I
Desa Gegerung, di daerah Ketapang, Pulau Lombok, adalah sebuah kampung etnik Sasak. Ia sebuah perkampungan padat dikelilingi sawah. Masjid Qurratul Ain, sebuah bangunan besar, terletak di perempatan jalan desa. Di sepanjang jalan ada beberapa tambang pasir. Di ujung desa, ada sederet rumah bekas terbakar, sebagian besar rusak, instalasi listrik mereka dicabut.
Rumah-rumah itu terbengkalai walau sawah sekitarnya dipenuhi dengan padi menguning.
Gegerung adalah saksi penganiayaan umat Ahmadiyah di Indonesia. “Penganiayaan paling menonjol, yang paling keras di Indonesia, terjadi di Pulau Lombok,” kata Syaeful Uyun, mubaligh Ahmadiyah di Mataram.
Pengusiran dan penganiayaan terhadap warga Ahmadiyah dimulai tahun 1999 dengan pembakaran masjid Ahmadiyah di Bayan, Kabupaten Lombok Barat. Satu orang meninggal, satu luka parah dibacok. Semua warga Ahmadiyah diusir dari Bayan. Pada 2001, penganiayaan terjadi di Pancor, daerah Lombok Timur, basis Nahdlatul Wathan, organisasi Islam terbesar di Pulau Lombok. Selama satu pekan, rumah demi rumah Ahmadiyah, diserang dan dibakar di Pancor. Ironisnya, pemerintah Lombok Timur memberikan dua opsi: boleh tetap di Pancor tapi keluar dari Ahmadiyah atau tetap di Ahmadiyah dan keluar dari Pancor. Semua warga Ahmadiyah memilih meninggalkan Pancor. Mereka ditampung mula-mula di Transito, sebuah bangunan pemerintah di Mataram. Lalu ada yang menyewa rumah, sekitar 300 orang. Biaya dibantu sebagian oleh organisasi Ahmadiyah. Dalam setahun, mereka mulai menata kehidupan. Ada yang tak berhasil, terlunta-lunta. Pada tahun 2004, organisasi Ahmadiyah membeli sebuah perumahan BTN di Gegerung, Ketapang, total 1.6 hektar, lalu dijual murah kepada anggota yang diusir dari Bayan, Pancor dan Praya.
Syahidin, seorang Sasak asal Praya, yang diusir dari desa Sambi Elen, Bayan, ketika tahu ada perumahan di Gegerung, mengatakan, “Saya pikir, ‘Apa yang mau saya jual?’ Saya ada tanah di Sambi Elen tapi orang-orang tak ada yang mau beli. Kebetulan ada rumah warisan kakek di Praya. Saya jual Rp14,5 juta. Ini untuk beli rumah BTN di Ketapang, total Rp17.5 juta. Akhirnya terbeli.” Keluarga muda ini praktis tak punya apa-apa di Ketapang, sesudah lari dari Sambi Elen dan hidup mengungsi di Mataram. “Sholat sama isteri, gantian itu bajunya. Hanya ada satu sarung,” kata Syahidin.
Zulkhair asal Pancor mengatakan dia juga beli rumah di Gegerung. “Saya bernaung di rumah milik paman. Mula-mula delapan rumah dibeli organisasi. Akhirnya, ada 17 rumah yang dibangun oleh eks pengungsi Pancor, ada juga yang dari Bayan serta Praya.”
Tahun 2005, mulai banyak warga Ahmadiyah tinggal di Ketapang. Kerja mereka tani dan dagang. Hubungan mereka baik dengan warga Ketapang. “Kita orang baru, mau bergaul dengan baik,” kata Zulkhair.
Khairuddin asal Selong, Lombok Timur, mengatakan, “Kita juga ikut ngiket besi sebelum pengecoran untuk masjid Qurratul Ain. Kami juga keluarkan biaya untuk bangun masjid. Saat pengecoran, tiga hari, kita ikut sampai akhir. Sebagian besar kami –tukang, petani, pedagang—ikut bangun masjid.”
Pada Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa di Jakarta. Isinya, Ahmadiyah ditegaskan “berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan.” MUI minta pemerintah Indonesia “… melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.” Fatwa tersebut mengacu pada fatwa MUI tahun 1980 serta keputusan muktamar Organisasi Konferensi Islam di Jeddah, Arab Saudi, Desember 1985, yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad, dan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, menerima wahyu dari Allah.
Fatwa MUI itu memicu penyerangan terhadap berbagai masjid dan rumah Ahmadiyah di Parung, dekat Bogor; Manis Lor, Kuningan; Tasikmalaya; Garut; Ciaruteun; dan Sadasari. Mayoritas warga Ahmadiyah di Indonesia adalah orang Sunda. Mereka punya jumlah cukup besar di beberapa desa di Bogor, Tangerang, Tasikmalaya dan Garut.
Di Gegerung, Zulkhair, seorang guru mengaji dan pengungsi kelahiran Pancor, mengatakan, “Sudah lebih 30 tahun saya ikut Ahmadiyah, tidak pernah saya dengar istilah Nabi Mirza.”
Suatu petang, ada dua murid Zulkhair, bertanya, “Apa benar Pak Zul ini Ahmadiyah dan mengaku kenabian Mirza Guhlam Ahmad?”
“Saya benar orang Ahmadiyah. Masalah kenabian saya tidak jelaskan karena bukan kelas kita untuk menjelaskan itu,” jawab Zulkhair.
Jawaban dari ujung desa itu cukup untuk mengguncang seluruh kampung Gegerung.
“Kalau mereka punya agama lain, jangan libatkan nama Islam,” kata H. Ahmad Chusairi, seorang petani dan imam masjid Qurratul Ain.
Pulau Lombok sebenarnya hanya punya beberapa ratus orang Ahmadiyah. Pengusiran dari Bayan, Selong, Praya dan Pancor membuat Ketapang menjadi satu-satunya desa dimana ada sejumlah warga Ahmadiyah.
Kota Mataram, ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat, juga ada orang Ahmadiyah namun mereka tinggal menyebar. Warga kota Mataram relatif lebih heterogen. Di Mataram ada banyak orang Hindu Bali maupun orang-orang Kristen Minahasa, Batak, Tionghoa dan lainnya. Pulau Lombok sebelah barat juga ada industri turisme, dengan Pantai Senggigi, hingga daerah ini relatif lebih terbuka daripada desa Sasak yang homogen macam Ketapang.
