Bermula dari sebuah sms (sorth massage service), yang berbunyi “mohon bantuannya untuk datang ke desa Ciwaringin kecamatan Ciwaringin kabupaten Cirebon guna memantau aliran sholawat yang mencurigakan”, ketegangan ditengah masyarakat kembali mencuat. Beberapa pemuda, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintahan desa berkumpul. Mereka secara bersama-sama mendatangi salah satu rumah warga yang ditempati ibadah sholawat berjama’ah.
Kedatangan mereka pada dasarnya telah diketahui dan diharapkan oleh pemilik rumah. Jika diamati, ada perasaan dilematis dalam diri pemilik rumah. Disatu sisi, dia merasa bangga dan senang rumahnya disinggahi untuk aktivitas keagamaan dalam rangka mendekatkan diri pada sang khalik. Disisi yang lain, tiba-tiba muncul isu yang beredar bahwa jama’ah sholawat tersebut termasuk bagian dari aliran sesat.
Padahal, panitia pelaksana sholawat jama’ah bersama masyarakat disekitarnya telah berkumpul dan hendak memulai ibadahnya. Untungnya, masyarakat tidak bermain hakim sendiri dan berbuat anarkis. Setelah dilakukan kros chek lebih mendalam, ternyata ibadah sholawat yang laksanakan bukan seperti apa yang dibayangkan masyarakat. Sholawat yang digelar justru sholawat yang sudah biasa dilakukan kalangan Nahdliyyin. Bahkan menurut pemimpin ibadah sholawat, dengan berpakaian ala preman, pendiri jam’iyyah ini adalah tokoh yang cukup dikenal di kalangan masyarakat Cirebon, yakni Kyai Ayip Abdullah Abbas. Kang Ayip adalah salah seorang Kyai pesantren Buntet yang berusaha medirikan jam’iyyah sholawat untuk masyarakat Cirebon pada umumnya, dan anak jalanan yang hendak bertaubat pada khususnya.
Strategi kegiatannya, dilaksanakan di desa-desa dalam waktu sekali dalam seminggu. Kang Ayip sendiri memimpin sholawat didesa-desa secara bergantian, sedangkan bagi desa yang tidak sempat dikunjungi, ibadah sholawat dipimpin mantan preman yang telah lama mengikutinya. Duduk Persoalan Melalui musyawarah yang melibatkan panitia pelaksana, pemuda, tokoh masyarakat, aparat pemerintahan desa dan bahkan melibatkan dari pesantren Babakan Ciwaringin duduk persoalannya menjadi terang. Konon katanya, jauh hari panitia sudah meminta idzin kepada aparat desa untuk menempati masjid jami’ di desa tersebut.
Namun karena panitia enggan mengabulkan permintaan kepala desa, aktivitas mereka tidak diizini. Akhirnya, terpaksa dialihkan kerumah warga desa. Adapun permintaan dari pihak pejabat desa adalah diberi kesempatan menyampaiakan sepatah kata sambutan dalam acara yang digelar. Namun karena khawatir disusupi muatan politis, panitia menolak dengan alasan telah menjadi tradisi dalam setiap aktivitas yang dilakukan tidak ada acara seremonial. Kondisi ini diperparah dengan keberadaan panitia yang sama sekali tidak dikenal dikalangan masyarakat desa tersebut. Namun yang cukup disayangkan, pertikaian panitia dengan pihak aparat desa berakhir dengan keputusan pemerintah desa untuk tidak memberi izin pelaksanaan sholawat berjama’ah di desa Ciwaringin dalam waktu kedepan.
Dengan alasan tidak menghargai peraturan desa. Jika pun ada, maka tidak melibatkan orang diluar desa tersebut. “Sesat” Alat Kontrol Negara Peristiwa ini setidaknya menjadi bahan pelajaran bagi kita. Dalam sekup lokal, pemerintah dapat mengontrol aktivitas masyarakat yang tidak senyawa dengan berlindung dibalik isu sesat. Hal ini sangat mungkin terjadi dalam skala nasional di masa yang akan datang. Semangat politik Orde baru tampak kembali mencuat melalui “sesat” sebagai alat kontrolnya. Setiap aktivitas keagamaan yang dianggap tidak memuluskan hidden agenda pemerintah dan mengancam kekuasaan akan dapat diberangus dengan jargon-jargon sesat. Gejala ini sebenarnya bermula sejak MUI dan BAKORPAKEM mempunyai hoby sesat-menyesatkan. Sebagaimana yang kita tahu, Kedua lembaga ini, telah sering mengeluarkan kata sesat kepada kelompok-kelompok yang tidak sealiran dengan keyakinan mainstrem. Setidaknya lebih dari lima kelompok keagamaan yang sudah dicap sesat oleh kedua lembaga ini. Jika saat ini apa yang dilakukan MUI dan BAKORPAKEM untuk membentengi aqidah ummat dari rongrongan kesesatan dalam beragama, maka jenjang waktu kedepan sangat mungkin “sesat-menyesatkan” berfungsi sebagi alat negara untuk membungkam suara rakyatnya.
Oleh karena itu, sangat penting sekali kembali memperkuat keterlibatan masyarakat dalam melakukan pengawalan demokrasi. Sebab, tanpa pengawalan yang ketat negara bisa kembali berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Apalagi “sesat-menyesatkan” yang difungsikan sebagai alat pembungkam suara rakyat sangat rentan menimbulkan polemik ditengah masyarakat. Diastu sisi, pemerintah akan menuduh “sesat” kepada aktivitas keberagamaan masyarakat yang mengancam kekuasaan, sedangkan disisi yang lain, sangat mudah memprovokasi sebagian masyarakat untuk mendukung langkahnya. Selain itu, setidaknya perlu juga dipikirkan kembali secara serius, baik masyarakat maupun wakil rakyat tentang peran dan fungsi Majlis Ulama Indonesia dan BAKORPAKEM.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari keterpasungan semangat kebebasan beragama sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang dasar 45, dan mengantisipasi keterpasungan kebebasan berpendapat. Wal hasil, dengan pengawalan demokrasi, rethinking peran dan fungsi MUI dan BAKORPAKEM cita-cita dalam reformasi tidak lenyap dengan begitu saja, dan mampu diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahu’alam Bissawab. Penulis: Abdul Muiz Syaerozie (Staf KSS (Komunitas Seniman Santri) Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Sumber: Milis KMNU.