Oleh: Dr. (HC) KH. Husein Muhammad, Ketua Umum Yayasan Fahmina
Abu al-‘Ala al-Ma’arri dikenal sebagai seorang cendikiawan, pemikir bebas dan filsuf. Tetapi namanya lebih masyahur sebagai penyair kelas atas dan sastrawan besar. Nama lengkapnya adalah Abu al-‘ala Ahmad bin Abd Allah bin Sulaiman al-Tannukhi al-Ma’arri. Al-Tannukh adalah sebutan yang dihubungkan dengan asal daerah nenek moyangnya di Tannukh, Yaman.
Disebabkan oleh banjir besar akibat jebolnya bendungan Ma’rib, keluarga itu pindah ke Siria. Sementara kata Ma’arri dihubungkan dengan daerah kelahirannya, Ma’arri al-Nu’man, di Siria Utara.
Ia lahir tahun 363-449 H/973-1057 M. Abu al-‘Ala bermakna bapak yang tinggi (mulia). Ini adalah julukan kehormatan yang diberikan masyarakat kepadanya. Ma’arri sendiri seperti tidak berkenan dengan panggilan ini. Ia dengan rendah hati mengatakan dalam puisinya :
دعيت أبا العلاء وذاك مين ولكنّ الصّحيح أبو النزول
Aku dipanggil Abu ‘l-‘Ala’ (yang tinggi). Ini tidaklah benar,
Yang benar ialah Abu ‘n-Nuzul (yang rendah).
Mengalami Kebutaan
Pada usia sekitar 3 tahun al-Ma’arri mengalami sakit panas, cacar yang pada gilirannya mengganggu penglihatannya. Tidak lama kemudian pada usia 6 tahun ia tak bisa melihat lagi.
Tetapi keadaan ini tidak membuatnya putus harapan untuk terus belajar. Malahan justeru membawa hikmah yang besar. Keadaan itu membuat pikirannya berkembang cepat, ingatannya sangat kuat dan genius. Beberapa penulis tentang tokoh ini menyebut al-Ma’arri sebagai “A’jubah min A’ajib al-Zaman” (salah satu tokoh yang sangat mengagumkan).
Al-Ma’arri selalu mengingatkan saya pada sosok cerdas lain yang juga mengalami kebutaan total : Thaha Husein, sastrawan besar Mesir. Thaha Husein sendiri tampak sangat mengagumi al-Ma’arri. Ia menulis sebuah buku berjudul : “Dzikra Abi al-‘Ala” (Kenangan terhadap Abu al-‘Ala) dan sebuah novel : “Abu al-‘Ala fi Sijnih” (Abu al-‘Ala di dalam Penjara).