Di Ketapang, sesudah fatwa MUI, mulai muncul pengajian-pengajian kritis terhadap Ahmadiyah. Pertengahan Ramadhan, Oktober 2005, pengajian makin kencang. Menurut beberapa warga Ahmadiyah, dari loudspeaker masjid Qurratul Ain terdengar ceramah tuan guru Muhammad Izzi, seorang ulama-cum-politikus-cum-pengusaha pompa bensin dari Praya.
Lewat loudspeaker terdengar, “Usir orang Ahmadiyah BTN. Kalau masyarakat Ketapang tidak mampu mengusir, saya akan mendatangkan masyarakat dari tempat lain untuk mengusir mereka …. Darah Ahmadiyah itu halal!”
Khairuddin mengatakan ceramah itu membuat warga Gegerung berubah. Izzi tegas mengatakan, “Harus usir dari Ketapang. Kalau tidak sanggup, saya yang akan datangkan dari Praya,” tiru Khairuddin.
Rabu malam 18 Oktober 2005. Warga Ahmadiyah sedang mengaji. Ada dua pemuda naik sepeda BMW menemui Zulkhair, ‘Pak Zul, katanya rumah-rumah sudah dihancurkan!’
Sekitar pukul 21:00 ada pelemparan batu. “Lalu Imah Abidin datang menemui. Juga Ahmad Sofianti untuk tanya saya soal info dua anak itu,” kata Zulkhair.
“Saya suruh KWh dipadamkan. Kami menghadapi mereka, melihat lemparan batu.” Rumah Imah Abidin, Ahmad Sofianti dan Zulkhair termasuk paling dekat jalan, front terdepan penyerangan.
Agak mendalam, di rumah Syahidin, “Kami lagi tadarusan, tahu-tahu, ‘Ndang, ndang …’ Batu di atas,” kata Syahidin. “Saya lari, cari isteri saya. Dia lari ke tengah sawah, sembunyi di padi, gendong anak satu-satunya.”
Isteri Komaruddin, Rochiyah, juga melarikan diri ke sawah. Rochiyah hamil besar. Dia jatuh di pematang sawah dalam kegelapan malam.
“Teman-teman lain saya minta melindungi ibu-ibu dan anak-anak. Kami tiga orang saja hadapi 50 orang. Mereka sempat saling melukai, salah sasaran,” kata Zulkhair.
“Sekitar 20-30 menit, kami hadapi 50 orang, dilempari batu. Penyerangan berhenti ketika ada lampu mobil mendatangi perumahan. Mereka kira mobil polisi. Mereka (lari) menyebar. Ternyata tamu-tamu kami dari Sembalun, Lombok Timur. Sekitar 10-15 menit kemudian polisi datang.”
“Anehnya, polisi tidak menangkap pelaku penyerangan itu?” kata Zulkhair.
Keesokan hari, perut Rochiyah sakit. Ternyata dia keguguran. Janinnya, bayi lelaki.
“Anak saya trauma dengan teriak-teriakan,” kata Syahidin. Sejak Oktober itu perumahan BTN Ahmadiyah di Gegerung dijaga polisi.
Namun intimidasi dan teror jalan terus. “Kita katanya akan diserang besar-besaran sesudah Lebaran. Seminggu terus tegang. Selalu ada isyu akan diserang. Tiap malam ada teriakan, ‘Jihad! Serang! Bunuh!’” kata Zulkhair.
“Lebaran jatuh Rabu. Kita diundang ikut sholat Ied di masjid Qurratul Ain. Ada 11 orang ikut sholat di sana.”
Sesudah Lebaran, ada lagi pengajian Muhammad Izzi. Dari loudspeaker, beberapa warga Ahmadiyah mendengar Izzi mengancam, “Kalau orang-orang Ketapang tidak berani usir orang-orang dari BTN, saya akan bawakan dari Praya.” Izzi dilaporkan membuat deadline “tiga bulan” sesudah dia pulang dari ibadah haji.
Pada 31 Desember 2005, lebih ramai lagi. Tengah malam ada orang-orang melewati perumahan BTN.
“Paman saya dengan isterinya menabrak tembok dengar mau diserang. Sampai benjol kepalanya,” kata Zulkhair.
Pendek kata, selama tiga bulan mereka tidak bisa tenang tidur malam.
Sabtu, 4 Februari 2006, akhirnya terjadi penyerangan besar sekitar pukul 11:00. Beberapa polisi sedang jaga, tidur-tiduran di rumah Zulkhair. Warga Ahmadiyah sedang gotong-royong, menimbun lubang-lubang bekas truk pasir di jalan desa. “Kami bergurau, ‘Kita ini membikin jalan mulus untuk orang mulus menyerang kita,’” kata Zulkhair.
Tiba-tiba datang rombongan besar. Ada lebih dari seribu orang datang menyerang. Mereka lempar batu. Mereka teriak-teriak, “Serbu! Bakar!” Para polisi lari tanpa sepatu ketika serangan datang.
Warga Ahmadiyah bertahan. Beberapa rumah yang dekat jalan dibakar, termasuk milik Imah Abidin. Truk-truk polisi datang untuk evakuasi. Namun warga Ahmadiyah menolak. Mereka kuatir sekali evakuasi, mereka akan terusir selamanya. Para lelaki bertahan dengan pentungan kayu. Kaca-kaca pecah. Maret lalu saya masih melihat bekas penyerangan ini. Pintu didobrak atau jendela dipukul hingga hancur.
Pukul 13:30 serangan berhenti sebentar. Zulkhair sempat masuk rumah dan ambil Al Quran. “Saya anggap ilmu saya disana.”
Polisi mendesak Ahmadiyah evakuasi. Polisi jamin rumah-rumah mereka dijaga. Tapi rumah-rumah dibakar dan polisi membiarkan. “Adoh, apa kerjanya polisi?” pikir Zulkhair.
Polisi lantas menaruh ibu-ibu dan anak-anak dekat truk.
“Saya minta tak usah ikut polisi,” kata Zulkhair.
