Demikian pernyataan sikap sejumlah organisasi dan institusi yang tergabung dalam Warga NU Cirebon yang antara lain, Gerakan Spiritual Muda Cirebon, Pesantren Muftahul Muta’alimin Babakan Ciwaringin, pesantren Khatulistiwa Kempek, Komunitas Seniman Santri (KSS) Babakan Ciwaringin. Lalu, Lakpesdam NU Cirebon, IPNU dan IPPNU Cirebon, KMNU Cirebon, PMII Cirebon, Fahmina Institute dan ICMI Muda Cirebon.
Pernyataan sikap bersama warga NU Cirebon yang dibacakan Akbaruddin Sucipto (Lakpesdam NU Cirebon) di pesantren Khatulistiwa Kempek, Selasa (6/5) itu dihadiri langsung para ketua/perwakilan organisasi yang disebutkan di atas. Termasuk di dalamnya pengasuh pesantren Khatulistiwa, Habib Syarief Utsman Yahya dan ketua ICMI Muda, Nurruzaman, M.Si.
Butir pernyataan sikap lainnya, warga NU menuntut kepada seluruh aparat keamanan dan ppenegak hukum NKRI untuk menindak tegas para pelaku kekerasa dan pengrusakan tempat ibadah atas nama agama dan dengan dalih apa pun. Selanjutnya, menyerukan kekpada seluruh masyarakat di wilayah hukum NKRI untuk bersikap arif dan bijaksana dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi belakangan ini.
“Kami tidak sepakat dengan SKB tiga menteri, sebab hal tersebut sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal 29 yang mengatur kebebasan beragama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Jadi, Negara harus menjamin dan melindungi seluruh warganya dalam menganut dan memeluk agama. Jika SKB itu keluar, berarti pemerintah telah melanggar konstitusi NKRI” papar Abah Usman.
Ketua PCNU Kabaupaten Cirebon, KH. Ali Murtadlo, M.A., melalui sekretarisnya, KH. Lukman Hakim, M.A., saat dikonfirmasi mengatakan, apa yang disampaikan sejumlah otonomi NU (di bawah NU) merupakan hak prerogratif mereka masing-masing.
Saat ditanya sikap PCNU kabupaten sendiri terhadap pro kontra SKB untuk membubarkan aliran Ahmadiyah dari Indonesia Lukman menjawab diplomatis, NU bukan lembaga yang kewenangan untuk menentukan apakah aliran Ahmadiyah sesat atau tidak.
“Termasuk masalah dibubarkan atau tidak aliran Ahmadiyah, kami serahkan kepada pemerintah. Yang jelas, kami minta persatuan dan persaudaraan dijaga. Jangan samapai ada tindak kekerasan ataupun pengrusakan dengan adanya pro-kontra tersebut. Aparat keamanan dan penegak hukum harus berperan aktif untuk menjaga ketertiban di wilayahnya masing-masing,” pintanya.
Sementara itu Guru Besar STAIN Cirebon, Prof. Dr. Adang Djumhur, M.Ag., mengharapkan agar para Kiai, ulama, atau pemimpin umat dan tokoh masyarakat tampil di depan untuk menciptakan suasana yang kondusif. SKB jangan dijadikan legitimasi atau pembenaran untuk melakukan pengrusakan terhadap aset-aset Ahmadiyah.
Sementara itu Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendagri, Menag dan Jaksa Agung terkait dengan Jemaat Ahmadiyah akan dikeluarkan dalam minggu ini. “Pokoknya dalam minggu ini diumumkan. Karena masih ada draf-draf yang perlu diperbaiki,” ujar Hendarman di kantornya, Jl. Hasanudin, Jakarta, Selasa (6/5).
Reaksi FPI: Akan Bersilaturrahmi
Sementara itu ketua FPI Cirebon, Habib Muhammad al-Habsyi, mereka yang menolak keluarnya SKB 3 menteri dan hasil rekomendasi Bakorpakem termasuk dalam golongan yang tidak konsisten terhadap Islam Ahlusunnah Waljama’ah. “Pernyataan itu menunjukkan mereka tidak konsisten terhadap Islam Ahlusunnah Waljama’ah. Mereka berani menentang keputusan para ulama (MUI) dari tingkat daerah hingga pusat yang telah sepakat memutuskan bahwa aliran Ahmadiyah itu sesat dan menyesatkan umat,” ungkapnya.
Pembubaran dan penghapusan aliran Ahmadiyah di Indonesia merupakan sebuah keharusan. Terlebih lagi, Bakorpakem telah merekomendasikan kepada pemerintah pusat agar Ahmadiyah dibubarkan. “Mereka terlalu menganggap remeh pesoalan ini, dan sepertinya dijadikan bahan mainan saja. Padahal jika dibiarkan maka berapa jumlah umat Islam ke depan yang akan tersesat. Lalu apakah kita akan diam saja melihat kenyataan yang memprihatinkan itu di depan mata?” tanyanya.
Ia mengemukakan, pihaknya dalam waktu dekat akan segera mengumpulkan kembali para habib dan kyai untuk membuat pernyataan sikap yang berlawanan dengan mereka di pesantren Khatulistiwa.
Sumber: Mitra Dialog edisi 7 Mei 2008