Senin, 23 Desember 2024

Ada Nilai Kedamaian di Pesantren

Oleh: Andi Wisnu Silaban

Baca Juga

Nama saya Andi Wisnu Silaban, si anak Medan yang lahir di Jakarta. Saat ini mahasiswa semester 2 di Sekolah Tinggi teologi (STT Jakarta) yang sedang praktik lapangan di lembaga Fahmina Instititute. Fahmina institute saat kutahu, merupakan lembaga yang bergerak di bidang isu sosial dan keagamaan terutama pesantren yang juga rutin menerima mahasiswa dan mahasiswi STT Jakarta yang sedang praktek lapangan sejak tujuh tahun yang lalu.

Pada hari Rabu, 19 Juli kemarin merupakan momen tak terlupakan bagi diri saya. Begini ceritanya,  Fahmina Institute pada saat itu diundang untuk menghadiri Launching MA’HAD ALY & Peresmian gedung Fokal di Pondok  Kebon Jambu Al-Islamy, Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Ketika saya diajak oleh Ibu Roziko dan Mas Zaenal untuk mengeikuti acara di pesanten jujur saya masih memiliki perasaan ketakutan, ketakutan saya adalah penampilan.

Dalam pikiran saya bertanya-tanya, “saya pake baju apa yah kesana?”  saya takut diasingkan dan dipandang jelek oleh anak-anak pesantren yang ada di sana karena penampilan yang sangat berbeda dengan mereka dan juga saya masih memiliki ketakutan di dalam pikiran saya mengenai perbedaan agama ” apakah mereka akan mengasingkan saya ketika mereka tau bahwa saya orang Kristen?.”

Tetapi ketakutan yang saya miliki, saya kurangi dengan tujuan yang baik, bahwa saya kesana untuk belajar mengenal keberagaman agama yang ada di Indonesia  dan juga saya mau tahu kehidupan di Pesantren yang sebelumnya tidak pernah saya menginjakkan kaki ke sana.

Di perjalanan Mas Zaenal yang juga mentor saya selama di Fahmina menerangkan kehidupan di pesantren dan juga bercerita tentang Kyai Gus Mus sebagai pembicara dalama acara itu. Awalnya mas Zaenal menanyakan kepada  saya “ Ndi kamu baru ini ikut acara di pesantren?” Jawab saya ”iya mas”.

Mas Zaenal menerangkan kepada saya kehidupan pesantren yang memiliki jam belajar yang sangat padat. “ Mereka di pesantren tuh ndi belajar Formal dan Informal, yang formal adalah belajar seperti yang biasanya dan informal adalah belajar mengaji dan juga belajar agama yang lebih mendalam dibandingkan dengan pembelajaran yang ada disekolahan dan waktu belajar mereka tidak sama dengan sekolahan yang biasa karena bisa dibilang mereka belajar full day. Nah kalau kyai gusmus itu kamu pernah denger ngga namanya? Tanya mas zaenal  “Engga mas” , “Jadi kyai Gus Mus adalah seorang tokoh yang sangat terkenal dan juga sangat panutan dikalangan Nadathul Ulama (NU) “ Ujar mas zaenal.

Disaat kami sedang berbincang, Kang Marzuki Rais, sekretaris Yayasan Fahmmina yang kebetulan satu mobil ikut memberikan informasi kepada saya;

”Kalau Kiyai merupakan sebutan atau panggilan kepada seseorang yang dianggap baik dalam pendidikan Islam dan juga kelembagaan Islam, jika ingin menjadi Kiyai maka harus memiliki pengetahuan agama yang baik untuk bisa dikembangkan kepada masyarakat dan berpengaruh di masyarakat. Selain itu juga ia dapat membuat kelembagaan atau pondok pesantren maka ia dapat disebut Kiyai. Ada panggilan yang khas di beberapa daerah untuk menunjukkan orang yang ahli agama,  Kiyai merupakan panggilan yang ada dijawa saja, kalau di aceh Tengku, di Sumatra Buya dan jika di Lombok Tuan Guru, jika ada sebutan Kiyai di luar Jawa, mereka berarti orang-orang yang merantau atau mereka masih mengingat kultur mereka, itulah uniknya Islam si Nusantara,  Ndi”.

Sesampainya rombongan di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, kami bergegas memasuki rumah Nyai yang mengelola pondok pesatren tersebut. Pikiran jelek saya hilang setelah melihat mereka yang sangat baik sekali menyambut rombongan kami dengan wajah yang senang dan ceria. Ketika saya berkenalan dengan para santri yang ada di sana mereka pun tidak menampakkan wajah yang kurang baik kepada saya, justru mereka menjamu saya dengan baik,  sampai-sampai saya diajak untuk makan bersama dengan mereka.

Ini merupakan bukti bahwa mereka tidak mengasingkan saya walaupun mereka tau saya orang Kristen. Hal ini pun memberi saya sebuah pengetahuan bahwa Islam yang dipandang jelek oleh orang-orang diluar sana adalah kesalahan yang sangat besar, karena Islam yang  sebenarnya adalah islam yang cinta perdamaian, cinta perbedaan dan cinta kerukunan.

Pondok pesantren tersebut tidak memiliki Kiyai, karena para Kyai mereka sudah meninggal dunia, maka dari itu Nyai yang meneruskan peninggalan suami-suami mereka. Nyai pertama adalah seorang istri dari Kyai yang mendirikan KH Muhammad Podok Pesantren Jambu tersebut yaitu Nyai Hj. Masriyah Amva. Sedangkan yang kedua adalah Nyai yang merupakan menantu yang baru saja mengenang suaminya yang ke 40 hari. Jadi merekalah yang turun langsung untuk membantu mendidik santri-santri yang ada di pondok pesantren tersebut.