“Sudah beberapa kali kami dijarah, dibakar, diusir. Saya bawa tongkat untuk menepis tapi direbut polisi. Tapi orang-orang itu, bawa parang, tongkat, dibiarkan saja. Ini kan rumah saya? Kayu ini untuk jaga rumah saya. Polisi malah marah.”
“Ada haji pakai kayu memimpin gerakan, dibiarkan oleh polisi.”
“Pak itu kok dibiarkan?” tanya Zulkhair.
“Ndak, itu nonton,” kata polisi.
Ada lebih dari 1.000 orang menyerang. Polisi tak mencegah. Polisi justru mencegah Zulkhair dan kawan-kawan membela diri, membela barang dan rumah mereka. “Rumah bikinan saya sendiri dibakar sampai ludes,” kata Zulkhair.
Pukul 16:00, sesudah lima jam saling lempar, ibu-ibu dan anak-anak menangis. Mereka kelaparan. Orang-orang Ahmadiyah menyerah. Mereka naik dua truk polisi, dibawa ke gedung Transito di Mataram. Di sana mereka didata oleh Dinas Sosial. Mereka hanya bawa anak dan pakaian di badan. Anak-anak tidak bisa sekolah karena pakaian mereka dibakar habis.
Saya sempat keliling Gegerung namun tak ada satu pun mau terbuka bicara dengan saya. H. Ahmad Chusairi mengatakan pada saya bahwa dia tak tahu penyerangan itu. “Pas saya sedang sakit.” Dia bilang para pelaku orang-orang dari luar Gegerung. “Yang luka orang dusun Buwuh, desa Gunung Sari. Namanya Ilah. Parah lukanya. Karena orang Buwuh melihat orangnya luka parah, maka dibakarlah rumah Ahmadiyah.”
Saat penyerangan, Muhammad Izzi tidak terlihat. Saya menelepon Izzi, juga mendatangi Praya, namun dia menolak komentar. Seorang kenalan saya di Praya, Esti Wahyuni, seorang wartawan Jakarta yang akad nikahnya dilakukan Izzi, mengatakan, “Abah Izzi orang baik.” Esti tak tahu Izzi ceramah di Ketapang. Maskum, kepala desa Ketapang, mengatakan Muhammad Izzi tak persis bilang usir. “Dia bilang beri waktu tiga, empat bulan. Saya juga dengar begitu, tapi tidak bilang usir.”
Maret lalu hanya ada rumah-rumah rusak ada di ujung desa. Warga Ahmadiyah mengirim surat kepada Gubernur Zainul Majdi. Mereka memberitahu hendak kembali ke tanah dan rumah mereka. Majdi melarang. Lewat telepon, Majdi bilang kepada saya sebaiknya orang-orang Ahmadiyah itu minta suaka ke Australia.
II
Suatu sore saya pergi mengunjungi rumah tuan guru KH Muhammad Anwar di desa Duman, daerah Langsar, Lombok Barat. Tuan guru adalah sebutan untuk ulama Sasak. Anwar memimpin pesantren Darul Najah. Dia juga ketua Nahdlatul Ulama wilayah Nusa Tenggara Barat. Rumahnya terletak dalam area Darul Najah. Ada tiga set sofa di ruang tamu. Tembok warna hijau-biru tua. Ada buku Risalah Gerakan Ikhwanul Muslimin karya Hasan al Banna terletak di meja.
Anwar termasuk salah satu tuan guru yang dianggap bisa bicara dengan Ahmadiyah. Syaeful Uyun, mubaligh Ahmadiyah di Mataram, beberapa kali datang ke Duman. Anwar juga pernah datang ke Transito, tempat pengungsi Ahmadiyah, di Mataram. Saya tanya bagaimana Anwar melihat pengusiran Ahmadiyah di Pulau Lombok.
Saat serangan Februari 2006, Anwar bilang dia sedang berada di Jakarta. “Banyak yang luka, cacat seumur hidup. Mereka hanya 140an orang melawan ribuan orang … ya habis. Saya lihat di TV. Mereka janji mengubah penampilan dan berbaur dengan masyarakat,” kata Anwar.
Bagaimana melihat sikap pemerintah dan polisi? “Polisi kan juga menghitung. Bagaimana menghadapi suatu keributan? Lebih mudah mengevakuasi seratusan daripada menangkap ribuan.”
Anwar berpendapat Ahmadiyah “tidak nyambung” dengan masyarakat Sasak. “Mereka eksklusif, sering memisahkan diri, terutama dalam ibadah sholat Jumat. Kenapa tidak mau bersama?”
Ini makin peka karena Ahmadiyah ternyata punya pengikut di Pancor, jantung basis Nahdlatul Wathan.
Nahdlatul Wathan adalah organisasi yang didirikan oleh KH Zainuddin Abdul Majid atau “Tuan Guru Pancor” pada 1935. Salah satu cucunya, Zainul Majdi, menggantikan Majid menjadi ketua Nahdlatul Wathan pada 1997. Zainul Majdi seorang doktor ushuluddin dari Universitas Al Azhar, Kairo. Pada 2008, Zainul Majdi menang pemilihan umum sebagai gubernur Nusa Tenggara Barat dengan dukungan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bulan Bintang. Ibaratnya, Nadhatul Wathan kini sedang menikmati kebesaran pengaruh mereka. Kehadiran Ahmadiyah di Pancor ibarat duri dalam daging Nahdlatul Wathan.
Sejarah Ahmadiyah tak terlepas dari Mirza Ghulam Ahmad. Dia lahir pada 1835 dari sebuah keluarga elite di Qadian, Punjab, British India. Ketika kecil, dia belajar bahasa Arab dan Persia, serta mempelajari macam-macam keberatan theologi Kristen terhadap Islam. Dia mendirikan satu komunitas Muslim pada 1889. Sepuluh tahun kemudian komunitas ini dinamai Jemaah Ahmadiyah. Dia juga dianggap sebagai Imam Mahdi.
