Tulisan ini berawal dari peristiwa yang tidak terduga saat awal Ramadhan lalu penulis mudik ke kampung halaman di Jepara untuk nyadran. Hari itu, sebut saja Yu Yati, yang sedang menjaga warungnya didatangi oleh laki-laki paruh baya yang tinggal tak jauh dari warungnya. Sehari-hari Yu Yati memanggilnya dengan Lik Jas.
Begitu datang serta merta Lik Jas meminta izin untuk membawa pupuk setengah kuintal dari warungnya. Yu Yati mengizinkan dengan catatan tidak terlalu lama. Ditunggu seminggu , Lik Jas tidak kunjung datang ke warung untuk membayar pupuk. Akhirnya, Yu Yati menyuruh anaknya untuk menagih uang pupuk. Akan tetapi, di sana justru terjadi selisih paham.
Lik Jas tidak mau membayar dengan dalih tidak pernah mengatakan kalau hutang pupuk. “Saya kan tidak pernah bilang hutang pupuk dari emakmu. Saya hanya bilang ingin membawa pupuk dari rumahmu. Dan ternyata emakmu membolehkan,” begitu kilah Lik Jas. Akibat sikap Lik Jas tersebut, Yu Yati mendatangkan beberapa warga untuk ngrumpyung Lik Jas. Karena kalah argumentasi dengan warga dan merasa terdesak, ia mengaku khilaf dan bersedia membayar di kemudian hari.
Setelah itu Yu Yati menjelaskan duduk persolannya kepada warga. Namun yang tidak mengenakkan, setelah mendengar penjelasan tersebut warga seolah dikomnado,” Dasar samin, bawa pupuk kok tidak mau bayar!” Dari peristiwa tersebut menyeruak pertanyaan-pertanyaan liar di kepala penulis. Betulkah Lik Jas merupakan bagian dari komunitas samin ? Betulkah ciri-ciri komunitas samin seperti tergambar pada sosok Lik Jas ? Bukankah perilaku seperti ditunjukkan Lik Jas kerap juga kita temui pada masyarakat biasa, mengapa harus dikaitkan dengan komunitas samin ?
Pertanyaan paling esensiil: Betulkah samin atau komunitas samin berprilaku seperti itu ? Stigma Keliru Dari berbagai literatur yang ada, komunitas samin atau ajaran saminisme tersebar di daerah Blora, Pati, Rembang, Kudus, dan Bojonegoro. Sementara itu peristiwa yang terjadi ini adalah di Jepara. Kalau Lik Jas benar-benar bagian dari komunitas samin, maka kabar yang menggembirakan bagi komunitas ini karena ajarannya semakin tersebar ke daerah lain.
Namun yang menyedihkan, komunitas ini lebih banyak dipahami dari sisi negatif. Ada stigma negatif yang dilekatkan pada komunitas ini. Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita temui hal-hal paradoksal dari stigma ini. Ketika melihat orang ngeyel dan bertahan pada argumentasi, dengan mudah orang melekati stigma samin.
Padahal, belum tentu kengeyelan itu jelek. Banyak juga kengeyelan yang dilandasi oleh keteguhan pendirian dan argumen-argumen yang logis. Bisa juga orang yang ngeyel tersebut karena memegang prinsip sendiri yang berbeda dengan orang lain. Pernah suatu kali ada orang yang sangat jujur dan tidak mau mengikuti arus di lingkungan kerja. Anehnya, dengan mudah orang-orang di sekitarnya menjuluki dengan predikat samin.
Padahal, kejujuran orang ini dilandasi nilai-nilai agama yang dianutnya. Pandangan hidupnya juga mengutkan hal tersebut. Hanya saja, orang ini tidak mau terbawa arus dengan lingkungan. Dalam pemahaman penulis selama bergaul dengan komunitas samin, mereka justru dikenal sangat jujur dan mligi. Contoh sederhana, dalam memenuhi kebutuhan pangan dan sandang harus bisa dijelaskan secara terbuka asal usulnya dan bagaimana memperolehnya.
Apakah diperoleh secara halal atau haram. Dalam bahasa mereka disebut dengan didunungke. Jadi, semua hal yang dikonsumsi dan dikenakan harus didunungke secara rinci dan logis. Komunitas samin juga dikenal tidak mau menyakiti orang lain, tidak mau petil jumput (tidak mau mengambil barang orang lain yang bukan haknya), tetapi juga tidak mau dimalingi (haknya dicuri). Dalam bahasa komunitas samin disebut dengan angger-angger pratikel (hukum tindak-tanduk).
Hukum ini berbunyi “Aja drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Aja kutil jumput, mbedhog nyolong, yang artinya jangan berbuat jahat, berperang mulut, iri hati, dan dilarang mengambil milik orang lain. Hukum ini menjadi pegangan utama komunitas samin. Jadi, patut dipertanyakan perilaku Lik Jas sebagai representasi masyarakat samin. Dalam sisi yang lain komunitas samin dikenal memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Mereka bersikap ramah terhadap orang yang bertamu. Seluruh makanan yang mereka simpan disajikan kepada tamunya dan tidak pernah memikirkan berapa harganya. Sikap seperti ini sering kali membuat para tamu merasa risi dan malu karena mereka sangat jujur, pemurah, dan memuliakan orang yang bertamu. Dan satu hal yang menjadi karakterisik masyarakat samin adalah pola hidupnya yang sederhana dan tidak berlebihan.
Mereka memanfaatkan alam secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Mereka berpegang pada prinsip banyu podo ngombe (air sama-sama diminum), lemah podo duwe (tanah sama-sama dimiliki), godong podo gawe (daun sama-sama dimanfaatkan). Dengan gambaran di atas sangat tidak beralasan merepresentasikan perilaku Lik Jas sebagai prilaku masyarakat samin. Apalagi, memberi stigma negatif pada komunitas ini.
Dan tidak selayaknya mengidentikkan segala yang negatif dengan stigma samin. Justru kalau mau jujur, banyak perilaku positif dari komunitas samin yang patut kita tiru dan teladani, utamanya nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, jiwa sosial, dan kearifannya pada alam. Penulis adalah pegawai di Dinas Pendidikan Kabupaten Blora
(sumber:http://citizennews.suaramerdeka.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1817)