Gamelan-gamelan itu laris manis bak kacang goreng. Terutama gamelan berukuran mini. Awalnya, kami (reporter fahmina-institute) mengira gamelan-gamelan itu hanya mainan biasa untuk anak-anak. Tapi ternyata memang asli gemelan, bisa membunyikan nada sesuai dengan kunci nada dari lagu yang kita inginkan. Hanya saja, sebagian besar bentuknya mini. Untuk sebuah gamelan yang bisa membunyikan nada do re mi dengan sempurna, harganya masih sangat terjangkau. Di desa Kondangsari, masih dijual senilai 3500 rupiah per gamelan, di tiga wilayah Cirebon dijual senilai 4000 rupiah per gamelan, sedangkan untuk luar tiga wilayah Cirebon dan luar Jawa, dijual senilai 5000 rupiah per gamelan. Ya, gamelan-gamelan itu sampai sekarang masih dibuat para perajin gamelan di Desa Kondangsari, Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon.
Kami juga sempat heran, ketika pertama kali melihat tumpukan gamelan yang siap dijual ke Kalimantan. Karena di tengah menjamurnya mainan-mainan modern, gamelan mini itu tetap bertahan. Uniknya, para perajin di desa Kondangsari tidak hanya membuat gamelan mini, mereka juga masih banyak yang membuat mainan jaman dulu. Para perajin itu bisa ditemukan di tiap rumah. Mainan yang pernah popular di tahun 1960-an. Seperti manuk-manukan (burung-burungan) yang terbuat dari kertas dengan hiasan plastik warna-warni emas perak, ada juga terompet dari kertas dan dihiasi dengan plastik warna-warni hingga terkesan meriah.
Namun yang sampai sekarang masih mendatangkan untung besar adalah gamelan. Alat musik tradisional yang membunyikan nada do re mi. Kenapa kami menyebutnya nada do re mi, karena sebelumnya nada gamelan itu hanya dibuat khusus nada lagu-lagu Sunda dan belum dibuat khusus nada-nada lagu modern. Asal mulanya, alat musik ini hanya untuk menghantarkan wayang kulit. Kini, karena sengaja dibuat nada do re mi, maka lagu apapun bisa dibunyikan. Seperti diakui Oyo Darmaya (53), dibandingkan kerajinan lainnya, gamelan sudah dibuat perajin di Desa Kondangsari dari tahun 1956.
“Tahun 1956 itu baru ada satu perajin, bernama pak Soleh. Kemudian tahun 1960-an sudah muncul tiga perajin handal. Mereka membuat dan menjualnya. Ini kan do re mi, salendro, jaman dulu lebih khusus untuk lagu-lagu Sunda. Salendro itu dari Jawa. Kalau yang dibuat sekarang ini do re mi, kalau dulu namanya lerog,” paparnya sambil menunjukkan bagian-bagian dari gamelan mini di depannya.
Mandiri
Seperti para perajin dan pengusaha gamelan lainnya, Oyo tidak hanya menjual gamelan-gamelan mininya ke Cirebon, kini telah merambah ke Jakarta dan luar Jawa seperti Palembang, Sumatra, dan Riau. Sebagai perajin sekaligus penjual gemelan, Oyo mengaku masih baru. Baru dua tahun. Karena sebelumnya dia hanya membuat saja, alias mengikuti orang tuanya. Dalam satu hari, kini dia dan beberapa pekerjanya mampu membuat 6000 do re mi. “Selama ini, selalu laku karena ini murah. Pasarannya juga semakin ramai. Untuk jaman sekarang memang aneh. Kita sering bikin 15 ribuan do re mi dan dalam sebulan tetap habis. Menjual mainan ini seperti menjual sayuran, karena selalu laris manis,” jelas Oyo.
Kendati begitu, Oyo masih mengaku menjual secara mandiri. Maksudnya, dia mempekerjakan orang lain untuk menawarkan dagangannya hingga ke luar Jawa. Biasanya mereka akan kembali lagi setelah sebulanan dan terjual habis. Seperti di Kalimantan, Oyo mengaku dagangannya cepat laku. Hal itu diakuinya karena gamelan yang dijualnya memiliki keunikan tersendiri. Baik dari proses pembuatannya maupun bahan-bahan yang dipilih untuk membuat gamelan tersebut. “Tapi mereka (para pekerjanya) juga tak jarang melebihi sebulan, jika kesulitan mendapatkan transportasi dengan biaya miring. Mereka mau tidak mau harus menunggu sekitar 4-5 harian,” ujarnya.
Diakui Oyo, selama ini peran pemerintah masih sangat mini. Terutama dalam upaya melestarikan produk budaya, terbukti belum adanya bantuan dari pemerintah baik modal maupun pelatihan. Oyo sendiri, pertama kali membuka usahanya, cukup dengan modal 3 juta. Tapi kini, dengan uang 3 juta belum bisa. “Sekarang harus 10 juta punya modalnya. 3 juta itu hanya cukup untuk 50 ribu brim. Karena 30 brim saja itu sudah 2 juta,” jelas Oyo.
Butuh Ketrampilan Khusus
Membuat gamelan mini yang dijual Oyo ternyata tidak segampang yang terlihat. Karena menurutnya, selain membutuhkan para perajin handal, mengolah bahan-bahannya juga harus teliti dan jeli. Seperti salah satu perajin yang disewanya, namanya Maman (21), warga Kondangsari. Dibandingkan perajin seumurannya, Maman tergolong perajin yang cukup handal menciptakan irama do re mi.
Proses pembuatan dan bahan yang dipilihnya juga cukup unik. Contohnya, ketika membuat alas penyagga yang ditempatkan untuk menyangga besi, Maman membutuhkan waktu sekitar tiga tahunan agar handal membuat nada do re mi yang dibunyikan dari besi. Besi yang digunakan juga harus melalui proses pembakaran terlebih dahulu. Sedangkan sumbu sebagai alas besi tersebut, dibuat dari rumput (eri) khusus yang dibungkus dengan kertas semen. Bahan-bahannya, biasanya meredak beli di Cikalahang. Sekarang, sumbu-sumbu itu mudah didapat alias harganya mulai turun, karena masyarakat lebih banyak menggunakan gas.
Maman mendapatkan bayaran senilai 100 rupiah per besi do re mi. Sehingga, jika dalam sehari kerja mendapatkan 400 besi, maka Maman mendapatkan upah senilai 40.000 rupiah. Selain Maman, juga ada pekerja yang khusus mengecat papannya, yang memaku besi ke papan, yang membakar besi, dan yang membunyikan irama. Menurut Maman, tingkat kesulitan membuat do re mi, ini tergantung bahannya. Kalau besinya lebih tebal, biasanya kurang pas nadanya. Cara pembuatannya juga harus rapih. Kalau tidak, maka tidak menarik.
“Kalau membakarnya kelamaan, maka tidak enak bunyinya. Jadi harus dikontrol. Kalau pengen bisa, itu sekitar 3 tahunan agar bisa memadukan nada do re mi. Harus hapal juga bunyi do re mi-nya,” papar Maman. Maman juga mengaku tertarik menekuni ketrampilan membuat nada do re mi. Karena selain bayarannya lebih, juga ada kesenangan tersendiri. Tak banyak orang yang mampu memadukan nada do re mi. Sehingga, Maman tak jarang diminta bekerja oleh lebih dari satu pengusaha.(a5)