Pada 1902-1903, Mirza Ghulam Ahmad terlibat perdebatan, lewat surat, dengan Pendeta John Alexander Dowie dari Zion, Illinois. Mulanya, Dowie mengatakan dia adalah pembuka jalan untuk kedatangan kedua Kristus. Dia menjadi seorang penyembuh spiritual. Kiprah Dowie banyak diberitakan suratkabar di Amerika Serikat, Australia, Kanada bahkan India. Ini menarik perhatian Ghulam Ahmad. Dia mendebat Dowie dari Qadian. Kini Qadian masuk wilayah negara Pakistan. Ahmad menuduh Dowie sebagai “nabi palsu.” Makin hari debat makin sengit. Banyak suratkabar meliput debat mereka. Pada 1903, akhirnya, Ghulam Ahmad kesal, menantang Dowie “duel doa.” Siapa yang mati duluan berarti kalah.
Waktu itu, Dowie berumur 56 tahun dan Ghulam Ahmad 68 tahun. Para pembaca perdebatan mereka menduga secara natural Ghulam Ahmad, yang lebih tua 12 tahun, akan mati duluan. Ternyata pada 1907, Dowie meninggal dunia lebih dulu. Ahmad meninggal pada 1908 dalam usia 72 tahun. Cerita ini sering dimasukkan dalam literatur Ahmadiyah.
Menurut Ghulam Ahmad, Ahmadiyah merupakan bagian dari Islam. Anggota Ahmadiyah mengamalkan kelima Rukun Islam: syahadat, sholat, puasa, zakat, haji. Ahmadiyah juga berkeinginan mendorong dialog antar iman dan berusaha memperbaiki kesalahpahaman mengenai Islam di dunia Barat. Mirza Ghulam Ahmad menulis lebih dari 80 buku serta mengedepankan pendekatan non-violence. Mereka banyak berkiprah di negara-negara Barat, termasuk menterjemahkan Al Quran ke berbagai bahasa Inggris dan sebagainya.
Pada 1925, Ahmadiyah mengutus mubaligh Rahmat Ali dari Qadian ke Hindia Belanda. Rahmat Ali seorang alumnus Universitas Punjab. Dia berangkat ke Sumatra atas undangan tiga mahasiswa Minangkabau, yang belajar di Lahore, British India. Rahmat Ali mulanya tiba di Tapaktuan, Aceh, lantas berangkat menuju Padang. Pada tahun 1926, Jemaah Ahmadiyah resmi berdiri sebagai organisasi di Padang. Rahmat Ali pun pindah ke Batavia, ibukota Hindia Belanda. Langkah ini membuat perkembangan Ahmadiyah makin cepat. Rahmat Ali banyak membaiat orang Sunda masuk Ahmadiyah.
Sesudah Indonesia menggantikan Hindia Belanda, Jemaah Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai badan hukum pada Maret 1953. Pada 1965-1966, ketika terjadi demonstrasi melawan kediktatoran Presiden Soekarno, satu mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, ditembak tentara hingga mati dekat Istana Merdeka, Jakarta, pada 24 Februari 1966. Dia seorang warga Ahmadiyah. Kini namanya sering jadi nama-nama jalan di Pulau Jawa. Ada yang bilang dia ditembak anggota Tjakrabirawa, ada yang bilang dia ditembak Garnisun di Lapangan Banteng.
Hubungan Ahmadiyah biasa saja ketika Jenderal Soeharto berkuasa. MUI mengeluarkan fatwa anti-Ahmadiyah pada 1980. Soeharto tak terlalu menggubris. Pada tahun 2000, sesudah kejatuhan Soeharto, Presiden Abdurahman Wahid menyambut imam besar Ahmadiyah Mirza Tahir Ahmad, cucu Mirza Ghulam Ahmad, di Jakarta. Mirza Tahir Ahmad juga bertemu dengan Ketua MPR Amien Rais. Amien Rais menyatakan kekaguman terhadap pekerjaan Ahmadiyah di masyarakat Barat. Pada akhir 2000, Wahid diganti oleh Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Bapaknya, Presiden Soekarno, tak melarang Ahmadiyah, Megawati juga tak melarang Ahmadiyah.
Keadaan berubah ketika Susilo Bambang Yudhoyono mengalahkan Megawati dan menang pemilihan presiden pada 2004. Pengaruh MUI berkembang cepat bersama SBY. Tembok batas antara negara dan agama menjadi makin rendah. Pada Oktober 2005, MUI mengeluarkan fatwa pelarangan Ahmadiyah dan minta SBY melarang Ahmadiyah.
Ada juga Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah organisasi Islam, yang membangun koalisi dengan Forum Umat Islam, Front Pembela Islam serta Majelis Mujahidin Indonesia. Koalisi ini secara sistematis melakukan lobby terhadap Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat, alias Bakor Pakem, agar melarang Ahmadiyah. Bakor Pakem adalah sebuah forum berbagai instansi pemerintah di bawah supervisi Kejaksaan Agung. Tujuan Hizbut Tahrir, induk dari HTI dengan kantor pusat London, adalah mendirikan sebuah khilafah Islamiyah, macam Kesultanan Ottoman, dengan anggota semua negara-negara Islam di seluruh dunia.
Di Jakarta, Ismail Yusanto dari Hizbut Tahrir Indonesia mengatakan kepada saya bahwa Indonesia memang memberikan kebebasan orang beragama tapi bukan bebas menodai Islam. Yusanto mengatakan Ahmadiyah ajaran yang menyimpang dari Islam. Ahmadiyah menghina Nabi Muhammad dan Al Quran. Warga Ahmadiyah punya dua pilihan: (1) Kembali ke Islam yang real; (2) atau menyebut agama mereka sebagai Ahmadiyah. Bukan Islam. “Mazhab dalam Islam banyak tapi Ahmadiyah bukan mazhab. Pemerintah punya otoritas untuk ambil keputusan soal politik, ekonomi dan sebagainya. termasuk soal agama,” kata Yusanto. Soal kekerasan, Yusanto mengatakan, “Saya mengerti kemarahan mereka tapi tidak setuju dengan kekerasan.”
Sikap Front Pembela Islam terhadap Ahmadiyah, disampaikan oleh KH Tubagus Abdurrahman Anwar, dalam sebuah ceramah di Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 10 Agustus 2005. Pidato ini dimuat dalam sebuah pamflet FPI berjudul, “Ayo Ganyang Ahmadiyah dan JIL.” Abdurrahman Anwar menerangkan mengapa kekerasan boleh dilakukan terhadap Ahmadiyah maupun Jaringan Islam Liberal, sebuah organisasi anak-anak muda Muslim, yang berpusat di Komunitas Utan Kayu, Jakarta.
