Oleh; Muhammad Imadudin[*]
Istilah meta-toleransi mungkin saja benar-benar baru, tapi saya ingin bereksperimen dengan terminologi ini. Partikel “meta” berarti “setelah”, “sebelum”, “di sebalik”, atau “melampaui”. Meta-toleransi yang saya maksudkan adalah melampaui atau di sebalik toleransi. Toleransi bukan hanya semata-mata ditunjukkan melalui pembiaran orang lain melaksanakan ritual keagamaan maupun tradisi budaya lokal masing-masing. Toleransi juga harus diperlihatkan melalui komitmen mengakomodasi, memfasilitasi, dan melindungi giat pelaksanaan ritual maupun ekspresi keagamaan dan kebudayaan sesama manusia. Ini berlaku bagi sesama warga negara Indonesia maupun bagi segenap warga dunia yang kini berjumlah lebih dari delapan milyar jiwa.
Melampaui Toleransi
Berbicara tentang meta-toleransi harus dimulai dari kerangka ontologis toleransi itu sendiri. Kira-kira tidak banyak berbeda metodenya dari pembahasan metafisika (melampaui fisika). Pertanyaan ontologis yang fundamental dalam tulisan ini adalah tentang realita-realita dan kehadiran/wujud dari konsep toleransi itu sendiri. Artinya konsep dan konsepsi toleransi harus disepakati terlebih dahulu, sebelum meyakini toleransi dalam realitas eksternal (empiris).
Secara teoretis, toleransi (toleration) berkaitan erat dengan kehidupan sosial, politik, dan realitas ruang publik. Konsep toleration hadir dalam bentuk (forma) pengakuan (rekognisi), akomodasi, dan fasilitasi kehadiran (presence) kelompok lain yang berbeda dari kebanyakan anggota populasi masyarakat. Konsep lain, yaitu tolerance; yang dalam bahasa Indonesia juga diterjemahkan sebagai “toleransi” berkaitan erat dengan sikap dan perilaku individu terhadap perbedaan bahasa, budaya, agama, etnisitas/ras, hingga perbedaan lain yang melahirkan persepsi identitas sendiri.
Dapat dipahami bahwa konsep toleration adalah perilaku dan tindakan kolektif masyarakat yang tidak hanya sebatas menerima kehadiran kelompok lain (the others) di lingkungannya. Toleration juga direalisasikan melalui kebijakan publik, kesepakatan/kontrak sosial, dan konsensus nasional yang bersifat mengikat dan memaksa. Penyediaan ruang komunal berupa rumah ibadah atau ruang khusus untuk berdoa/beribadah bagi kelompok keagamaan adalah salah satu bentuk realisasi toleration yang paling mudah terlihat. Adapun tolerance dapat dilihat dari bagaimana perilaku individu-individu saat menyaksikan atribut keagamaan tertentu, pakaian dari identitas etnis atau bangsa tertentu, hingga ritual maupun ekspresi agama dan budaya yang berbeda.
Meta-toleration yang saya maksudkan adalah bentuk/forma toleration dan tolerance yang melampaui realitas empiris tadi. Bila seorang Muslim menyaksikan ritual agama lain seperti misa atau doa bersama, atau menyaksikan kehadiran orang yang terang-terangan menggunakan atribut gerejawi sambil mengekspresikan agamanya, itu masih dalam bentuk sebuah sikap dan perilaku tolerance. Begitu pula dengan aksi memudahkan atau membantu pembangunan rumah-rumah ibadah agama lain, ataupun berpartisipasi dalam persiapan hari besar agama yang berbeda dari yang dipeluk kebanyakan penduduk di satu lingkungan.
Forma atau bentuk dari meta-toleration adalah sama dengan konsepsi passing over yang disampaikan oleh misalnya Cak Nur, Komaruddin Hidayat, dan Budhy Munawar-Rachman. Intinya adalah merasakan spiritualitas dalam tiap simbol maupun ekspresi agama dan budaya berbeda yang sedang di hadapannya. Sengaja saya mencoba bereksperimen menggunakan terminologi berbeda. Tujuannya bukan semata-mata bermain kosakata. Penggunaan terminologi meta-toleration dimaksudkan sebagai langkah awal menyampaikan konsepsi passing over dengan cara berbeda. Jika konsep passing over mungkin lebih banyak pada pengalaman yang bisa dibuktikan secara empiris, maka meta-toleration juga mencakup pengalaman mistis spiritual yang hanya dapat dibuktikan secara rasional. Pengalaman mistis maupun spiritual (seperti mimpi atau penyingkapan) yang dianggap identik dengan agama lain, dengan kacamata meta-toleration bisa membawa seorang pemeluk agama untuk lebih menerima nilai dan spiritualitas yang sudah ada/eksis dalam ajaran agama yang dipeluknya.
