Beberapa bulan lalu kita dikejutkan dengan penembakan 3 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Sampang Madura, tepatnya pada tanggal 16 Maret 2010. Penembakan tersebut juga diduga kuat salah sasaran, serta memastikan proses hukumnya segera dituntaskan oleh Pemerintah Malaysia. Persoalan beruntun di tempat yang berbeda, pun tak hentinya dialami TKI. Termasuk persoalan mengenai upah yang mereka terima.
Tentu saja, ini merupakan persoalan serius yang harus segera ditangani Pemerintah Indonesia. Apalagi TKI maupun Buruh Migran Indonesia (BMI) merupakan penyumbang devisa yang cukup besar bagi negeri ini. Namun selama ini TKI masih kurang dilindungi hak-haknya, TKI juga cenderung diperdayakan.
Dalam hal ini pemerintah juga harus memastikan bahwa revisi nota kesepahaman (MoU) RI-Malaysia tentang perlindungan domestic workers (pekerja rumah tangga (PRT)-red), yang akan ditandatangani telah memenuhi standar HAM dan perburuhan internasional. Prinsip-prinsip tersebut di antaranya menyangkut paspor dipegang oleh domestic workers, adanya one day off (satu hari libur), kejelasan mengenai upah layak, serta cost structure yang standar dan tidak membebani domestic workers.
Harus dipastikan juga bahwa prinsip-prinsip yang sudah disepakati bisa berlaku efektif untuk tujuan perlindungan domestic workers. Pemerintah juga harus melihat kembali persoalan ratifikasi. Seperti pada tahun 2004, pemerintah selalu beralasan bahwa ratifikasi tidak otomatis melindungi tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Alasan tersebut sangatlah tidak bijak. Karena seharusnya Pemerintah sadar, ketika belum mengadopsi isi konvensi buruh migran dalam perundang-perundangan berarti kita tidak memiliki kekuatan untuk mendesak negara seperti Malaysia. Bagaimana mungkin Indonesia meminta agar TKI dilindungi di luar negeri, sementara kita sendiri tidak peduli nasib buruh migran di dalam negeri?
Dengan melaksanakan kesepakatan dunia sebetulnya akan mendorong pula reformasi rekrutmen TKI. Proses ini tidak bisa dianggap sepele, karena 80 persen persoalan pekerja asal Indonesia justru bermula dari pengiriman yang serampangan. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, juga tidak cukup melindungi mereka. Artinya undang-undang ini harus direvisi jika Pemerintah meratifikasi konvensi itu.
Hak Atas Upah dalam Islam
Persoalan lain yang dihadapi buruh migran adalah Upah Minimum Regional (UMR). Dalam pandangan Islam, dua perkara pokok itu (jaminan keselamatan kerja dan upah) mendapat perhatian penting. Jaminan tersebut salah satunya terkandung dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Para pekerja adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barang siapa mempunyai pekerja, hendaklah pekerja itu diberi makanan sebagaimana yang ia makan, diberi pakaian sebagaimana yang ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa, ia harus dibantu.” Itu berarti, Islam berusaha meletakkan hubungan perburuhan bukan sekadar relasi atas-bawah, tapi sejajar dan sangat manusiawi.
Mengenai persoalan upah, KH. Husein Muhammad pernah menuliskan tafsirnya dari kitab Fath al-Bari bahwa buruh migran harus mendapatkan pelayanan keamanan oleh negara, baik berupa hadirnya aparat maupun undang-undangnya. Dengan kata lain, jaminan keamanan oleh negara yang disepakati melalui perundingan bilateral dengan negara host, advokasi dan pendampingan. Bisa pula diartikan sebagai pemenuhan kehadiran mahram. Dalam hal ini seharusnya Pemerintahlah yang berperan dalam melindungi TKI.
Pembicaraan mengenai upah (ajr) menempati masalah pokok ketika membicarakan soal buruh. Seperti dinyatakan dalam hadits riwayat Imam Ahmad bahwa Nabi Muhammad SAW bahkan melarang seseorang mempekerjakan buruh sampai dia menjelaskan besaran upahnya. Islam juga sangat melarang majikan memperlambat upah mereka ketika mereka telah menyelesaikan pekerjaannya. Apalagi jika sampai tidak dibayarkan upahnya, Rasulullah sangat mengecam sikap tersebut, seperti dalam hadits qudsi berikut, “Ada tiga kelompok orang yang menjadi musuhku kelak di hari kiamat: orang yang mengatasnamakanku, tetapi berkhianat; orang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasilnya (dari penjualan itu); dan orang yang tidak membayar upah buruh (yang semestinya) padahal dia sudah menyelesaikan pekerjaannya.” Musuh Allah SWT yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah pelaku trafiking (perdagangan orang).
Dalam hal ini Islam menekankan bahwa hak atas upah bukan hanya perkara pemenuhan upah standar sebagai batas gugurnya kewajiban, tapi juga pada capaian maksimum. Yaitu berupa upah yang layak dan upaya memanusiakan mereka. Kata keadilan juga seyogianya diletakkan sebagai prinsip dalam menetapkan upah yang tak diskriminatif, baik karena alasan gender, etnis, maupun faktor lainnya.
Kita juga perlu kembali menengok pemahaman kita tentang konsep “keadilan” dalam Islam (qisth) yang tidak sekadar formal-legalistik, sebagaimana pernah dilontarkan almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dari sudut manakah makna keadilan ini kita lihat? Dari sudut pengusaha, pemerintah, atau buruh?
Di sinilah pentingnya peran negara dalam melindungi dan memenuhi tanggung jawabnya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana amanat Konstitusi Indonesia. Prinsip tersebut juga sebangun dengan kaidah ushul fiqh: tasharruful imam ‘ala ra’iyyatihi manuthun bi mashlahatihim (kebijakan pemegang kekuasaan ditentukan oleh kemaslahatan dan kesejahteraan bagi rakyatnya).[]
Penulis adalah pegiat Dhalung Centre, Mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon & Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.