Menurut Abdurrahman Anwar, “Apabila harta benda dan jiwa raga seseorang terancam, maka ia berhak melakukan bela-paksa (overmacht/noodweer). Apalagi jika yang terancam aqidah dan keyakinannya, yang jauh lebih berharga daripada harta benda dan jiwa raga.”
Dia memberikan bukti kesesatan Ahmadiyah:
- Ahmadiyah menyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan Rasul serta sebagai Imam Mahdi dan Al Masihul Mau’ud.
- Kitab Tadzkirah berisikan pernyataan bahwa ia adalah “wahyu yang suci.”
Pamflet itu juga memuat tanya jawab. Misalnya, “Kenapa umat Islam tak boleh bertoleransi kepada Ahmadiyah tapi bisa bertoleransi kepada Kristen, Budha dan Hindu?”
Jawabnya, “Karena Kristen, Budha dan Hindu adalah kafir asli sedang Ahmadiyah adalah kafir jejadian, yang mengatasnamakan Islam untuk menyesatkan umat Islam.”
Ada juga pertanyaan soal hak asasi manusia, “Bukankah melarang Ahmadiyah merupakan pelanggaran hak asasi manusia?”
Jawabnya, “Ahmadiyah tidak berhak menodai dan menistai ajaran Islam. Pelanggaran mana yang lebih berat daripada penodaan dan penistaan agama?”
Di Mataram, H. Saiful Muslim, ketua umum MUI Nusa Tenggara Barat mengatakan kepada saya, MUI tak setuju tindakan mengusir dan membakar. “Kami berharap penyelesaian-penyelesaian tidak dengan cara seperti itu. Tapi dikarenakan Ahmadiyah itu sangat ekslusif hingga umat merasa risih. Kalau saja dakwahnya internal mereka dan lewat ke masjid seperti umat Islam yang lain, itu saya kira tidak ada masalah.” Saiful Muslim juga menyesal soal tindakan Muhammad Izzi di Ketapang. “Kami tidak setuju dengan cara-cara seperti itu. Polisi bisa menyelidiki Muhammad Izzi.” Saya kira polisi Mataram takkan berani memeriksa Izzi.
Rumah kontrakan mubaligh Syaeful Uyun terletak dekat kediaman resmi Gubernur Nusa Tenggara Barat. Logat Sundanya terasa kuat. Uyun pernah menulis surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Mei 2008 dimana secara panjang lebar Uyun membantah kesimpulan MUI.
Uyun mengatakan fatwa MUI terlalu didramatisir, seolah-olah Ahmadiyah tak mengakui Rasulullah sebagai nabi yang terakhir. “Tapi saya tahu kenapa mereka melakukannya. Soalnya, isu itu adalah isu yang sensitif. Untuk berdebat mereka tidak sanggup sehingga mereka pakai drama. Kalau mereka menelaah Ahmadiyah secara jujur, Ahmadiyah adalah Islam.”
Menurut Uyun, kalau ada perbedaan, itu hanya tafsir beberapa nats Al Quran. Kaum Ahmadiyah, misalnya, mewajibkan perempuan ikut shalat Jumat. Warga Ahmadiyah juga tak dianjurkan ikut shalat bila imamnya bukan orang Ahmadiyah.
Dalam suratnya kepada Presiden Yudhoyono, tertanggal 5 Mei 2008, Uyun menerangkan dua macam kategori nabi dalam khasanah Ahmadiyah. Pertama, tasyri adalah nabi yang membawa syariah. Mereka termasuk Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Muhammad. Pintu kenabian tasyri sudah tertutup dan tak pernah terbuka lagi. Muhammad adalah nabi tasyri terakhir.
Kedua, ghairi tasyri adalah golongan nabi yang tidak membawa syariah. Golongan ini terbagi dua: mustaqil, artinya nabi yang berdiri sendiri, menjadi nabi bukan karena mengikut nabi lain, menjadi nabi semata-mata karena kesucian dirinya; serta nabi ghairi mustaqil, artinya tidak berdiri sendiri, menjadi nabi karena mengikut nabi lain, karena ketaatannya kepada seorang nabi. Kategori ghairi mustaqil ini masih terbuka.
Dalam istilah Nahdlatul Ulama, ghairi mustaqil diistilahkan sebagai nabi yang melaksanakan syariah Nabi Muhammad. Statusnya, hanya pelayan Islam dan Nabi Muhammad. Dalam khasanah Ahmadiyah, mereka termasuk Nabi Zilli, Nabi Buruzi, Nabi Mazazi, Nabi Ummati maupun Mirza Ghulam Ahmad.
Uyun mengutip sebuah ucapan Mirza Ghulam Ahmad dalam Tajalliyat-i-Ilahiyah, “Sesudah Nabi Muhammad SAW tidak boleh lagi mengenal istilah Nabi kepada seseorang, kecuali bila ia lebih dahulu menjadi seorang ummati dan pengikut dari Nabi Muhammad SAW.”
“Kita sudah usaha pendekatan pribadi, penyelaman literatur, diskusi, seminar. Itu terus kita usahakan. Tapi opini publik bahwa Ahmadiyah tidak mengakui Nabi Muhammad dan Quran bukan kitab suci satu-satunya, itu begitu kuat,” kata Uyun.
Menurut Uyun, Tadzkirah bukan kitab suci. Ia hanya sebuah buku karya seorang pengarang bernama Mirza Ghulam Ahmad. Sumber pokok Islam ada pada Quran dan Sunnah Nabi.
Dia berpendapat kampanye bahwa Tadzkirah sebagai kitab suci lain membuat orang-orang Ahmadiyah diusir dari kampung-kampung. “Lombok yang paling parah karena disini masyarakat tidak bisa bedakan paham dan manusia.”
Dalam catatan Ahmadiyah, penganiayaan paling menonjol terjadi di Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Medan, Palembang, Kendari, Riau dan Jakarta. Di Jawa Timur juga ada tapi tidak sehebat daerah lain. Di daerah-daerah mayoritas Kristen –Manado, Nusa Tenggara Timur, Ambon dan Papua– tidak terdengar ada penganiayaan. Cuma di basis Muslim di daerah Kristen, misalnya, Kotamobagu dan Pulau Buru, terdengar ada gejolak. Jogjakarta juga tak ada cerita penganiayaan Ahmadiyah. “Aceh dari dulu anti-Ahmadiyah cuma di Aceh memang Ahmadiyah tidak menonjol,” katanya.
