Hak hidup dan Keberadaan Ahmadiyah
Kelompok-kelompok Islam garis keras seperti Front Pembela Islam FPI, Hizbut Tahrir Indonesia HTI dan Forum Umat Islam (FUI), yaitu forum yang mempersatukan HTI dengan Partai Keadilan Sejahtera PKS, menjadi bulan-bulanan. “Preman-preman berjubah putih,” istilah Syafii Maarif bagi kelompok-kelompok radikal itu, menjadi populer.
Dan Siti Musdah Mulia dengan tegas mengajak khalayak menolak Arabisasi Islam di Indonesia. Demo ini sebenarnya tidak membela Ahmadiyah, melainkan membela hak hidup dan keberadaannya.
Wajah Islam-Politik Indonesia
Pada saat yang sama, kalangan Muslim progresif di ibukota baru-baru ini menyambut tamu terkenal, yaitu Muslimah dan lesbian Kanada asal Uganda, Irshad Manji, yang menyerukan ijtihad yang amat kritis terhadap Islam, dan menolak Arabisasi Islam. Sementara sambutan publik terhadap film “Ayat Ayat Cinta” menunjukkan betapa semua itu aliran itu, yang moderat dan radikal, dapat bersatu memuji film itu.
Namun, pada saat yang sama juga, seruan Bakor Pakem agar Ahmadiyah menghentikan kegiatannya, telah mendorong kaum radikal mengintimidasi Ahmadiyah. Seruan “bunuh” oleh tokoh FPI beredar di YouTube, dan menjadi pembicaraan media. Kemudian pembakaran sebuah masjid Ahmadiyah terjadi di Sukabumi.
Jadi, seperti apa sebenarnya watak Islam dan Islam-politik Indonesia yang menjadi kebanggaan bangsa, karena dianggap terbesar di dunia dan moderat itu? Islam-politik yang easy going atau santai, seperti dikenal sampai tahun 1960-an, atau Islam-politik yang setengah santai tapi mendambakan puritanisme atau kemurnian yang dianjurkan oleh para penentang Ahmadiyah?
NU dan Muhammadiyah
Dua ormas Muslim terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menjadi simbol sekaligus bukti kemoderatan. Mereka tidak mendukung SKB, tetapi kebanyakan politisi Muslim cenderung mengimbau kesabaran dan menolak kekerasan terhadap Ahmadiyah, tanpa mempertanyakan keabsahan Bakor Pakem dan usulan SKBnya. Keragu-raguan arus utama ini juga tampak dari Milad, yaitu pesta hari ulang tahun PKS baru-baru ini, yang dihadiri, jadi, diperhitungkan, oleh semua calon Capres 2009.
Dengan kata lain, meskipun hanya kelompok radikal yang menghujat dan memburu Ahmadiyah, namun arus utama Islam, termasuk juga sebagian NU yang menyebut diri “muslim konstitusional,” masih segan, dan sungkan, untuk menegaskan watak sekuler dari negara yang tidak sepantasnya mencampuri keyakinan warganya.
Walhasil, isu Ahmadiyah menunjukkan, pada akhirnya, nilai-nilai dan penghayatan religius menjadi primat, yaitu ihwal paling utama, di atas demokrasi.
Dengan demikian, penyikapan soal Ahmadiyah harus mengkualifikasi demokrasinya Indonesia. Pertikaian elite soal Ahmadiyah menjadi catatan penting seberapa kuat demokrasi di negara yang katanya salah satu paling demokratis di Asia ini.
Namun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih menunda-nunda, ketimbang menegaskan sikap.
(Sumber: Milis KMNU)