Agama Keberserahan, Agama Pekerti
Kata “Islam” bermakna “submission”, “keberserahan”, “berserah”, dan “berdamai”, serta “perdamaian”, atau “damai”. Agama Islam lahir untuk membawa pesan perdamaian, yang mencakup perdamaian individu-individu dengan dirinya sendiri (inner peace) maupun perdamaian di ruang publik. Relasi triadik antara manusia dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dan dengan alam sekitarnya dapat ditemukan dalam ajaran Islam, maupun agama-agama lain. Termasuk dalam ajaran agama-agama pribumi (indigenous religions; folk religions) yang ada di berbagai belahan dunia. Tidak hanya di Indonesia.
Manusia secara alamiah dipastikan membangun relasi dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dan dengan makhluk lain yang ditemuinya. Dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban, Cak Nur menyampaikan adanya sifat naluriah manusia untuk bertuhan dan berketuhanan. Dengan demikian, relasi triadik manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar/lingkungan dapat dikatakan merupakan hal alamiah/naluriah manusia. Tanpa turunnya wahyu sekalipun, manusia akan membangun relasi dengan Tuhan, individu manusia lain, maupun dengan makhluk yang ada di Bumi.
Rupanya titik temu paling fundamental adalah relasi triadik ini. Relasi triadik ini mencakup pula bagaimana pola relasi individu manusia dengan dirinya sendiri. Belum ditemukan satu agama yang tidak memiliki konsep relasi triadik tersebut dalam ajarannya. Dari sini, ajaran tentang keberserahan maupun pekerti menjadi cukup fundamental. Manusia diajarkan oleh agama untuk dapat berserah dan berdamai untuk memperoleh kehidupan yang lebih berkualitas. Selain itu, perihal pekerti, tata krama, atau ajaran moral (etika) juga bersifat fundamental dalam ajaran agama-agama. Seluruh agama mengajak pada kebaikan, menyeru pada kebenaran, serta mencegah dari kemungkaran dan kejahatan. Tak satupun agama yang mengajarkan perilaku maupun sikap yang negatif (jahat, benci, dendam) atau tindakan yang jelas jahat (pembunuhan, pencurian, korupsi, kediktatoran).
Berangkat dari titik temu inilah sebagian sarjana mencari titik temu di tataran teologi maupun filsafat. Jalan masuknya adalah melalui pembacaan teks suci, penghayatan atas ritualitas dan spiritualitas, hingga pencarian makna dari nilai-nilai ketuhanan. Pencarian ini berangkat dari upaya membangun sebuah toleransi yang mampu melampaui tindakan, sikap, dan perilaku indivudi maupun kelompok. Termasuk melampaui konsensus bersama dan kontrak sosial yang berlaku. Toleransi ini oleh murid-murid Cak Nur banyak diartikan sebagai passing over, sedangkan saya mencoba mengartikannya dengan meta-toleration.
Melalui pemahaman meta-toleration inilah suatu pengalaman mistis dapat membawa individu tertentu pada pendalaman visi, misi, dan tujuan dari datangnya agama yang ia peluk dan ikuti secara sadar. Adanya pengalaman mistis yang nyata seperti penyingkapan yang mungkin berwujud simbol agama lain dapat membawa seorang individu pada arah mana saja dari perjalanan iman pribadinya. Ia dapat memilih dan memilah sendiri secara rasional, berdasarkan preferensi pribadinya. Akankah individu tersebut menemukan agamanya sendiri, atau mungkin juga memutuskan untuk beralih keyakinan? Dari apa yang pernah saya saksikan sendiri, kemungkinan terbesar adalah menguatnya keimanan pada agama yang memang sudah dipeluk sejak awal.[]
[*] Dosen Institut Studi Islam Fahmina, Cirebon