III
Adnan Buyung Nasution tampil rapi, kemeja lengan panjang, pantalon hitam, sepatu boot, rambut keperakan disisir rapi. Saya jadi moderator acara “Bang Buyung” dalam sebuah diskusi Juli lalu di Jakarta. Dia baru saja merayakan ulang tahun ke-75 bersama keluarga dan sahabat. Mereka memberi Buyung hadiah berupa sebuah buku. Judulnya, 75 Tahun Adnan Buyung Nasution: Inspirator. Isinya, 48 esai karya kawan dan keluarga. Mereka termasuk Presiden B.J. Habibie, pastor Franz Magnis-Suseno, pengacara Nono Anwar Makarim, penerbit Jakob Oetama dan Aristides Katoppo, Jenderal Wiranto dan A.M. Hendropriyono, ulama Ma’ruf Amin serta beberapa alumni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Mereka menulis macam-macam penilaian mereka terhadap Buyung.
Dalam diskusi, saya tanya soal bagaimana proses pelarangan kegiatan Ahmadiyah di Indonesia. Saat itu, Buyung adalah ketua Dewan Pertimbangan Presiden Yudhoyono. Dia termasuk orang yang ikut melawan proses pelarangan Ahmadiyah. Buyung juga seorang pengacara hak asasi manusia. Dia mendirikan YLBHI pada 1970an. Pada 1980an, dia studi doktoral di Universitas Utrecht dan menulis thesis soal Konstituante 1956-1959. Ini sebuah thesis menarik, berjudul, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Dalam bahasa Belanda, “pemerintahan konstitusional” disebut rechtstaad atau “negara hukum.”
Menurut Buyung, dia terlambat mendengar rencana larangan Ahmadiyah. Ada dua orang Ahmadiyah, Agus Mubarik dan Lamardi, lapor kepada Buyung. Mereka bilang pemerintah Yudhoyono sudah siap dengan satu SK untuk membubarkan Ahmadiyah. Dilarang sama sekali di Indonesia.
Ia dimulai pada April 2008 ketika Bakor Pakem mengeluarkan rekomendasi agar tiga menteri teken surat keputusan bersama. Tujuannya, memberi peringatan kepada warga Ahmadiyah untuk berhenti mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan mengacu pada Tadzkirah. Tiga menteri itu adalah Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Menteri Agama Maftuh Basyuni dan Jaksa Agung Hendarman Supanji.
“Saya kaget. Saya sama teman-teman, aktivis semua, bilang, ‘Ini mesti distop, tidak boleh terjadi larangan Ahmadiyah. Jika ini terjadi kita telah ikut cara-cara seperti di Pakistan: melarang satu keyakinan agama.’ Karena kita kan negara berbhineka, semua agama harus dihormati,” kata Buyung.
Buyung mendekati beberapa kenalannya — Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Asmara Nababan, Djohan Effendi, Goenawan Mohamad, Nong Darol Mahmada, Budiman Sujatmiko, Nono Anwar Makarim, Syafii Maarif dan banyak tokoh masyarakat lain– untuk menghentikan kampanye anti-Ahmadiyah. Mereka lantas menerbitkan sebuah iklan satu halaman, pada 30 Mei 2008, di beberapa suratkabar Jakarta. Judulnya, “Mari Pertahankan Indonesia Kita.” Ia juga berupa undangan apel akbar pada 1 Juni 2008 di Monumen Nasional. Mereka menamakan persekutuan itu Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Indonesia menjamin tiap warga bebas beragama. Inilah hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi.
Ini juga inti dari asas Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi sendi ke-indonesia-an kita.
Tapi belakangan ini ada sekelompok orang yang hendak menghapuskan hak asasi itu dan mengancam ke-bhineka-an. Mereka juga mengatasnamakan umat Islam untuk menyebarkan kebencian dan ketakutan di masyarakat.
Bahkan mereka menggunakan kekerasan, seperti yang terjadi terhadap penganut Ahmadiyah yang sudah sejak 1925 hidup di Indonesia dan berdampingan damai dengan umat lain.
Pada akhirnya mereka akan memaksakan rencana mereka untuk mengubah dasar negara Indonesia, Pancasila, mengabaikan Konstitusi, dan menghancurkan sendi kebersamaan kita.
Kami menyerukan, agar Pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum, untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-indonesia-an itu.
Marilah kita jaga Republik kita.
Marilah kita pertahankan hak-hak asasi kita.
Marilah kita kembalikan persatuan kita.
Ternyata apel 1 Juni 2008 berubah menjadi peristiwa berdarah. Puluhan milisi berbendera Islam –termasuk Front Pembela Islam, Laskar Mujahidin, Gerakan Reformasi Islam—menggunakan kekerasan untuk membubarkan apel tersebut. Mereka kelihatannya dipimpin Munarman, seorang pengacara, aktivis Hizbut Tahrir serta mantan murid Buyung di YLBHI. Munarman disebut “panglima” para laskar itu. Mereka menyerang dan memukul puluhan warga Ahmadiyah dan aktivis AKKBB di Monumen Nasional. Peristiwa ini diliput besar-besaran oleh televisi. Saya melihat Ahmad Suaedy, direktur Wahid Institute, dipukul mukanya dengan sebilah bambu. Tahir Ahmad, seorang warga Ahmadiyah, menderita gegar otak. Puluhan ibu Ahmadiyah lari dari sergapan laskar.
Belakangan Munarman ditangkap polisi. Polisi juga menangkap Habib Rizieq Syihab dari Front Pembela Islam dengan tuduhan menghasut dan menyebarkan kebencian. Oktober 2008, pengadilan Jakarta Pusat menghukum Munarman 1.5 tahun penjara karena tindakan kekerasan. Rizieq Syihab juga dihukum 1.5 tahun dan mengajukan banding. Pengacaranya, Mirza Zulkarnaen, mengatakan Rizieq Shihab tak pernah menganjurkan kepada anak buahnya untuk melakukan tindakan rusuh di Monumen Nasional.
