Jumpa pers para Kyai pesantren justru menuai tanggapan yang lain, terutama dari kelompok-kelompok Islam yang beraliran keras. Mereka menganggap bahwa para Kyai telah mengharamkan setiap orang untuk menyatakan sesat aliran Ahmadiyah. anggapan ini ditindak lanjuti oleh kelompok-kelompok Islam fundamentalis seperti FUI, MMI dan FPI dengan menggerebeg rumah Kyai. Mereka menuntut pertanggung jawaban atas penyataan para Kyai di media massa.
Pada hari yang sama, kaum muda NU juga melakukan musyawarah di Pondok Pesantren Babakan. Dalaam musyawarah itu, kaum muda NU juga memyesalkan pembubaran Ahmadiyah. “Negara tidak mampu melindungi hak kebebasan beragama bagi warganya” kata seorang anggota Musyawarah.
Hingga informasi ini ditulis, kondisi di Cirebon masih tampak tegang. Ratusan santri menunggui rumah-rumah Kyai. begitu pula kaum muda NU, GP Ansor, Pagar Nusa, PMII dan para pemuda desa juga turut bergabung. Mereka menjaga rumah-rumah Kyai yang di indikasikan akan diserang kelompok-kelompok Islam garis keras.
Mendudukan Persoalan Dengan Benar
Terkait dengan fenomena sesat menyesatkan ini, ada pertanyaan menarik, kenapa umat beragama membutuhkan negara? Pertanyaan ini banyak dijawab oleh para ulama abad pertengahan hijriyah seperti Al Ghozali, Syafi’i dan lain-lain. Dalam kitab Ahkamu Assulthaniyyah, Al mawardi menjelaskan arti penting kehadiran negara. Salah satunya adalah dapat melindungi ummat untuk melakukan Ibadah dan mendekatkan diri pada Allah.
Bagi Almawardi fungsi negara dapat melindungi warganya untuk beraktifitas berdasarkan keyakinan yang dianut. Semangat ini juga sebenarnya telah tertuang dalam undang-undang negara kita republik Indonesia. Indonesia yang mempunyai beragam agama menjamin kebebsan bagi para pemeluk agama untuk menjalankan aktivitas keberagamaannya sesuai dengan keyakinan masing masing.
Tetapi hal ini tidak berlaku bagi Ahmadiyah. Negara tidak melindungi hak kebebasan beragama mereka. Ahmadiyah di Indonesia kini nyawanya dicabut melaui fatwa MUI dan keputusan BAKORPAKEM. Mereka didiskreditkan, disakiti, dan dirusak tempat taqarrub mereka kepada Allah. Iya atau tidak, kita pun tentunya mengamini anggapan bahwa negara kita sudah tidak lagi menjamin kebebasan umat beragama untuk menjalankan ibadahnya.
Padahal, jika kita mau jujur, justru Ahmadiyahlah yang peduli soal kemiskinan, pendidikan dan kesehatan. Mereka punya media informasi yang setiap hari memberitakan keramahan Indonesia di mata internasional. Apakah dengan membubarkannya kita harus mewujudkan rasa terima kasih kepada Ahmadiyah? Atau membiarkan gerak bebas “polisi agama” memfonis “sesat” pada setiap aliran keagamaan di Indonesia? Inikah model penghargaan kita kepada ahmadiyah. Lalu siapa yang akan menyusul Ahmadiyah? Orang-orang yang melakukan Tahlil? Ziarah? wallahu ‘alam Bissawab.[] Baca Pernyataan Sikap Kaum Muda NU.