskin. Sementara pada pelanggar hukum yang berasal dari kalangan mampu, baik secara finansial maupun memiliki akses pada kekuasaan, penegak hukum tidak melakukan hal serupa, bahkan cenderung mengatur sedemikian rupa supaya hukum bisa lebih menguntungkan bagi pelanggar jenis itu.
Dalam pengukuhan dirinya sebagai Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia, Mahfud mendesak penegak hukum lebih mendahulukan kebenaran substantif dalam menegakkan hukum. ”Hukum kita saat ini memang tengah mengalami persoalan besar, terutama ketika orang kecil yang berurusan dengan hukum, aparat langsung memberlakukan bunyi hukum secara formal. Seorang nenek yang dilaporkan mencuri tiga buah kakao bisa langsung ditangkap dan diproses sampai ke pengadilan,” ujarnya.
Namun, jika pelaku adalah orang mampu atau memiliki akses ke kekuasaan, unsur dalam undang-undang coba disamarkan atau dicari-cari aturan yang seakan-akan membenarkan tindak pidana itu. Akibatnya, terjadilah banyak kasus yang dinilai sangat memprihatinkan seperti ketika seorang pengendara sepeda motor ditangkap dan diadili karena dianggap lalai sehingga menyebabkan kematian istrinya. Padahal, ia juga korban kecelakaan itu. Rasa keadilan masyarakat juga terluka.
”Apalagi saat melihat dalam kasus besar, yang jelas pelakunya ada dan keuangan negara dibobol, penegak hukum malah sibuk bicara soal unsur hukum formal, yang katanya belum terpenuhi, sehingga kasus besar itu tak kunjung selesai,” ujarnya.
Patrialis juga berkeinginan hukum substantif ditegakkan di negeri ini. Anak-anak yang berusia 10 tahun tidak semestinya dipenjara, apalagi jika kejahatan yang dilakukannya tidak mengancam keselamatan orang lain.
”Saya juga prihatin, ada nenek yang sudah sakit-sakitan masih harus masuk lembaga pemasyarakatan,” paparnya. Padahal, semestinya mereka bisa tak perlu menjalani hukuman di penjara.
Tajam ke bawah
Senada, guru besar ilmu hukum Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Agnes Widanti, mengakui, masyarakat miskin semakin tak berdaya saat berhadapan dengan hukum. Penegak hukum dengan mudahnya menjatuhkan hukuman kepada masyarakat miskin yang terbukti bersalah tanpa melihat konteks mengapa hal itu terjadi.
Agnes mengakui, saat ini semua orang yang memiliki kekuasaan dengan leluasa menerapkan kekuasaannya melalui jalur hukum. Karena itu, orang yang tidak memiliki kuasa apa pun, seperti orang miskin, dengan mudahnya dijerat.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang Siti Rakhma Mary Herwati menambahkan, hukum saat ini cenderung tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang.
Menurut Rakhma, harus ada keadilan yang dirasakan rakyat saat berhadapan dengan hukum. Namun, kenyataannya, hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin.
Dalam hukum progresif, seharusnya penegak hukum tidak hanya berlaku normatif. ”Ada kalanya penegak hukum harus mendengar hati nuraninya. Kasus Minah yang mengambil tiga kakao misalnya, hakim tak perlu menangis. Keyakinan hakim bisa digunakan untuk membebaskan seseorang,” ujar Agnes lagi.
Rakhma menambahkan, negara lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau peraturan. Akibatnya, penegak hukum hanya menjadi corong dari aturan.
”Ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positivisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial,” ujar Rakhma.
Dari kasus yang ditangani LBH Semarang, kasus pencurian kapuk randu di Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, dengan terdakwa Manisih (39), Sri Sumarti (19), Juwono (16), dan Rusnoto (14), sebagai contoh. Keempatnya akhirnya dihukum 24 hari penjara karena dinilai terbukti mencuri 14 kilogram randu senilai Rp 12.000. Padahal, yang mereka lakukan adalah nggresek (mengambil sisa panen) yang menjadi tradisi masyarakat setempat.(DWA/UTI/TRA/kompas.com)
Sumber: Kompas.com