Sebagai penasihat presiden, Buyung bertemu langsung dengan Presiden Yudhoyono. Buyung menjelaskan bahaya kalau Ahmadiyah dibubarkan. “Ahmadiyah ini satu keyakinan orang, walaupun mereka berbeda akidah dengan Islam lainnya, tapi itu urusan internal teologi Islam. Bukan bidang pemerintah. Tiap agama secara teologis di dalamnya ada perbedaan. Lihat di Katolik berapa banyak sekte di Katolik? Lihat di Protestan, berapa banyak sekte-sekte? Jadi tidak bisa kita mengadili, mengatakan ini yang paling benar. Karena itu saya bilang tidak boleh ini terjadi.”
“Alhamdulillah Presiden memahami. Jika satu ini diizinkan, besok mereka menuntut lebih hebat lagi. Habis semua dibabat.”
Yudhoyono sepakat, “Oke, Bang Buyung, saya setuju tidak boleh keluar larangan.”
Namun Yudhoyono minta Buyung bicara dengan ketiga menteri itu. Pertemuan pun diselenggarakan oleh Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa, sebagai moderator. Maka berdebatlah Buyung dengan tiga menteri, selama tiga atau empat jam.
“Kita kan mendirikan satu negara, satu tanah air, satu bahasa, tidak negara Islam. Dan itu mesti baca di Konstituante, perdebatan yang paling lengkap. Tapi periode 1956-1959 itu oleh Soekarno dianggap jelek kan? Periode zaman demokrasi liberal. Jadi nggak ada yang bagus, semua buruk, termasuk Konstituante. Saya memberi perhatian Konstituante sebagai topik perdebatan. Jadi kalau baca di situ penolakan terhadap negara Islam itu kuat sekali. Pada waktu voting, partai Islam yang mendukung itu kalah terhadap yang lain-lainnya: Islam, Kristen, nasionalis, apapun semua menolak. Dan penolakan itu terjadi juga kemarin pada waktu amandemen UUD 1945. Ada lagi usaha yang mau masukkan Piagam Jakarta, ditolak lagi.”
Buyung mengacu pada perdebatan dalam sidang-sidang Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Republik Indonesia, atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, pada Mei-Agustus 1945 dimana ada diskusi soal pilihan dasar negara Indonesia: Islam atau sekulerisme atau Pancasila. Pada 18 Agustus 1945, dicapai kompromi dengan menghilangkan tujuh kata soal syariah Islam pada pembukaan UUD 1945. Komprominya, Pancasila. Kompromi sementara karena diskusi tak bisa tuntas berhubung sedang masa gawat, pasca Perang Dunia II, kerajaan Belanda ingin mengambil alih Hindia Belanda dari tangan Jepang. Padahal Soekarno dan Moh. Hatta sudah menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pada 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat. Debat ini dilanjutkan pada sidang-sidang Konstituante 1956-1959. Ia juga tak tuntas karena Presiden Soekarno membubarkan Konstituante. Buyung menulis soal perdebatan ini pada thesis di Universitas Uthrect. Pada 1999, saat sidang umum MPR, sekali lagi isu syariah Islam ini muncul.
Singkatnya, ketiga menteri itu menerima pendirian Buyung. Persoalannya, keputusan kabinet sudah terlanjur keluar. Surat keputusan tetap harus keluar. Maka mereka sepakat bikin surat keputusan tapi tidak membubarkan Ahmadiyah. Namun Ahmadiyah tak boleh menyebarkan siar ajaran mereka di luar masyarakat Ahmadiyah.
Saya ingat apa yang dikatakan Syaeful Uyun. Menurut Uyun, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebenarnya toleran terhadap Ahmadiyah. “Amien Rais sangat toleran terhadap Ahmadiyah. Syafii Maarif juga begitu,” katanya. “Nahdlatul Ulama, secara kelembagaan juga begitu, tapi ada person-person NU, termasuk Ma’ruf Amin, yang anti-Ahmadiyah. Sahal Mahfudz, ketua MUI, tidak begitu. NU sangat toleran. Gus Dur bahkan membela Ahmadiyah.”
Menurut analisis Uyun, organisasi yang paling anti Ahmadiyah adalah Hizbut Tahrir. Uyun berpendapat Hizbut Tahrir ingin menggiring warga Muslim di Indonesia untuk mendirikan negara Islam. Isu Ahmadiyah hanya dijadikan kendaraan Hizbut Tahrir untuk membuat “umat Islam” di Pulau Jawa dan sekitarnya lebih radikal. “Kalau pemerintah Yudhoyono tak waspada, sekarang eksistensi Indonesia sebagai negara-bangsa riskan. Konsep khilafah HTI sama dengan yang di Turki.”
“Indonesia sejak awal berdiri telah sepakat didirikan sebagai negara-bangsa dan didirikan di atas segala macam perbedaan –suku, agama, kepercayaan, adat istiadat. Oleh karena itu Indonesia punya filsafah, Bhinneka Tunggal Ika.”
“Orang Turki sendiri tidak mengharapkan khilafah. Kok orang Indonesia yang gegap gempita!”
SK Ahmadiyah muncul pada 9 Juni 2008, seminggu sesudah penyerangan di Monumen Nasional. Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Menteri Agama Maftuh Basyuni dan Jaksa Agung Hendarman Supanji mengumumkan SK No. 3 Tahun 2008 tentang “Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia.” Isinya, memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga Ahmadiyah untuk menghentikan “penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam.” Hukuman penjara maksimal lima tahun diberikan kepada orang yang melanggar SK tersebut.
Human Rights Watch dari New York protes. Mereka mengingatkan bahwa Indonesia sudah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights pada Februari 2006. Artinya, Indonesia setuju dengan semua isi traktat internasional itu. Pasal 18 dari traktat itu menyebut, “No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.” Pasal 27 menyebut, “… persons belonging to … minorities shall not be denied the right, in community with the other members of their group, to enjoy their own culture, to profess and practice their own religion.”
SK No. 3 Tahun 2008 secara tersurat melanggar International Covenant on Civil and Political Rights.
Sidney Jones dari International Crisis Group menyatakan, “The Yudhoyono government made a serious error in 2005 by inviting MUI to help shape policy. It opened the door for hardline groups to press for greater state intervention to define orthodoxy and legislate morality.”