Saya berkesempatan menyimak Nyai masriyah memberikan sambutan, kurang lebih ia bercerita  mengenai betapa bangganya dan senangnya podok pesantren mereka kedatangan Kiyai Gus Mus yang sudah lama diundang dan baru dapat hadir pada malam itu. Nyai juga menyampaikan beberapa kelu-kesannya mengenai tidak ada lagi Kiyai di pondok pesantren mereka yang sebagai panutan, tetapi Nyai berpesan dan meyakinkan kepada santrinya;

” jika ada orang yang bilang Kiyai-nya meninggal, kita jangan pernah putus asa karena Kiyai yang sesungguhnya adalah Allah SWT. Karena yang sebenarnya Kiyai yang telah meninggal tersebut hanya pendakwah-Nya saja. Kiyai kita adalah Allah, Ia yang tidak pernah mati dan Ia yang selalu menyertai kita, jadi kita tidak perlu bersandar kepada siapapun, bersandarlah kepada Allah SWT”.

Ketika waktunya Gus Mus memberikan ceramahnya, seketika gemuruh suara yang semangat dari para peserta yang hadir mengikuti acara tersebut. Gus Mus mempunyai karisma yang sangat tinggi, sampai orang-orang berbondong-bondong mengikuti acara tersebut dan juga setia menanti ceramah yang dibawakannya. Dalam kesempatan itu pula saya tidak mau melewatkan momen ini, setiap apa yang diucapkan Gus Mus saya coba rekam dan mencatatnya.

Gusmus membuka ceramahnya dengan mengutarakan isi hari akan kegembiraannya melihat geliat santri yang semnagat belajar agama meskipun ia pun mengutarakan kegelisahannya akan fenomena keagamaan yang terjadi.

”Saya merasa malam ini kiamat masih lama waktunya, walaupun kiamat sudah lewat tanggalnya 12-12-2012, karena malam hari ini saya melihat wajah-wajah yang semangat untuk belajar agama dan merefleksikkannya.

Saya sering melihat di media sosial dan televisi, banyak orang yang merasa Islam banget, tapi mereka yang beranggapan Islam banget tidak pernah ke pesantren dan juga tidak pernah mencari ilmu dipesantren, dari mana ilmunya?. Itulah bukti dari kebohongan tersebut.

Saya juga sering mendengar para toikoh-tokoh agama yang mengatakan bahwa jangan percaya kepada Kiyai, lebih baik kita balik ke Al-Quran, ini merupakan suatu kebodohan yang sangat besar karena mereka yang memiliki pemikiran tersebut merupakan pemikir instan. Kenapa dikatakan Instan karena jika kita langsung menafsir Al-Quran sendiri tidak didampingi oleh orang-orang yang mengenal dalamnya maka kita akan sama sekali tidak mengerti dan juga tidak paham apa yang kita baca, sedangkan tugas Kyai adalah seperti itu, mengajarakan, memberi ilmu dan juga mendidik orang-orang yang mau belajar Al-Quran. Coba kalo tidakada Kiyai siapa yang ditanya tentang itu semua?” Jelas Gus Mus.

Gus Mus juga menyampaikan beberapa keistimewaan yang dimiliki Pesantren. Pertama adalah pesantren memiliki kemurnian ilmiahnya, contohnya: Kamu tau dari mana ilmu ini, jawab saja dari Kiyai, Kiyai taunya dari mana dari gurunya, gurunya tau dari mana, dari gurunya, jika terus diurutkan maka akan ketemulah akhir yang mengajarkan ilmu tersebut, itulah bukti dari kemurnian ilmiah yang diajarkan pesantren tidak hanya ilmu yang bisa tetapi ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan.

Kedua, kata Gus Mus adalah pesantren juga mengajarkan para santri-santri wanita untuk belajar informal, karena harapan dari pesantren agar ketika mereka selesai dari pesantren maka mereka memiliki ijazah Negara dan ketiga adalah, merupakan bahwa pesantren tidak hanya memberi pendidikan informal tetapi juga menanamkan nilai-nilai keagamaan yang baik untuk moral, berbeda halnya dengan penanaman moral yang ada di sekolah-sekolah pada umunya. Malam cukup larut saat itu pula Gus Mus yang belakangan saya tahu nama lengkapnya KH Mustofa Bisri, menutup ceramahnya dengan doa bersama-sama.

Pengalaman yang saya dapatkan dari kegiatan Pesantren Pondok Jambu cukup mengesankan, beberapa di antaranya mengajarkan mengenai keberagaman itu indah, yang terbukti dari perbedaan keyakinan yang saya miliki dengan mereka, mereka tidak ada yang menyindir, menjelekan dan juga tidak ada yang mengasingkan saya, bahkan mereka mau duduk bersama-sama dengan saya. Kebaikan yang mereka berikan kepada saya membuktikan bahwa Islam itu indah, Islam itu damai, dan Islam itu cinta perdamaian.

Karena di semua agama mengajarkan cinta kasih yang menjadi pegangan untuk bersosialisasi dengan makhluk yang ada di dunia ini. Jika ada kerusuhan dengan atas namakan agama, maka tidak benarlah mereka mengamalkan nilai-nilai agama tersebut. begitupun pesantren, saya temukan nilai kedamaian di dalamnya. Hal ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya,belum tentu dirasakan oleh teman-teman yang lain.

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya