Sejarah kehidupan orang besar ini menuliskan bahwa salah satu cara Nabi Islam; Muhammad SAW dalam menyampaikan missi keagamaan dan gagasan besar kemanusiaan adalah sikap pribadinya yang anti kekerasan. Muhammad SAW, hadir ke panggung sejarah sosial yang diwarnai kekerasan dan kekacauan dengan menampilkan pribadi-nya yang lembut dan penuh kasih. Ini memang pesan Tuhan kepadanya. Tuhan berkata: “Maka disebabkan rahmat (kasih sayang) Tuhanlah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekitarmu”. (Q.S. Ali Imran, 3 : 159).
Ketika beliau diserang, disakiti, dilukai dan diperlakukan secara kasar dan dengan kekerasan oleh kaumnya, beliau tetap saja tidak membalasnya. Di Thaif, sebuah kota di utara Makkah, dalam situasi sangat kritis, dan tanpa pembelaan dari siapa-siapa, Nabi dikejar-kejar sejumlah anak muda yang berusaha membunuhnya. Mereka melempari Nabi dengan batu dan kotoran unta atau keledai. Tubuhnya luka dan berdarah. Nabi secara fisik tak berdaya. Nabi merasa tidak ada lagi orang yang bisa dimintai pertolongan. Tetapi hatinya tetap yakin Allah pasti akan menolongnya. Dia memohon pertolongan Allah. Dan do’anya mengguncang Arasy tempat para Malaikat berkumpul. Jibril memimpin rombongan Malaikat menemui Nabi dan menawarkan bantuan: “Wahai Nabi, jika engkau meminta kami mencabut gunung-gunung, lalu ditimpakan kepada penduduk Thaif yang kurang ajar itu, kami akan lalukan”.
Nabi SAW dengan santun menjawab: “Bahkan jika mereka tidak mau beriman dan taat kepada Tuhan, aku masih tetap berharap akan ada anak-anak dan cucu-cucu mereka yang menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Biarkan saja mereka, karena mereka memang orang-orang yang tidak tahu; ‘Allahumma Ihdi Qawmi fa innahum la Ya’lamun’ (Wahai Tuhan, berilah petunjuk kepada mereka, karena mereka tidak tahu)”.
Nabi SAW sangat meyakini bahwa kebenaran tidak akan pernah sirna dan tidak mungkin dikalahkan. Kebenaran pasti akan menang. Beliau juga tahu bahwa orang-orang yang memusuhi kebenaran adalah orang-orang yang belum mengerti, karena itu harus diberikan petunjuk dan pendidikan yang baik. Begitulah kearifan seorang Nabi yang agung ini.
Keyakinan akan datangnya kebenaran dan hancurnya kebatilan itu kemudian terbukti. “Katakan (wahai Muhammad)”, begitu kata Tuhan, “telah datang kebenaran dan telah sirna kebatilan. Sesungguhnya kebatilan benar-benar hancur”. (QS. Al Isra, 17:81).
Dilarang Mencacimaki Tuhan-tuhan
Nabi SAW dalam keadaan apapun tetap saja berhati lembut, santun dan penuh kasih. Atas petunjuk Tuhan Nabi SAW melarang para pengikutnya mencacimaki tuhan-tuhan mereka, selain Allah. Dakwah dengan cara mencacimaki tuhan-tuhan, sesembahan mereka akan melahirkan kebencian mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT). Dan ini akan menciptakan konflik sosial yang besar atas nama keyakinan agama. Al Qur’an mengatakan: “Dan janganlah kamu mencacimaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan membabibuta tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap ummat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhanlah mereka akan kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (QS. al An’am, 6: 108).
Sikap dan pandangan beliau tersebut tidak hanya berlaku ketika beliau dalam posisi yang lemah dan dengan jumlah pengikut yang masih sedikit, melainkan juga ketika beliau sangat kuat dan jumlah pengikutnya yang semakin banyak. Ketika beliau menjadi pemimpin di Madinah beliau menjumpai banyak warganya yang beragama Yahudi/Nasrani atau yang lainnya. Kehidupan keagamaan yang beragam dan warna warni tersebut merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri oleh beliau. Nabi adalah orang yang sangat dan paling memahami realitas plural ini. Dalam konteks seperti ini beliau mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan bersama. Prinsip-prinsip itu kemudian dituangkan dalam “Piagam Madinah”, yang berisi kontrak sosial antara anggota masyarakatnya yang plural itu. Salah satu butir isinya menyatakan: “Orang Islam, Yahudi dan warga Madinah yang lain, bebas memeluk agama dan keyakinan mereka masing-masing. Mereka dijamin kebebasannya dalam menjalankan ibadah. Tidak seorangpun dibenarkan mencampuri urusan agama orang lain. Orang Yahudi yang menandatangani (menyetujui) piagam ini berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan serta tidak diperlakukan zhalim. Orang Yahudi bagi orang Yahudi dan orang Islam bagi orang Islam. Jika di antara mereka beruat zhalim, itu akan menyengsarakan diri dan keluarganya. Setiap bentuk penindasan dilarang. Mereka sama-sama wajib mempertahankan negerinya dari serangan musuh”.
Tampak sekali di situ bahwa kesatuan masyarakat bagi Nabi menjadi sesuatu yang prinsip. Masyarakat Madinah dibangun atas kerjasama warganya yang beraneka keyakinan agamanya itu. Warga negara Madinah pimpinan Nabi Muhammad SAW tidak dibenarkan melakukan tindakan kekerasan terhadap siapapun sepanjang mereka tidak diganggu oleh tindakan-tindakan kezaliman. Nabi tidak pernah memulai perang atau menyerang. Kalaupun terjadi perang, maka itupun terpaksa dilakukan atau dihadapi oleh Nabi hanya dalam kerangka mempertahankan diri dari serangan orang lain. Terhadap mereka yang tidak melakukan penyerangan dan pengusiran, al Qur’an mengatakan: “hendaklah kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka”.
Warga negara bukan Islam tidak pernah dipaksa untuk masuk Islam. “Tidak ada paksaan (untuk memasuki) agama” kata al Qur’an. Nabi bahkan membiarkan keyakinan mereka membiarkan mereka beribadah menurut keyakinannya. Dan Nabi juga memaafkan orang-orang yang pernah memusuhi atau menyakitinya ketika di Makkah. Ketika Nabi memasuki Makkah dengan 100 ribu pengikutnya Nabi mendeklarasikan amnesti menyeluruh: “La tastriba ‘alaikum al yaum”, (tidak ada balas dendam pada hari ini). Nabi juga mengatakan: “idzhabu fa antum thulaqa” (pulanglah kalian, sekarang kalian bebas). Nabi selalu mengajak orang dengan cara-cara yang arif (hikmah), nasihat yang baik dan berdiskusi dengan cara yang lebih baik. Pada kesempatan lain Nabi SAW mengatakan: “Yassiru wa la tu’assiru, basysyiru wa la tunaffiru” (permudahlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat takut orang). Sungguh betapa agungnya Nabi kaum muslimin ini. Maka dapatkah ummatnya hari ini dan seterusnya meneladani beliau?[]
(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. VII ed. 13 – tanggal 23 Mei 2008)