Adnan Buyung Nasution mengatakan dia sudah berusaha maksimal dari dalam sistem pemerintahan Yudhoyono guna mencegah makin merendahnya tembok antara agama dan negara. Dia berpendapat bila SK Ahmadiyah dianggap melanggar traktat internasional dan UUD 1945, dia melihat ada dua jalan hukum: warga sendiri bisa bertindak, melakukan class-action, citizen lawsuit, menggugat Menteri Dalam Negeri atau langsung ke Mahkamah Agung.
“Mudah-mudahan pemerintah yang baru lebih tegas,” katanya.
IV
Pada Maret 2009, selama dua minggu, saya mengunjungi para pengungsi Ahmadiyah di Transito, satu bangunan pemerintah di Mataram. Ia terletak di sebuah jalanan sepi. Depan Transito ada warung kecil, jualan kopi, teh, soda, biskuit, sabun, minyak kayu putih, pisau cukur, kacang goreng. Cidomo terlihat hilir mudik. Namanya, Jalan Transmigrasi. Di depan Transito ada perusahaan percetakan Agil Akbar Grafindo merangkap kantor harian umum Warta NTB. Juga ada papan nama PT Windu Sarana Development: mengirim TKI ke Hong Kong, Singapura, Malaysia.
Nama daerah ini adalah Majeluk. Asalnya, dari kata Sasak “jeluk” atau “jemur.” Zaman Jepang, Majeluk adalah tempat tahanan-tahanan mati disiksa dan dijemur. Ada pohon waru, pohon akasia, pohon ketapang yang mekar, tempat berteduh. Asrama Transito dibangun pada 1974 untuk calon transmigran Sasak, guna dikirim ke Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Sumbawa.
“Daerah Majeluk ini aman. Dulu ada yang mau bikin kisruh tapi kita itu sama-sama manusia. Apapun tingkah laku, itu urusan dia. Kampung Majeluk ini tidak mau rusuh apapun,” kata Mohammad Achir, warga Majeluk, seorang sopir truk. “Orang-orang Ahmadiyah paling aman disini. Tidak ada yang mau mengusir,” katanya. Di Majeluk juga ada beberapa rumah orang Hindu.
Di dalam, saya bertemu Nur Hidayati. Dia menunjukkan saya tempat tinggalnya. Kamar hanya untuk orang dewasa, anak-anak dan gadis. Kamar mereka masing-masing hanya seukuran dua bangku. Sekat kamar dari kain sarung, yang dibuka jahitannya. Anak lelaki yang sudah besar, tidur di musholla. Dapur terletak di luar bangunan. Ada sebuah ruang dipakai sebagai musholla.
Nur Hidayati sendiri seorang perempuan muda, umur 20 tahun. Dia baru menikah tujuh bulan, dengan Abdullah, sesama pengungsi dan tukang cukur rambut. Ketika remaja, rumah Nur di Selong, Lombok Timur, dibakar. Mereka diusir. Pengurus Ahmadiyah memutuskan memindahkan semua anak-anak Ahmadiyah ke tanah Priangan di Pulau Jawa. Pertimbangannya, sekolah mereka tetap jalan sementara orang tua mereka mengatur kehidupan yang porak-poranda. Nur mengatakan sebuah bus Safari Dharma Raya, penuh dengan anak, membawa mereka ke Priangan. “Kami ditempatkan di keluarga-keluarga Ahmadiyah di Tasikmalaya,” katanya.
Namun, banyak anak yang tak kerasan. Ada yang tidak naik kelas. Jauh dari orang tua dan perbedaan budaya, bahasa Sunda dan bahasa Sasak, membuat mereka perlu waktu guna adaptasi. Nur dijemput orang tua dan kembali ke Mataram. Dia melanjutkan sekolah di SMP dan SMA Muhammadiyah, Mataram.
“Kami tidak eksklusif. Buktinya? Saya sekolah di Muhammadiyah. Dibilang selalu menyendiri, itu karena mereka tidak lihat kesini. Kami selalu terbuka. Tuan Guru Anwar … Maulud Nabi kemarin beliau kesini,” katanya.
Khairuddin, pengungsi asal Selong, cerita bahwa dua dari tiga anaknya lahir di pengungsian. Isterinya hamil muda saat mereka diusir dari Selong. Anak pertama, Hafiz Qudratullah, mengalami trauma. Pelajaran turun drastis. Hafiz sempat tak naik kelas. Dia sering melamun, kadang teriak, “Orang jahat. Orang jahat. Mengapa rumah dibakar?”
Anak kedua, Rafiq Wahyu Ahmadi, sering bermimpi, “Orang jahat dobrak pintu dan teriak, ‘Serbu, serbu.’ Kalau tidak cerita, Rafiq menangis, tapi kalau sudah cerita, dia jadi tenang,” kata Khairuddin.
Saya sedih melihat anak-anak Ahmadiyah yang sudah 5-10 tahun hidup dalam pengungsian.
Syahidin dari Bayan mengatakan ada 10 bayi lahir di Transito sejak pengusiran dari Gegerung. “Anak bungsu saya diberi nama Muhammad Khatamann Nabiyin … juga lahir di Transito.”
Syahidin menerangkan bahwa dalam bahasa Arab, khatam artinya pemungkas. Nabiyin artinya nabi. Muhammad Khatamann Nabiyin berarti Muhammad adalah nabi pamungkas. Ini menegaskan bahwa kaum Ahmadiyah mengganggap Nabi Muhammad sebagai nabi pamungkas.
Ketika hendak meninggalkan Transito, saya tanya pada Nur Hidayati bagaimana rasanya hidup delapan tahun di pengungsian, tumbuh besar dalam ketakutan. Dia terdiam. Kami melihat anak-anak lelaki riuh main sepak bola di halaman Transito. Nur lantas menjawab lirih, “Apa yang dirintis orang tua memang hilang: harta, rumah, tanah. Tapi ini tidak menggoyahkan iman kami.”
“Iman kami tidak goyah.”
***
Andreas Harsono seorang wartawan di Jakarta, ikut menandatangani petisi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Bersama Jamila Trindle, seorang wartawan televisi Philadelphia, dia disponsori oleh International Center for Journalists guna meliput kaum Ahmadiyah di Pulau Lombok. Ia bisa dihubungi di blog, http://andreasharsono.blogspot.com
Sumber: http://indoprogress.blogspot.com