“Gitu Aja kok Repot”
Pada banyak situs diberitakan,
Gus Dur, dalam satu acara peluncuran biografinya, menceritakan tentang kebiasan salah kutip oleh media massa atas berbagai pernyataan yang pernah dikeluarkannya.
Dia mencontohkan, ketika berkunjung ke Sumatera Utara ditanya soal pernyataan Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew tentang gembong teroris di Indonesia, dia mengatakan, pada saatnya nanti akan mengajarkan demokratisasi di Singapura. Namun, sambungnya, media massa mengutip dia akan melakukan demo di Singapura.
Walah … walah, gitu aja kok repot!
sumber: okezone, Jum’at, 29 Mei 2009 – 13:06 wib
Meski tidak mencerminkan sikap utuh Gus Dur atas media massa, tetapi itulah sekelumit realitas relasi Gus Dur dan media massa yang mem’plintir’ pemberitaannya. Gus Dur tampak tidak peduli dengan pemberitaan media massa tentang dirinya. Dia menghargai hak media massa atas pemberitaan. Ini tidak lain, karena Gus Dur juga sadar atas haknya untuk membantahnya, mengklarifikasinya, dan meralatnya atas pemberitaan tersebut. Jadi, Gus Dur dan media massa pada dasarnya saling menghargai hak masing-masing.
Pejuang Kebebasan Pers
Tidak saja menghargai hak-hak media massa, Gus Dur malah memperjuangkan kebebasan berpendapat, berpikir, berekspresi, termasuk kebebasan pers dalam banyak kesempatan sepanjang hidupnya. Perjuangan ini tidak saja dilakukan melalui tulisan dan cermahnya di mana-mana, melainkan juga sikapnya yang sangat berani dan tegas tentang kebebasan pers. Kita masih ingat dua dekade yang lalu, di tengah semua orang Islam—termasuk Cak Nur—marah dan mengecam atas tulisan Arswendo Atmowiloto di Tabloid Monitor yang menempatkan Nabi Muhammad pada urutan ke-11 sebagai tokoh paling dikagumi, jauh di bawah Soeharto dan BJ Habibie, Gus Dur malah membelanya. Tulisan ini adalah hasil polling yang dilakukannya. Atas tulisan yang dianggap melecehkan Nabi Muhammad ini, oleh rezim Orde Baru Tabloid Monitor dibredel pada 23 Oktober 1990.
Gus Dur membela Tabloid Monitor, bukan pada isi tulisannya, tetapi atas kebebasannya untuk berpendapat, berpikir, berekspresi, dan menuliskan hasil polling di media massa, dan menentang pembredelan pers oleh Negara. Gus Dur kokoh dengan pendirian kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berpendapat, meskipun dikecam oleh umatnya sendiri. Hal yang sama terjadi pada kasus goyang Inul dan Ahmad Dhani. Meskipun bertentangan dengan seleranya, mengurangi popularitasnya dan berbeda dengan pendapatnya, Gus Dur tetap membelanya atas nama kebebasan berekspresi, kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Tidak hanya itu, dalam catatan Wahyu Muryadi, mantan Staf Khusus Bagian Protokoler Istana Negara, Gus Dur semasa menjadi Presiden membuka akses seluas mungkin untuk para jurnalis yang ngepos di Istana Negara. Jumlahnya melonjak hingga delapan kali lipat dari sebelumnya: dari 100 menjadi 800 orang jurnalis di Istana Negara. Dari masa kepresidenan yang hanya 21 bulan saja (1999-2001), Gus Dur telah menancapkan fundamental kebebasan pers melalui UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
The News Maker
Dalam konteks ini, Gus Dur memang bukan saja pemikir dan pejuang, tetapi juga tokoh puncak yang paling berani memperjuangkan kebebasan dan demokrasi. Tengok saja, sikapnya yang mengunjungi Jerusalem Israel, justru pada saat sebagian besar dunia Islam masih belum bersahabat dengan negeri Zionis itu. Dia juga berdampingan dengan Romo Sandyawan bertindak melawan arus, ketika seolah dia berpihak pada tokoh-tokoh buronan peristiwa 27 Juli 1996. Dia pulalah yang mendampingi Uskup Belo yang dianggap melawan rezim saat itu guna menerima Hadiah Nobel Perdamaian di Oslo.
