“Pemerintah Indonesia harus menunjukkan niat baik untuk mengubah keadaan yang memprihatinkan yang dialami Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai buruh migran lewat berbagai kebijakan strategis,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Sri Wiyanti Eddyono, dalam jumpa pers peluncuran laporan HRW di Jakarta, Selasa (8/7).
Sri Wiyanti Eddyono mengatakan, dengan meratifikasi Konvensi Pekerja Migran, Pemerintah Indonesia menjadi lebih berkekuatan untuk membangun sistem pengiriman tenaga kerja migran ke luar negeri, termasuk Arab Saudi.
“Langkah selanjutnya adalah segera membuat perjanjian bilateral antara Pemerintah Indonesia dan negara-negara penerima buruh migran tenaga pembantu rumah tangga Indonesia, terutama Arab Saudi, agar secara bersama-sama memastikan penegakan hukum serta perlindungan bagi pekerja dengan landasan HAM,” kata Sri.
Menurut dia, Komnas Perempuan mengapresiasi positif upaya penemuan fakta yang dilakukan HRW, yang mendokumentasikan kondisi riil yang dialami pekerja Indonesia di Arab Saudi.
“Penelitian HRW menjadi sangat relevan bagi Indonesia, mengingat angka pengiriman terbesar pekerja migran perempuan sektor rumah tangga adalah ke Arab Saudi,” kata Sri.
Sementara itu nasib buruh migran Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi kerap mengalami tindakan yang sewenang-wenang oleh majikan, seperti tidak dibayarkannya upah selama beberapa bulan atau tahun, tidak mendapat hari libur, makan yang tidak layak, dan kekerasan.
Berdasarkan hasil penelitian HRW, kasus terbanyak yang diadukan buruh migran pekerja rumah tangga di Arab Saudi adalah gaji yang tidak dibayarkan oleh majikan, atau jumlah gaji yang tidak sesuai dengan perjanjian awal yang dibuat di negara pengirim.
Hukum perburuhan di Kerajaan Arab Saudi mengecualikan pekerja rumah tangga, menyangkal hak mereka atas hak-hak pekerja yang lumrah seperti hak libur di hari libur dan upah lembur.
Sistem kafala (sponsor) yang sangat ketat menggantungkan visa pekerja migran kepada majikannya, dan ini menyebabkan majikan dapat menyangkal kemampuan pekerja untuk mengganti pekerjaan atau untuk meninggalkan negara tersebut.
“Pemerintah Arab Saudi memiliki beberapa usulan pembaruan atau reformasi dalam sektor penanganan buruh migran, tapi negara ini masih bertahun-tahun mempertimbangkan usulan tersebut tanpa ada satu tindakan pun yang diambil,” kata Nisha Varia, peneliti senior dari Divisi Hak Perempuan HRW yang menyusun penelitian HRW.
Laporan itu bertajuk “Seolah Saya Bukan Manusia: Kesewenang-wenangan terhadap Pekerja Rumah Tangga Asia di Arab Saudi”.
“Dan sekarang adalah saat yang tepat untuk membuat perubahan itu, termasuk di dalamnya dengan memasukkan pekerja rumah tangga ke dalam Hukum Perburuhan 2005, dan mengubah sistem kafala sehingga visa pekerja migran tidak lagi terikat pada persetujuan majikan,” kata Nisha.
Mengutip data Bank Dunia, pada 2006 buruh migran yang bekerja di Arab Saudi mengirim pulang 15,6 miliar dolar atau setara dengan 5 persen GDP Arab Saudi.
Menurut Departemen Statistik Umum Arab Saudi, lebih dari 8 juta buruh migran bekerja di Arab Saudi, secara kasar jumlah mereka adalah sepertiga total populasi negeri kerajaan yang berpenduduk 24,7 juta orang.
Indonesia, bersama-sama dengan India dan Filipina adalah negara pengirim buruh migran terbesar ke Arab Saudi, masing-masing negara mengirim sejuta orang buruh.
Para pekerja migran ini mengisi kekosongan di bidang kesehatan, konstruksi, dan layanan rumah tangga dan juga mendukung ekonomi negara asal. [TMA, Ant]
Sumber: www.gatra.com