Keakrabannya dengan media tentu bukan hanya saat itu. Sejak awal karir intelektualnya di era 70-an, Gus Dur sudah sangat akrab dengan media, khususnya media cetak. Arswendo Atmowiloto dalam tulisan obituari yang “intim” di Suara Pembaruan, 13 Desember 2009, cukup menggambarkan keakraban ini. Selain sebagai penulis dengan minat yang amat luas (komentar film, pertandingan sepak bola, atau soal politik), Gus Dur adalah sumber penting yang ditunggu-tunggu jawabannya oleh para wartawan saat ia tengah mengetik di gedung Kompas saat itu. Tentang apa saja!
Sepanjang perjalanan hidupnya, Gus Dur bukan saja menjadi narasumber yang penting bagi media massa, tapi justru memerankan media massa itu sendiri. Sebagai media massa, Gus Dur tidak saja memberi informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, tetapi juga sering memberi informasi “yang tak terpikirkan” dan “yang tak diketahui” banyak orang, bahkan dipandang “tabu.” Gus Dur menggunakan media massa untuk mengajak orang berpikir kritis, bergerak, dan humor dalam menyikapi ketidakadilan dan ketimpangan sosial.
Atas sikapnya dan kedekatannya dengan pers, Gus Dur pernah ditetapkan sebagai Man of The Year 1998 oleh Majalah berita independent REM, dan Man of the Year 1990 oleh Majalah Editor. Disebutkannya, “Gus Dur, man of the year 1990, often controversial and not afraid to be independent.”
Meski begitu, Gus Dur tetap sangat kritis terhadap media massa. Terutama di penghujung kepresidennya, ia pernah mengkritik dan kecewa terhadap media massa yang tak lagi berimbang, dan turut “menjatuhkan” Gus Dur melalui pemberitaannya. Kritik atau protes Gus Dur terhadap sikap media massa seperti itu dilakukannya dengan cara emoh diwawancari. Ini adalah haknya.
Krtitik Gus Dur terhadap media massa tidak menyurutkan sama sekali kayakinan dan posisi penting pers dalam perjuangan demokrasi. Dalam beberapa tulisannya, Gus Dur secara tegas memosisikan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Bahkan Gus Dur memosisikan pers sebagai salah satu dari 8 kelompok strategis yang sangat berpengaruh dalam kehidupan bangsa Indonesia. 8 kelompok strategis itu adalah birokrasi, partai politik, pers, pengusaha, LSM, tentara, Ormas, dan kelompok profesi.
Catatan Akhir
Sungguh tidak mudah menjelaskan hubungan Gus Dur dengan media massa. Gus Dur adalah manusia independen, dan media massa adalah agen yang complicated, yang seharusnya juga independen. Keduanya adalah subyek independen yang saling mem[di]butuhkan dan me[di]manfaatkan. Banyak ‘faktor’ yang mempengaruhi relasi Gus Dur dan media massa. Faktor ini kadang datang dan pergi, sesaat, tidak permanen, dan sekadar hinggap saja.
Relasi Gus Dur dan media massa sulit diprotret secara utuh dan menyeluruh, kecuali dengan teori tertentu atau ‘kaca mata’ tertentu yang secara sengaja kita pilih. Tetapi memotret hanya dengan satu teori atau ‘kaca mata’ tertentu bisa berakibat pada penundukan—atau paling tidak, simplifikasi—atas realitas yang sangat kompleks dan tak berbatas. Sebaiknya memang kita berusaha memotretnya secara utuh dan menyeluruh, membacanya, menganalisisnya, dan menyimpulkannya hingga menemukan suatu teori atau konsep tertentu tentang hubungan Gus Dur dan media massa. Bahwa hasil akhir dari teori atau konsep itu butuh pengujian terus menerus dengan realitas yang berbeda, tentu saja adalah keharusan ilmiah. []
*Marzuki Wahid adalah GusDurian dan Deputi Rektor ISIF Cirebon